Di antara pemikiran aliran ini adalah ishmah(terjaga dari salah dan dosa), yakni dalam keyakinan mereka para imam mereka yang dua belas itu adalah orang-orang yang ma’shum, tidak melakukan kesalahan dan dosa, apa yang mereka lakukan pasti benar menurut mereka.

Keyakinan adanya ishmah adalah dusta karena derajat ini hanya Allah berikan kepada para nabi dan rasul demi melindungi risalah yang mereka sampaikan, meyakini ishmah pada sebagian orang berarti menyamakan mereka dengan para nabi dan rasul, ini berarti rasul memiliki saingan dan risalahnya mungkin ditentang oleh orang-orang yang katanya ma’shum. Sebuah kesesatan yang nyata dan jelas.

Ada satu bukti sejarah bahwa klaim ishmah yang mereka berikan untuk para imam mereka adalah dusta, yaitu ketika al-Hasan bin Ali berdamai dan menyerahkan perkara khilafah kepada Muawiyah bin Abu Sufyan, di mana perdamaian ini telah diprediksi oleh Rasulullah saw dan beliau memuji dan menyanjungnya dan secara historis ia terjadi dan terbukti shahih, jika al-Hasan adalah orang yang ma’shum seperti yang mereka klaim, mengapa mereka menolak perdamaian ini? Atau al-Hasan bukan orang ma’shum?

Ada butki sejarah yang lain yang tidak terbantahkan yang menggugurkan dan merontokkan klaim ishmah yang mereka berikan kepada para imam mereka, yaitu perbedaan pendapat antara Ali bin Abu Thalib dengan al-Hasan bin Ali terkait dengan sikap Ali yang bertekad memerangi orang-orang Syam, al-Hasan tidak menyetujui keputusan yang diambil oleh bapaknya, sebagaimana yang ditetapkan oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa, al-Hasan khawatir akan akan terjadi peperangan dengan orang-orang Syam dan ternyata apa yang ditakutkan oleh al-Hasan terbukti, kalau memang mereka adalah orang-orang yang ma’shum lalu mengapa mereka berbeda pendapat? lalu dalam kasus ini siapa yang ma’shum? Ali? Berarti al-Hasan tidak. Atau al-Hasan? Berarti Ali tidak. Seandainya mereka adalah orang-orang yang berakal.

Ada bukti sejarah lain yang tidak terbantahkan yang menyumpal mulut orang orang yang berkeyakinan ishmah pada para imam mereka, yaitu peristiwa gugurnya al-Husain bin Ali bin Abu Thalib, sebelum peristiwa ini terjadi dan ketika al-Husain menetapkan berangkat dari Makkah menuju Irak atas undangan orang-orang yang mendukungnya yang selanjutnya menipunya, al-Husain telah dinasihati oleh sahabat-sahabat besar dari keluarganya seperti Ibnu Abbas, Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib dan sahabat-sahabat besar lainnya dari luar keluargnya seperti Abu Said al-Khudri dan Abdullah bin Umar bin Khattab.

Imam Ibnu katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah 8/162-163 meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas datang kepada al-Husain dan berbicara panjang-lebar kepadanya. Ibnu Abbas berkata, “Aku memohon kepadamu dengan nama Allah, aku khawatir engkau akan binasa dalam keadaan disia-siakan, jangan datang ke Irak. Jika engkau harus melakukannya maka bermukimlah sampai selesai musim haji, kamu bertemu dengan mereka dan mengetahui apa yang ada pada mereka kemudian tetapkanlah sikapmu.” Al-Husain menolak.

Ath-Thabari dalam Tarikhnya 6/219 meriwayatkan bahwa ketika Abdullah bin Ja’far mengetahui kepergian al-Husain dari Makkah dia menulis surat kepadanya melalui dua anaknya Aun dan Muhammad, isinya, “Sesungguhnya aku memohon kepadamu dengan nama Allah agar engkau kembali ketika engkau membaca suratku. Sungguh aku mengkhawatirkanmu dari apa di mana engkau berjalan kepadanya. Aku khawatir ini adalah kebinasaanmu dan akhir dari keluargamu. Jika engkau binasa pada hari ini maka padamlah cahaya bumi. Sesungguhnya engkau adalah panji orang-orang yang diberi petunjuk dan orang laki-laki kaum muslimin. Jangan terburu-buru berangkat karena aku di belakang surat ini.” Al-Husain tidak menghiraukan surat ini.

Ibnu Katsir 8/291-292 meriwayatkan bahwa ketika Abdullah bin Umar mendengar keberangkatan al-Husain ke Irak, pada saat itu dia sedang di Makkah. Ibnu Umar menyusulnya dan bertemu dengannya setelah tiga malam perjalanan. Ibnu Umar bertanya, “Kemana engkau ingin?” Al-Husain menjawab, “Irak, ini surat-surat dan baiat mereka.” Ibnu Umar berkata, “Aku menyampaikan sebuah hadits kepadamu, sesungguhnya Jibril datang kepada Nabi saw, Jibril meminta beliau memilih antara dunia dengan akhirat, beliau memilih akhirat dan tidak menginginkan dunia. Sesungguhnya engkau adalah bagian dari Rasulullah saw, tidak seorang pun dari kalian mendapatkannya selama-lamanya dan Allah tidak memalingkannya dari kalian kecuali karena yang lebih baik untuk kalian.” Al-Husain menolak kembali.

Ibnu Katsir 8/160 juga meriwayatkan bahwa Abu Said al-Khudri datang kepada al-Husain, dia berkata kepadanya, “Aku tulus kepadamu, aku mengkhawatirkanmu. Aku mendengar bahwa suatu kaum dari para pendukungmu di Kufah telah menulis kepadamu, mereka mengajakmu agar keluar kepada mereka, jangan keluar, karena aku mendengar bapakmu berkata di Kufah, “Demi Allah, sungguh aku telah bosan kepada mereka dan membenci mereka, mereka juga telah bosan kepadaku dan membenciku. Tidak ada kesetiaan apapun pada mereka. Barangsiapa beruntung memperoleh sesuatu dari mereka maka sesuatu itu adalah anak panah hampa. Demi Allah, mereka tidak memiliki niat dan tekad atas suatu perkara, tidak memiliki kesabaran di atas pedang.”

Dari bukti-bukti sejarah ini kita berkata, seandainya al-Husain adalah orang ma’shum seperti yang mereka yakini niscaya para sahabat tidak menasihatinya agar membatalkan keberangkatannya, justru sebaliknya mereka akan mendukungnya bahkan bergabung dalam barisannya.

Imam Ibnu Taimiyah membeberkan berita tentang nasihat-nasihat dalam jumlah besar kepada al-Husain agar tidak berangkat dan memperingatkannya dari akibat buruk yang menimpanya, kemudian Ibnu Taimiyah berkata, “Keluarnya al-Husain tidak mengandung kemaslahatan, tidak dalam agama tidak dalam dunia, keluarnya al-Husain lalu dia terbunuh menyeret kerusakan yang tidak terjadi seandainya dia tidak meninggalkan kotanya. Keinginannya untuk meraih kemaslahatan dan menolak keburukan tidak terwujud apapun, justru keburukan bertambah dengan keluar dan terbunuhnya al-Husain dan kebaikan menyusut, ia menjadi sebab keburukan besar, terbunuhnya al-Husain termasuk pemicu fitnah.” (Lihat al-Muntaqa min Mihaj as-Sunnah hal. 287-288).

Ali bin Abu Thalib, al-Hasan dan al-Husain dua anak Ali merupakan tiga imam pertama dari imam-imam mereka yang berjumlah dua belas, yang datang sesudah mereka tidak menandangi mereka dalam kemuliaan dan keutamaan, jika bukti-bukti telah menetapkan bahwa mereka bukan orang-orang yang ma’shum lantas bagaimana dengan orang-orang yang datang setelah mereka?

Kita menyintai ahli bait Rasulullah saw karena hubungan mereka yang mulia dengan beliau, akan tetapi tidak berarti kalau kita menyintai mereka lalu harus atau boleh meyakini mereka adalah orang-orang yang ma’shum, karena keyakinan seperti ini tidak sejalan dengan ajaran Rasulullah saw dan tidak pula mereka inginkan, kalau kita meyakini mereka ma’shum justru kita tidak menyintai mereka karena kita telah menyelisihi mereka. Wallahu a’lam.