BAHASAN KETIGA
Bidang-bidang Sabar dalam Al-Qur’an

  • Sabar terhadap Cobaan Dunia

    Allah Subhaanahu Wata’aala telah mengkhabarkan kepada kita tentang tabi’at kehidupan duniawi, dan bahwa kehidupan duniawi itu diciptakan dengan dipenuhi ujian dan cobaan kehidupan, maka Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (Al-Balad: 4) yaitu dalam kesulitan dan kepayahan, lalu Allah merinci hal itu dengan firman-Nya:

    وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأَمْوَالِ وَالأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157)

    “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 155-157).

    Jika disebutkan kata sabar, maka boleh dikatakan hampir tidak keluar dari apa yang dsebutkan dalam ayat ini menurut sebagian besar manusia.

  • Sabar terhadap Keinginan-keinginan Hawa Nafsu

    Sabar dalam bidang ini disebut pula dengan sabar terhadap kesenangan, ketahuilah bahwa bersikap sabar terhadap kesenangan adalah lebih sulit daripada sabar terhadap kesulitan, sebagian orang mengatakan: “Terkadang seorang Mu’min lebih bisa bersabar jika dalam keadaan susah, tetapi ia tidak bersabar jika dalam keadaan senang kecuali orang yang shiddiq (benar)”.

    Abdurrahman bin Auf berkata: “Kami telah diuji dengan kesulitan maka kami bisa bersabar, lalu kami telah diuji dengan kesenangan maka kami tidak bisa bersabar”.

    Sesungguhnya seorang Mu’min dituntut untuk tidak melepas dirinya berlari di belakang hawa nafsunya agar dirinya tidak terjerumus dalam kesombongan dan melampaui batas ketika mendapat kenikmatan, dan juga agar tidak menganggap enteng terhadap apa yang telah Allah berikan kepadanya hingga tidak mau menerima kebenaran, Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman:

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Munafiqun: 9).

    Bersabar dalam bidang ini harus disikapi dengan empat sikap sebagaimana telah ditetapkan oleh Ibnul Qayyim:
    (Pertama) Jangan tertipu pada kenikmatan duniawi dan jangan condong kepadanya. Dan jangan sampai terseret pada pengingkaran dan kejahatan serta kesenangan yang tercela, yang mana Allah tidak menyukai pelakunya.
    (Ke dua) Jangan mengerahkan seluruh daya upaya untuk mendapatkan kenikmatan dunia dan jangan berlebih-lebihan di dalam mendapatkannya, karena jika kenikmatan diperlakukan sedemikian maka harta akan berubah fungsi menjadi sebaliknya, sebagaimana seseorang yang berlebih-lebihan dalam makan, minum, bersetubuh serta lain-lainnya maka hal itu semua akan berubah fungsi menjadi sebaliknya, yaitu semua itu menjadi haram karena berlebih-lebihan.
    (Ke tiga) Hendaknya bersabar dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap Allah saat mendapatkan kenikmatan duniawi, dan jangan menghilangkan sesuatu yang telah menjadi hak Allah, karena dengan demikian hal itu akan dicabut.
    (Ke empat) Hendaknya bersabar untuk tidak menggunakan kenikmatan dunia itu pada sesuatau yang haram, maka janganlah ia menuruti apa yang dibisikkan oleh hawa nafsunya, karena bisikan hawa nafsu akan menjerumuskan dirinya pada sesuatu yang diharamkan, dan tidaklah seseorang dapat bersabar pada suatu kenikmatan kecuali orang-orang yang siddiq (benar).

    Sesungguhnya bersikap sabar dalam keadaan senang adalah amat sulit karena ia mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu yang dilarang, sama halnya orang lapar yang tidak memiliki makanan adalah lebih bisa bersabar untuk tidak makan dari pada saat ia memiliki makanan.

    Yang termasuk pada kategori sabar dalam jenis ini adalah: Bersabar untuk tidak meneliti pada apa yang dimiliki orang lain berupa kenikmatan duniawi, juga bersabar untuk tidak terperdaya dengan kenikmatan yang telah diberikan kepada mereka berupa anak dan harta, Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman:

    أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ (55) نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَلْ لا يَشْعُرُونَ (56)

    “Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka. Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (Al-Mu’minun: 55–56),

    Allah telah melarang Rasul-Nya untuk bersikap seperti itu dengan firman-Nya:

    وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى (131)

    “Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabbmu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Thaha: 131).

    Seorang Mu’min adalah dia yang merasa mulia dengan nikmat yang berupa petunjuk, dan ia mengetahui bahwa kenikmatan duniawi hanya kenikmatan fana. Telah berkata orang-orang yang menikmati kenikmatan duniawi ketika mereka melihat Qarun dengan segala perhiasannya:

    يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (79)

    “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.” (Al-Qashash: 79),

    Sedangkan orang-orang yang berilmu dan beriman telah Allah khabarkan kepada mereka tentang para pencari kenikmatan duniawi:

    وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلا يُلَقَّاهَا إِلا الصَّابِرُونَ (80)

    “Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: ‘Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar’.” (Al-Qashash: 80).

  • Sabar dalam Melakukan Ketaatan kepada Allah

    Sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah adalah kesabaran yang paling besar di antara bidang-bidang sabar, dengan demikian bidang sabar ini adalah bidang sabar yang paling berat bagi manusia, bersabar dalam ketaatan kepada Allah telah Allah perintahkan dengan kata perintah yang tidak dalam bentuk kata perintah biasa, maka Allah berfirman:

    رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا (65)

    “Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)” (Maryam: 65)

    وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى (132)

    “Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, tapi Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.” (Thaha: 132).

    Perintah bersabar ini diungkapkan dengan ungkapan yang ditekankan, yaitu dengan menggunakan kata ishthabir yang mengandung arti perintah untuk bersabar yang sebenar-benarnya, hal itu dikarenakan besarnya kesulitan dan besarnya perjuangan jiwa untuk melakukan ibadah di setiap keadaan.

    Dan ketahuilah bahwa bersabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah memiliki tiga keadaan, yaitu:
    (1) Sebelum melakukan ketaatan: yaitu dengan membenarkan niat dan bersabar untuk menahan diri agar terhindar dari noda-noda riya’, serta memantapkan diri untuk memenuhi tugas ketaatan itu. Mungkin inilah salah satu rahasia yang terkandung dalam firman Allah yang mendahulukan sikap bersabar sebelum melakukan perbuatan baik, seperti dalam firman-Nya:

    إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ

    “Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal shalih; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (Huud: 11).

    (2) Saat melakukan ketaatan: yaitu untuk tidak bersikap lalai kepada Allah dalam melakukan ketaatan tersebut, dan juga tidak bermalas-malasan dalam melakukan etika serta sunnah-sunnah yang ada dalam pelaksanaan ketaatan tersebut, dan mungkin inilah yang dimaksud dalam firman-Nya:

    نِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ (58) الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (59)

    “Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal, (yaitu) yang bersabar dan bertawakkal kepada Rabbnya.” (Al-Ankabut: 58–59)
    Yaitu mereka bersabar dalam melakukan ketaatan hingga ketaatan itu dilakukan dengan sempurna.

    (3) Setelah melakukan ketaatan: Yaitu hendaknya ia bersabar dengan menahan diri untuk tidak menampakkan perbuatan ketaatannya itu kepada manusia agar dirinya terhindar dari sifat riya’ dan kagum pada diri sendiri, yang mana perbuatan itu akan menghapus semua perbuatan baiknya itu, Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman:

    وَلا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُم

    “Dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu” (Muhammad: 33)

    Dan Allah berfirman:

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأَذَى

    “Janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (Al-Baqarah: 264).

  • Sabar dalam Menghadapi Kesulitan Berda’wah kepada Allah

    Sungguh amat besar peranan sikap sabar bagi orang yang melakukan da’wah, karena dalam melakukan da’wahnya dia akan menemukan berbagai macam halangan dan rintangan yang harus dia lalui. Bagaimana tidak? Sebab dalam da’wahnya ia harus memberikan kepada manusia sesuatu yang tidak mereka minati atau bahkan sesuatu yang asing bagi mereka, sebab dalam melaksanakan da’wahnya ia harus memberikan kepada manusia sesuatu yang bertentangan dengan apa yang ada pada nenek moyang mereka atau dari para pendahulu mereka, maka dari itu mereka menyambut da’wah dengan berbagai macam perlawanan pisik, dan mereka menggangu bahkan menghambat pelaksanaan da’wah semampu mereka.

    Tak ada senjata yang lebih ampuh yang dibutuhkan oleh seorang da’i (penda’wah) dalam menghadapi perlawanan manusia itu kecuali bersikap sabar, sebagaimana sabarnya sikap Nabi Nuh yang terus menerus berda’wah di tengah-tengah kaumnya selama sembilan ratus lima puluh tahun, dan Allah telah mengkisahkan tentang Nabi Nuh dalam firman-Nya:

    قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلا وَنَهَارًا (5) فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلا فِرَارًا (6) وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا (7)

    “Nuh berkata: “Ya Rabbku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mangampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.” (Nuh: 5-7).

    Dan begitu juga dalam menghadapi berbagai macam tipu daya yang mengganggu seorang da’i pada keluarganya, pada dirinya dan pada hartanya, maka semua itu membutuhkan kesabaran, hal ini telah Allah tekankan dalam firman-Nya:

    لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ

    “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (Ali-Imran: 186)

    Dan Allah telah perintahkan kepada Rasul-Nya untuk bersabar dengan firman-Nya:

    وَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلا

    “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.” (Al-Muzammil: 10).

    Seluruh nabi bersepakat untuk menghadapi gangguan kaum-kaum mereka dengan sikap sabar:

    وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَى مَا آذَيْتُمُونَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ (12)

    “dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri.” (Ibrahim: 12)

    وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ

    “Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka. Tak ada seorang pun yang dapat mengubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah.” (Al-An’am: 34).

    Para tukang sihir Fir’aun ketika keimanan telah masuk ke dalam hati mereka, mereka menerima ancaman Fir’aun untuk dibunuh dan disalib, namun mereka berkata:

    قَالُوا إِنَّا إِلَى رَبِّنَا مُنْقَلِبُونَ (125) وَمَا تَنْقِمُ مِنَّا إِلا أَنْ آمَنَّا بِآيَاتِ رَبِّنَا لَمَّا جَاءَتْنَا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ (126)

    “Sesungguhnya kepada Rabb kamilah kami kembali. Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Rabb kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami”. (Mereka berdo’a): “Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepadaMu)”.” (Al-A’raf: 125-126).

    Sungguh panjangnya perjalanan dakwah dan lambannya kedatangan kemenangan amat membutuhkan sikap sabar, dan sesungguhnya sikap sabar itu adalah amat berat, maka dari itu Allah berfirman kepada kaum Mu’minin dalam Al-Qur’an:

    أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ (214)

    “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah”. Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al-Baqarah: 214)

    Dan firman-Nya juga:

    حَتَّى إِذَا اسْتَيْئَسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا جَاءَهُمْ نَصْرُنَا فَنُجِّيَ مَنْ نَشَاءُ وَلا يُرَدُّ بَأْسُنَا عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ (110)

    “Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami daripada orang-orang yang berdosa.” (Yusuf: 110).

  • Sabar dalam Medan Perang

    Yaitu sabar ketika berhadapan dengan musuh dan saat saling mengangkat senjata, dalam keadaan seperti ini sikap sabar adalah salah satu syarat untuk mendapatkan kemenangan, sebab melarikan diri pada saat seperti ini adalah dosa besar. Allah Subhaanahu Wata’aala telah memberikan pujian kepada orang-orang yang bersikap sabar pada saat peperangan, Allah berfirman:

    وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

    “Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Al-Baqarah: 177).

    Allah mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya untuk bersikap sabar saat berperang dengan firman-Nya:

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (45) وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (46)

    “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 45-46).

    Ketika api peperangan semakin membara dan keadaan sulit untuk dikendalikan, maka sikap sabar semakin besar dibutuhkan, sebagaimana yang terjadi dalam perang Uhud, yaitu ketika tersebar berita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah terbunuh, hingga tentara kaum Muslimin terbagi menjadi dua kelompok, satu kelompok tidak bersabar hingga mereka melarikan diri dan terkalahkan, dan kelompok lainnya tetap bersabar, maka turunlah ayat Al-Qur’an yang menambah kekuatan kepada mereka yang bersabar untuk tetap bersabar dan mengingkari apa yang dilakukan oleh kelompok lainnya yang tidak bersabar, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 142). Kemudian Allah tidak menerima alasan mereka yang melarikan diri dan terkalahkan:

    وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (144) وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ (145) وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ (146)

    “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad). Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 144-146).

    Dan Allah telah menerangkan kepada kita tentang sekelompok manusia beriman yang berperang di bawah kepemimpinan Thalut, mereka mendapat kemenangan dalam peperangan melawan tentara di bawah pimpinan Jalut setelah mereka berpegang teguh pada kesabaran, yang mana sebelumnya Thalut telah menguji tentaranya, sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah: “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai.” (Al-Baqarah: 249), maka bersabarlah sekelompok manusia yang beriman dengan tidak minum dari air sungai itu kecuali seceguk tangannya.

    فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلا قَلِيلا مِنْهُمْ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (249) وَلَمَّا بَرَزُوا لِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالُوا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (250)

    “Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku”. Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya”. Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. Tatkala mereka telah tampak oleh Jalut dan tentaranya, merekapun berdo’a: “Ya Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir”.” (Al-Baqarah: 249-250).

    Dalam ayat ini diterangkan bahwa saat mereka berhadapan dengan musuh, mereka memohon kepada Allah agar diberi kesabaran, permohonan itu mereka minta dengan sepenuh hati maka mereka ungkapkan dengan kalimat: “Tuangkanlah kesabaran atas diri kami”, kalimat tersebut mereka ungkapkan karena saat itu mereka amat membutuhkan kesabaran yang besar, dan hasilnya adalah: “Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut” (Al-Baqarah: 251).

  • Sabar di Bidang Hubungan Sosial

    Tidak akan sempurna kehidupan bersama manusia kecuali dengan kesabaran, mulai terhadap orang yang hidup paling dekat darimu yaitu istri, dan berakhir terhadap orang yang paling jauh darimu. Allah Subhaanahu Wata’aala telah berfirman dalam rangka menerangkan sikap yang layak dilakukan oleh seorang suami untuk bersikap sabar dalam menghadapi berbagai macam problematika kehidupan suami-istri, Allah berfirman:

    وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا (19)

    “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisaa: 19).

    Maksudnya adalah: bersikap sabarlah, karena sabar akan mengakibatkan kemuliaan.

    Dan Allah telah memberi wasiat kepada para hamba-Nya untuk bersikap sabar terhadap apa yang mereka temui dari manusia berupa keburukan, dan hendaknya tidak membalas perbuatan jahat dengan perbuatan jahat serupa, Allah berfirman:

    وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)

    “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (Fushshilat: 34-35).

    Di antara keadaan yang dituntut untuk bersikap sabar adalah: sikap sabarnya seorang murid terhadap pelajaran yang dipelajari dan terhadap pengajar yang mengajarnya, inilah yang telah Allah kisahkan kepada kita dalam Al-Qur’an ketika Musa pergi kepada Khidir untuk mengajari Musa tentang apa yang telah Allah ajarkan kepada Khidir, maka berkata Khidir kepada Musa, sebagaimana yang telah diabadikan dalam Al-Qur’an:

    قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (67) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا (68)

    “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu” (Al-Kahfi: 67-68).

    Ayat ini menunjukkan bahwa Khidir meminta kepada Musa untuk bersikap sabar, maka Musa berkata seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an: “Insya Allah kamu akan mendapatkanku sebagai seorang yang sabar.” (Al-Kahfi: 69).