Definisi Sabar

Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff (menahan), Allah berfirman:

واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي

“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari.” (Al-Kahfi: 28)
Maksudnya: tahanlah dirimu bersama mereka.

Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan Allah, Allah berfirman:

والذين صبروا ابتغاء وجه ربهم

“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya” (Ar-Ra’d: 22).

Dalam definisi sabar ini tersirat bahwa sabar terbagi menjadi tiga macam dan motivatornya.

Ketiga macam sabar itu adalah: Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat terhadap Allah dan sabar dalam menerima taqdir yang menyakitkan.

Merujuk kepada definisi sabar secara istilah, maka yang termasuk kelompok “dalam melaksanakan sesuatu” adalah jenis kesabaran yang pertama, sedangkan yang termasuk dalam kelompok “dalam meninggalkan sesuatu” adalah jenis kesabaran yang kedua dan ketiga. Masuknya jenis kesabaran kedua dalam kelompok terakhir adalah jelas, karena itu merupakan penahanan diri dalam meninggalkan perbuatan maksiat terhadap Allah, sedangkan masuknya sabar jenis ketiga karena merupakan penahanan diri untuk tidak bersedih dan tidak marah ketika menerima taqdir Allah yang menyakitkan.

Adapun motivator sabar terdapat dalam ungkapan definisi kami yang berbunyi “Untuk mencari keridhaan Allah”, Allah berfirman:

ولربك فاصبر

“Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah.” (Al-Muddatstsir: 7).

Dengan demikian, kesabaran yang motivasinya bukan untuk mencari keridhaan Allah tidak berpahala dan tidak pula terpuji, Allah Subhaanahu Wata’aala telah memberi pujian kepada orang-orang berakal yang di antara sifat-sifat mereka adalah seperti yang telah Allah sebutkan dalam firman-Nya:

والذين صبروا ابتغاء وجه ربهم وأقاموا الصلاة وأنفقوا مما رزقناهم سرا وعلانية

“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rejeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.” (Ar-Ra’d: 22).

Nash ini menunjukkan pada suatu hakekat yang amat penting, yaitu bahwa akhlak yang harus disikapi oleh seorang Mu’min adalah akhlak yang berlandaskan kepada ketuhanan, bukan berlandasan situasi dan kondisi ataupun materi, melainkan ketuhanan, baik ditinjau dari segi sumber kewajiban menerapkan akhlak itu atau dari segi motivator yang mendorong untuk menyandangnya. Dengan demikian akhlak seorang Mu’min tidak dipengaruhi oleh pengawasan manusia, ada atau tidak adanya pengawasan manusia tidak mempengaruhinya dalam bersikap baik, bahkan sikap baik akan selalu dikerjakan oleh seorang Mu’min di setiap waktu dan keadaan, karena ia selalu dalam pengawasan Tuhan dan karena keridhaan Allah adalah motifnya.

Urgensi Sabar

Sabar adalah akhlak yang amat nyata dan paling banyak disebutkan dalam Al-Qur’an, bahkan telah disebutkan lebih dari seratus kali. Hal itu tidak lain karena sabar merupakan poros sekaligus asas dari segala macam akhlak baik, karena itulah setiap kali anda menelusuri kebaikan atau keutamaan maka anda akan menemukan bahwa asas dan landasannya adalah sabar; ‘Iffah (menjaga kesucian diri), adalah sabar untuk menahan diri dari syahwat kemaluan dan menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan. Kemuliaan jiwa adalah sikap sabar dengan menahan diri dari syahwat perut. Menyimpan rahasia adalah sabar dengan menahan diri dalam menampakkan sesuatu yang tidak baik untuk ditampakkan yang berupa pembicaraan. Zuhud (tidak suka pada keduniawian) adalah sabar untuk menahan diri terhadap kehidupan yang berlebihan. Qana’ah (merasa puas dengan apa yang dimiliki) adalah sabar dengan menahan diri untuk merasa puas dengan apa yang dimiliki. Hilm (lemah lembut) adalah sabar dengan menahan diri dari sesuatu yang dapat membangkitkan amarah. Waqar (bersikap tenang) adalah sabar untuk tidak tergesa-gesa dan tidak kurang akal. Berani adalah bersabar dengan menahan diri dari sesuatu yang mengajak untuk melarikan diri. Pemaaf adalah sabar dengan menahan diri untuk tidak melakukan balas dendam. Pemurah adalah sabar dengan menahan diri untuk tidak memenuhi panggilan kekikiran. Semangat adalah sabar dengan menahan diri dari sesuatu yang mengajak pada kelemahan atau kemalasan.

Ini menunjukkan saling berkaitannya faktor-faktor pengukuh agama yang kesemuanya bersumbu pada kesabaran, hanya saja namanya berbeda-beda namun memiliki makna yang sama. Seorang yang cerdik adalah orang yang memandang sesuatu pertama kali pada hakekatnya dan makna yang terkandung di dalamnya, kemudian pandangan itu ia alihkan kepada nama dari sesuatu itu, karena hakekat dan makna yang terkandung adalah pokok, sedangkan nama hanyalah cabang, dan barangsiapa yang mencari pokok dari cabangnya maka ia akan tergelincir.

Dari sini dapat kita ketahui, mengapa Al-Qur’an mengkaitkan kemenangan hanya dengan sabar sebagaimana firman-Nya:

وجزاهم بما صبروا جنة وحريرا

“Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera.” (Al-Insan: 12).

أولئك يجزون الغرفة بما صبروا ويلقون فيها تحية وسلاما

“Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam Surga) karena kesabaran mereka, dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya.” (Al-Furqan: 75).

سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار

“(Sambil mengucapkan):”Salamun ‘alaikumbima shabartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (Ar-Ra’d: 24).

Dan dapat pula kita pahami di sini bahwa perhatian besar Al-Qur’an pada sikap sabar ini karena besarnya nilai sabar dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Sabar bukanlah sikap baik yang dinomor duakan, melainkan termasuk kebutuhan yang lazim, yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia, maka tidak ada keberhasilan di dunia, tidak ada pertolongan dan keteguhan kecuali dengan kesabaran.

Tidak ada keberuntungan di akhirat, tidak pula kemenangan dan keselamatan kecuali dengan kesabaran. Seandainya tidak ada kesabaran pada seorang petani, pelajar, tentara dan lain-lainnya, tentulah tidak akan berhasil mencapai apa yang mereka tuju.

Seorang penyair menyebutkan :
“Tidaklah orang yang bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu yang diusahakannya dan disertai pula dengan kesabaran, kecuali ia pasti akan meraih keberhasilan”.

Penyair lainnya menyebutkan :
“Janganlah sekali-kali engkau berputus asa walaupun harus menempuh masa yang panjang, jika engkau meminta pertolongan dengan sikap sabar, pasti kau akan menemukan jalan keluarnya. Berperilakulah seperti orang yang sabar saat mengejar tujuannya, laksana pengetuk pintu yang terus menerus mengetuk.”

Dan jika demikian halnya dalam urusan dunia maka dalam urusan akhirat sikap sabar lebih dibutuhkan dan lebih ditekankan. Abu Thalib Al-Makky berkata: “Ketahuilah bahwa sabar adalah sebab masuknya seseorang ke dalam Surga, dan sebab selamatnya seseorang dari siksa api Neraka, sebab telah disebutkan dalam suatu hadits:

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ.

“Surga itu dikelilingi dengan hal-hal yang dibenci, sementara Neraka dikelilingi dengan berbagai macam syahwat.” [Diriwayatkan oleh Muslim dengan lafazh seperti ini dalam bab Sifatul Jannah No. 2822 yang diriwayatkan dari Anas, dan hadits ini juga telah disebutkan dalam Ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah]

Maka seorang Mu’min membutuhkan kesabaran dalam menjauhi perbuatan yang tidak disukai agar dapat masuk Surga, dan membutuhkan kesabaran untuk meninggalkan perbuatan maksiat agar selamat dari api Neraka. [Quut Al-Quluub, 1/200]

Ia juga mengatakan: “Ketahuilah bahwa kebanyakkan dosa yang dilakukan manusia adalah pada dua hal, yaitu: sedikitnya kesabaran terhadap apa yang mereka cintai dan sedikitnya kesabaran terhadap apa yang mereka benci”. [Quut Al-Quluub, 1/199]

Jika demikian halnya kedudukan sabar terhadap setiap manusia, maka orang-orang yang beriman adalah yang paling besar kebutuhannya terhadap kesabaran, karena mereka selalu manghadapi berbagai macam ujian dan cobaan dalam kehidupan mereka di dunia ini, Allah berfirman:

الم (1) أحسب الناس أن يتركوا أن يقولوا آمنا وهم لا يفتنون (2) ولقد فتنا الذين من قبلهم فليعلمن الله الذين صدقوا وليعلمن الكاذبين (3)

“Alif laaf miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan; ‘Kami telah beriman’ sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-Ankabut: 1-3).

Dan berfirman pula Allah Subhaanahu Wata’aala:

أم حسبتم أن تدخلوا الجنة ولما يأتكم مثل الذين خلوا من قبلكم مستهم البأساء والضراء وزلزلوا حتى يقول الرسول والذين آمنوا معه متى نصر الله ألا إن نصر الله قريب

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu, mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah”. Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al-Baqarah: 214).

Penekanan akan pentingnya sabar lebih ditekankan lagi pada firman Allah yang berbunyi:

لتبلون في أموالكم وأنفسكم ولتسمعن من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم ومن الذين أشركوا أذى كثيرا وإن تصبروا وتتقوا فإن ذلك من عزم الأمور

“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (Ali Imran: 186).

Ayat ini menerangkan bahwa komponen-komponen kekufuran dengan berbagai jenisnya telah bersatu untuk mengadakan perlawanan terhadap Islam, dan ayat ini menerangkan pula tentang strategi yang harus dilakukan kaum Mukminin dalam menghadapi itu dengan bersikap sabar yang dipadukan dengan ketakwaan. Jadi, sikap sabar saja tidaklah cukup sehingga mereka padukan sikap kesabaran itu dengan taqwa mereka kepada Allah, yaitu dengan cara memelihara diri mereka dari membalas permusuhan dengan menggunakan cara-cara mereka yang keji, tidak memperlakukan musuh dengan cara yang hina, maka kaum Mu’minin hendaknya tidak membalas tipu daya dengan tipu daya pula, karena orang-orang yang beriman itu memiliki kepribadian yang mulia dalam keadaan damai ataupun perang, dalam keadaan susah ataupun senang. Kemudian ayat ini menerangkan bahwa gangguan yang seringkali datang dari golongan kafir adalah bersifat gangguan yang didengar atau provokasi, dan itu sangat banyak. Maka sudah menjadi keharusan bagi kaum Muslimin untuk tetap bersikap tegar dan mantap dalam mendengarkan isu, provokasi, gosip, berita bohong dan hal sejenis lainnya yang datang dari orang-orang kafir hingga datang pertolongan Allah kepada mereka.

Para Utusan Allah shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada mereka semua adalah golongan orang beriman yang paling membutuhkan kesabaran, karena mereka adalah orang-orang yang meluruskan landasan hidup dengan da’wah dan mengusahakan perubahan pada manusia, yang mana dalam usaha tersebut terkadang di antara mereka harus menghadapi sekelompok umat manusia yang keras kepala dan mendustakannya bahkan melawannya, bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ

“Manusia yang paling besar cobaannya adalah para nabi, kemudian yang setara kemudian yang setara.”

Semakin hebat keras kepala mereka dan semakin jauh kesesatan mereka, maka semakin besar pula kebutuhan nabi yang diutus kepada mereka akan kesabaran, seperti halnya para Ulul ‘Azmi; Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad, semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada mereka semua.

Perintah Allah kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersabar adalah banyak sekali disebutkan di dalam Al-Qur’an, hal itu karena da’wah yang dilakukan oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah da’wah yang bersifat universal, yaitu untuk menda’wahi seluruh umat manusia di permukaan bumi ini. Dengan demikian musuh-musuh yang menentang da’wah beliau adalah lebih banyak, maka kebutuhan seorang pemimpin da’wah akan kesabaran adalah sangatlah besar. Beliau telah menghadapi berbagai macam penderitaan dalam melaksanakan da’wah, baik penderitaan jasmani, rohani, materi, maupun penderitaan lainnya. Akan tetapi semua penderitaan itu berhasil beliau atasi dengan kesabaran yang Allah perintahkan kepada beliau pada dua puluh tempat dalam Al-Qur’an. Semua perintah bersabar itu terjadi pada masa kehidupan beliau di Mekkah sebelum hijrah, karena masa itu adalah masa yang penuh dengan ujian, cobaan, kelemahan dan di bawah bayangan kekuasaan orang-orang kafir. Di antara firman Allah yang ditujukan kepada beliau yang berkenaan dengan sabar adalah:

تلك من أنباء الغيب نوحيها إليك ما كنت تعلمها أنت ولا قومك من قبل هذا فاصبر إن العاقبة للمتقين

“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Huud: 49).

واصبر وما صبرك إلا بالله ولا تحزن عليهم ولا تك في ضيق مما يمكرون

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (An-Nahl: 127).

واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي يريدون وجهه ولا تعد عيناك عنهم تريد زينة الحياة الدنيا

“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini.” (Al-Kahfi: 28).

Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman dalam surat Ath-Thuur yang mengandung hikmah besar dan mengandung unsur pendidikan berkenaan dengan sikap sabar:

واصبر لحكم ربك فإنك بأعيننا وسبح بحمد ربك حين تقوم

“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabbmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji tuhanmu ketika kamu bangun berdiri.” (Ath-Thuur: 48).

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan beliau untuk bersabar dalam menunggu ketetapan Allah, karena sesungguhnya Allah tidak menetapkan sesuatu kecuali dengan benar dan penuh keadilan, dalam ayat ini Allah berfirman:
“Maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami”.

Dengan menggunakan kata “Kami” untuk menambah keteguhan dan kemantapan pada diri beliau sehingga semakin besar pula rasa belas kasih Allah kepada beliau, sedangkan yang diungkapkan kepada Nabi Musa Allah berfirman:

ولتصنع على عيني

“Dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku. (Thaha: 39).

Sebab barangsiapa yang berada dalam pengawasan dan pemeliharaan Allah, maka tidak akan luput dan tidak akan terkalahkan.

Kemudian pada ayat yang sama Allah memerintahkan beliau untuk bertasbih, juga dalam sejumlah ayat lainnya yang menyertai perintah untuk bersabar, mungkin rahasia yang tersembunyi dalam perintah ini adalah: Bahwa bertasbih akan mendatangkan kesejukan jiwa pada manusia sehingga pahitnya kesabaran akan berubah menjadi manis. Dalam bertasbih dan bertahmid terkandung dua makna luhur yang harus diperhatikan oleh orang yang tertimpa cobaan, yaitu:

  • Mensucikan Allah Subhaanahu Wata’aala dengan berkeyakinan bahwa Allah tidak mungkin melakukan perbuatan yang sia-sia, semua perbuatan atau ketentuan Allah adalah untuk suatu kebijaksanaan yang sempurna, dan cobaan yang diberikan kepada manusia adalah bagian dari kebijaksanaan-Nya.

  • Bahwa sesungguhnya setiap kesulitan yang Allah berikan kepada manusia adalah untuk menuju kesenangan, dan dalam setiap cobaan pasti akan ada kenikmatan. Maka sudah selayaknya semua itu untuk tetap diingat, disyukuri dan disertai pujian, mungkin inilah rahasia dipadukannya tasbih dengan tahmid.

Sedangkan firman-Nya yang berbunyi: “Tuhanmu”, adalah merupakan pernyataan Allah tentang sempurnanya pendidikan kepada Rasul-Nya dan betapa besarnya perhatian Allah kepada beliau.

Hukum Bersabar

Secara umum, sabar hukumnya wajib berdasarkan beberapa alasan berikut:

  • Perintah Allah untuk bersabar terdapat di lebih dari seratus tempat dalam Al-Qur’an, di antaranya Allah berfirman:

    واستعينوا بالصبر والصلاة

    “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.” (Al-Baqarah: 45)

    Dan Allah berfirman:

    اصبروا وصابروا

    “Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu.” (Ali Imran: 200).

  • Allah melarang untuk melakukan sikap yang bertentangan dengan sikap sabar sebagaimana dalam firman-Nya:

    فلا تولوهم الأدبار

    “Maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).” (Al-Anfal: 15)

    dan firman-Nya:

    ولا تبطلوا أعمالكم

    “Dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (Muhammad: 33).

    ولا تهنوا ولا تحزنوا

    “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati.” (Ali Imran: 139)

    فاصبر كما صبر أولوا العزم من الرسل ولا تستعجل لهم

    “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul yang telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.” (Al-Ahqaf: 35).

  • Bahwa Allah, menjadikan kebaikan di dunia dan di akhirat amat bergantung pada sikap sabar, jika demikian halnya maka sikap sabar adalah suatu kewajiban.

    Sedangkan jika bersabar itu dirinci maka hukumnya adalah sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Ibnu Al-Qayyim berdasarkan pada sesuatu yang harus disabari, yaitu: wajib bersabar terhadap hal-hal yang diwajibkan, wajib bersabar terhadap hal-hal yang diharamkan, sunnah bersabar terhadap hal-hal yang dimakruhkan, makruh bersabar terhadap hal-hal yang disunnahkan, Sunnah bersabar terhadap hal-hal yang disunnahkan dan makruh bersabar terhadap hal-hal yang dimakruhkan. Di antara ayat yang menunjukkan bahwa bersabar terkadang tidak diharuskan adalah firman-Nya:

    وإن عاقبتم فعاقبوا بمثل ما عوقبتم به ولئن صبرتم لهو خير للصابرين

    “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (An-Nahl: 126).

    Maka bersabar dalam menghadapi keburukan dengan keburukan yang serupa bukanlah suatu kewajiban melainkan kesabaran yang disunnahkan.

    Allah Subhaanahu Wata’aala telah memerintahkan kepada kaum Mu’minin untuk shabr (bersabar), mushabarah (mengkuatkan kesabaran) dan murabathah (bersiap siaga), maka Allah berfirman:

    يا أيها الذين آمنوا اصبروا وصابروا ورابطوا واتقوا الله لعلكم تفلحون

    “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Ali Imran: 200).

    Al-Mushabarah mengandung pengertian dari dua arah, di sini artinya, mengalahkan musuh dalam kesabaran, yaitu jika kita bersabar pada kebenaran yang kita miliki maka sesungguhnya orang-orang musyrik bersabar pada kebatilan mereka, karena itu kita harus mengalahkan mereka dengan memperkuat kesabaran kita. Kemudian kita diperintahkan dengan bersiap siaga berdasarkan kesabaran yang telah dikuatkan itu dan mempertahankannya, hal ini untuk merealisasikan apa yang telah dijanjikan Allah hingga kemenangan berada di pihak kita, maka tampaklah dalam ayat ini peralihan perintah dari yang ringan kepada perintah yang lebih tinggi. Maka perintah “bersabar”, adalah terhadap dirimu sendiri, sedangkan “mengkuatkan kesabaran”, adalah antara dirimu dan musuhmu, dan “bersiap siaga”, adalah pemantapan diri serta mempersiapkan persiapan. Dan sebagaimana pentingnya jasmani dalam mempersiapkan kekuatan untuk menangkal serangan musuh, maka yang lebih penting lagi adalah mempersiapkan kekuatan hati untuk menangkal serangan syaitan agar syaitan tidak menguasai kita, atau mengganggu kita dengan berbagai macam tipu dayanya. Terkadang seorang hamba telah bersabar tetapi tidak mengkuatkan kesabarannya itu, terkadang pula seorang hamba telah menguatkan sabar dan tidak bersiap siaga, dan terkadang telah bersabar dan menguatkan kesabaran serta bersiap siaga namun tanpa disertai ketaqwaan, maka pada ayat ini Allah mengkhabarkan bahwa untuk melakukan semua itu haruslah disertai dengan taqwa.

Tingkatan-tingkatan Sabar

Ada dua macam sabar, yaitu: Jasmani dan Rohani, masing-masing memiliki dua bagian yaitu: yang bersifat Ikhtiari (bisa dihindari) dan yang bersifat Idhthirari (tidak bisa dihindari), dengan demikian tingkatan sabar itu terbagi menjadi empat tingkatan, yaitu:

  • Sabar Jasmani Ikhtiari, seperti bersabar dalam melakukan pekerjaan yang berat.

  • Sabar Jasmani Idhthirari, seperti bersabar dalam menghadapi penyakit.

  • Sabar Rohani Ikhtiari, yaitu bersabar diri untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak baik menurut logika dan juga tidak baik menurut syari’at.

  • Sabar Rohani Idhthirari, seperti bersabar diri terhadap hilangnya sesuatu atau seseorang yang amat dicintainya.

Binatang turut serta bersama manusia dalam menghadapi dua macam kesabaran Idhthirari, akan tetapi menusia mempunyai keistimewaan daripada binatang dalam menghadapi dua macam kesabaran Ikhtiari.

Sabar Ikhtiari lebih sempurna daripada sabar Idlthirari, karena sabar Idhthirari akan dialami oleh setiap manusia, berbeda dengan sabar Ikhtiari yang tidak semua manusia mesti mengalaminya. Maka dari itu, kesabaran Nabi Yusuf untuk menahan diri ketika dirayu oleh isteri al-Aziz, dan kesabarannya untuk menerima hukuman penjara adalah kesabaran yang lebih besar daripada kesabarannya ketika beliau menerima perlakuan saudara-saudaranya yang memasukkannya ke dalam sebuah sumur dan memisahkan dirinya dari ayahnya serta menjualnya seharga seorang budak. Di antara kesabaran Ikhtiari adalah kesabaran beliau (Yusuf ‘alaihis salam), ketika Allah memberikan kemuliaan dan kemantapan kepadanya dengan menjadi raja, jabatan raja yang ia miliki itu ia kendalikan untuk taat kepada Allah serta tidak menjadikan dirinya sombong dan takabur.

Begitu juga dengan kesabaran yang dilakukan oleh Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena sesungguhnya kesabaran mereka adalah dalam rangka melakukan dakwah kepada Allah Subhaanahu Wata’aala, dalam rangka berjuang melawan musuh-musuh Allah, oleh karena itu, mereka dinamakan dengan sebutan Ulul Azmi, artinya yang memiliki kesabaran besar, dan karena itu pula Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersabar seperti kesabaran mereka dalam firman-Nya:

فاصبر كما صبر أولوا العزم من الرسل ولا تستعجل لهم

“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul yang telah bersabar.” (Al-Ahqaf: 35).

Dan Allah melarang beliau untuk melakukan seperti apa yang telah dilakukan oleh orang yang ada dalam perut ikan, yaitu Nabi Yunus ‘alaihis salam, yang tidak sabar dalam menghadapi kaumnya, yang mana saat itu beliau pergi meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah sebelum diizinkan Allah, sebagaimana firman-Nya:

فاصبر لحكم ربك ولا تكن كصاحب الحوت إذ نادى وهو مكظوم

“Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Rabbmu, dan janganlah kamu seperti orang (Yunus) yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya).” (Al-Qalam: 48).

Maka berdasarkan inilah kisah Syafa’at pada hari Kiamat beredar, yang mana para Ulul Azmi dimintai syafa’atnya, akan tetapi syafa’at itu hanya bisa diberikan oleh yang terbaik dan yang paling sabar di antara mereka, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ketahuilah bahwa kesabaran yang berhubungan dengan tanggung jawab baik kesabaran untuk melakukan ketaatan, atau untuk meninggalkan dosa, adalah lebih baik daripada kesabaran yang berhubungan dengan taqdir, karena kesabaran yang berhubungan dengan taqdir ini akan dialami oleh orang baik dan orang jahat, oleh orang beriman dan orang kafir, setiap manusia dituntut untuk bersikap sabar terhadap taqdir baik dengan sabar Ikhtiari ataupun dengan sabar Idhthirari. Sedangkan sabar terhadap perintah dan larangan adalah kesabaran yang dilakukan oleh pengikut para rasul, dan bersabar untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan adalah lebih baik daripada bersabar untuk meninggalkan sesuatu yang dilarang, karena melakukan perbuatan yang diperintahkan adalah lebih baik daripada meninggalkan perbuatan yang dilarang, dan bersabar terhadap sesuatu yang lebih dicintai di antara dua hal adalah kesabaran yang lebih tinggi dan lebih utama.