Ahad depan, ibukota Turki, Ankara akan menyaksikan aksi turun jalan besar-besaran untuk menuntut dicabutnya undang-undang anti jilbab yang melarang wanita Muslimah yang berjilbab menggunakannya di sekolah-sekolah, kampus-kampus dan berbagai instansi pemerintah. Unjuk rasa ini akan memasang slogan ‘Pertemuan Putih.’

Dalam unjuk rasa itu diperkirakan akan diikuti sekitar 100 ribu orang. Bila target jumlah seperti ini menjadi kenyataan, maka ini merupakan unjuk rasa terbesar yang disaksikan ibukota Turki, Ankara sejak dua tahun terakhir.

Beberapa organisasi sipil yang bertanggung jawab mengkoordinir pelaksanaan aksi tersebut di mana mewakili 30 organisasi sudah mulai melakukan kontak secara intensif dengan berbagai kekuatan rakyat sebagai antisipasi persiapan pengkonsentrasian massa di lapangan pusat kota Ankara, hari ahad yang akan datang sekaligus mengumumkan sikap mereka kepada dunia internasional.

Salah seorang koordinator aksi menegaskan bahwa para pengunjuk rasa nantinya akan menegaskan kembali bahwa masalah pelarangan berjilbab di Turki bukan hanya masalah yang terkait khusus dengan pemakai jilbab (jilbaber) semata tetapi lebih dari itu, menyangkut kepentingan rakyat Turki secara keseluruhan. Ia menyiratkan akan disampaikannya tuntutan pencabutan undang-undang anti jilbab yang zhalim tersebut.

Tuntutan ini disuarakan seiring dengan meningkatnya suhu politik dan perang media di Turki yang berupaya mencari jalan terbaik dalam menghadapi ‘kebangkitan Islam’ yang oleh lembaga sekuler di Turki dianggap sebagai ancaman besar yang dapat mengganggu stabilitas keamanan dan kepentingan nasional negara.

Pada november tahun lalu, pengadilan HAM Eropa melontarkan kritik keras terhadap pemerintahan Turki setelah lembaga peradilan tinggi Turki menyetujui usulan peninjauan kembali kasus mahasiswi Turki bernama Laila Syahin di mana karenanya pihak rektorat akhirnya mengeluarkan mahasiswi tersebut dari universitas, tempat ia belajar selama ini gara-gara memakai jilbab.

Seperti diketahui, kasus jilbab di Turki merupakan masalah yang sangat sensitif dan sudah mengemuka sejak tahun 1989. Hal ini disebabkan adanya kalangan islamphobia yang melindungi ‘sekularisme Ataturk’ dan selalu memandang masalah ini sebagai salah satu masalah utama yang dapat mengancam negara sebab jilbab -dalam pandangan mereka- merupakan faktor utama yang berpihak pada tujuan penghancuran sistem sekuler dengan menggantikannya dengan sistem Islam.

Ketakutan terhadap jilbab seperti ini, dalam satu dan lain hal, menyingkapkan betapa kecemasan luar biasa yang menggelayuti para dedengkot sekuler di negeri itu akan semakin berkembangnya ruang gerak Islam. Padahal sebenarnya, Turki adalah negara Islam dengan 99% penduduknya beragama Islam. Hal lainnya menyingkapkan pula akan ketidakmenentuan arah kebijakan Turki dan kekeranjingannya agar dapat bergabung dengan masyarakat eropa yang notabenenya non Muslim. (istod/AH)