Salah satu perkara yang terjadi pada Hari Kiamat adalah mizan atau timbangan, dengannya amal manusia ditimbang.

Dalam beberapa dalil mizan disebutkan dengan kata tunggal â€کmizan’ sementara dalam dalil yang lain dengan kata jamak â€کmawazin’.

Firman Allah, “Kami akan memasang timbangan-timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.â€‌ (Al-Anbiya’: 47).

Firman Allah, “Timbangan-timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri.â€‌ (Al-A’raf: 8-9).

Sabda Nabi, “Ada dua kalimat yang dicintai Allah yang Maha Penyayang, ringan diucapkan, berat di timbangan yaitu, â€کMahasuci Allah dan dengan memujiNya Mahasuci Allah yang Mahaagung.â€‌ (HR. al-Bukhari dan Muslim). Nabi bersabda, “Di timbangan,â€‌ dengan kata tunggal.

Bagaimana kita menggabungkan antara ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits ini?

Ia disebut dengan bentuk jamak dengan melihat kepada apa yang ditimbang di mana ia berjumlah dan ia disebut mufrad dengan melihat kepada timbangannya.

Akan tetapi yang lebih jelas – Wallahu a’lam – bahwa timbangannya adalah satu dan ia disebut dalam bentuk jamak dengan melihat kepada apa yang ditimbang dengan dalil firman Allah, “Maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya.â€‌ (Al-A’raf: 8).
Apakah satu timbangan ini untuk seluruh umat manusia? Ataukah masing-masing umat dengan timbangannya sendiri?

Tidak bisa dipastikan apakah timbangan satu untuk seluruh umat ataukah setiap umat dengan satu timbangan karena dalil menunjukkan bahwa umat berbeda-beda dari segi pahalanya.

Zhahir dalil-dalil yang ada adalah bahwa ia timbangan yang nyata dan bahwa timbangannya seperti yang telah kita kenal, berat dan ringan. Hal itu karena pada dasarnya kata-kata yang tercantum di dalam al-Qur’an dan Sunnah diberi makna sesuai dengan yang telah diketahui dan dikenal kecuali jika ada dalil yang menyelisihi hal itu dan yang telah diketahui dan dikenal di kalangan kaum muslimin di mana dalil-dalil tersebut ditujukan kepada mereka sejak turunnya al-Qur’an al-Karim sampai hari ini adalah bahwa timbangan adalah nyata, bahwa ada sisi berat dan sisi ringan.

Mu’tazilah berkata, tidak ada timbangan yang riil dan memang tidak perlu karena Allah telah mengetahui dan mencatat amal-amal manusia dan yang dimaksud dengan mizan (timbangan) adalah timbangan maknawi yaitu keadilan.

Tanpa ragu pendapat Mu’tazilah ini adalah batil karena ia menyelisihi zhahir lafazh dari dalil dan ijma’ salaf karena kalau yang dimaksud dengan mizan adalah keadilan maka tidak perlu kita mengatakan timbangan, cukup dengan kata keadilan karena keadilan lebih disukai oleh jiwa daripada kata timbangan. Oleh karena itu Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.â€‌ (An-Nahl: 90).

Sebagian ulama berkata, timbangan yang berat adalah yang terangkat ke atas karena itu berarti ketinggian, akan tetapi yang benar adalah memahaminya sebagaimana zhahirnya yakni bahwa yang berat adalah yang turun, hal ini ditunjukkan oleh hadits bithaqah (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi, dan at-Tirmidzi menyatakannya hasan) di mana di dalamnya disebutkan bahwa catatan-catatan berhamburan karena kalah berat dengan bithaqah tersebut. Ini jelas bahwa yang berat adalah yang turun.

Mungkin ada yang berkata, bagaimana amal ditimbang padahal ia adalah sifat yang berdiri pada pelakunya, ia bukan jasad sehingga ia bisa ditimbang?

Jawabnya, Allah menjadikan amal-amal tersebut sebagai jasad. Ini bukan aneh bagi kodrat Allah. Hal ini memiliki kesamaan yaitu kematian, ia diwujudkan dalam bentuk domba lalu disembelih di antara Surga dan Neraka. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Padahal kematian adalah makna bukan jasad, dan yang menyembelihnya bukan malaikat maut akan tetapi kematian itu sendiri di mana Allah menjadikannya jasad yang dilihat dan disaksikan. Begitu pula amal perbuatan, Allah menjadikannya jasad yang ditimbang dengan timbangan tersebut.

Zhahir dalil-dalil menunjukkan bahwa yang ditimbang adalah amal perbuatan, Nabi bersabda, “Ada dua kalimat yang dicintai oleh Allah yang Penyayang, ringan diucapkan dan berat di timbangan.â€‌ Ini jelas juga bahkan secara tegas menetapkan bahwa yang ditimbang adalah amal perbuatan.

Akan tetapi terdapat dalil-dalil lain yang zhahirnya mungkin menyelisihi hadits ini, di antaranya adalah hadits sohib bithaqah, seorang laki-laki dihadirkan di hadapan khalayak manusia, amal perbuatannya disodorkan kepadanya dalam buku catatan yang mencapai sembilan puluh sembilan buku, setiap buku mencapai sejauh mata memandang maka dia mengakuinya. Dia ditanya, “Apakah kamu mempunyai alasan atau kebaikan.â€‌ Dia menjawab, “Tidak ya Rabbi.â€‌ Allah berfirman, “Kamu punya, kamu mempunyai kebaikan di sisi Kami.â€‌ Maka dihadirkanlah sebuah bithaqah (kartu) kecil di dalamnya adalah â€کAku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.’ Dia berkata, “Kamu tidak dizhalimi.â€‌ Dia berkata, “Lalu buku catatan itu diletakkan di daun timbangan dan kartu itu di daun yang lain maka buku catatan tersebut terangkat ke atas dan kartu tersebut lebih berat darinya.â€‌
Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa yang ditimbang adalah buku catatan amal perbuatan.

Ada pula dalil yang menunjukkan bahwa yang ditimbang adalah pelaku, seperti hadits shahih dari Ibnu Mas’ud bahwa dia memanjat pohon arak untuk mengambil ranting siwak. Ibnu Mas’ud ini adalah sahabat dengan kedua kaki yang kecil maka dia digoyang oleh angin. Para sahabat tertawa. Nabi bertanya, “Mengapa kalian tertawa?â€‌ mereka menjawab, “Karena kecilnya kedua kakinya.â€‌ Nabi bersabda, “Demi dzat yang jiwaku berada di tanganNya, keduanya lebih berat dalam timbangan daripada Uhud.â€‌ (HR. Ahmad).

Jadi ada tiga yang ditimbang: amal perbuatan, pelaku dan buku catatan.

Sebagian ulama berkata, untuk menggabungkannya dikatakan, sebagian orang ada yang ditimbang amalnya, sebagian yang lain ditimbang buku catatannya dan sebagian lain ada yang ditimbang dirinya.

Hanya saja kalau kita renungkan maka kita dapati bahwa kebanyakan dalil-dalil menunjukkan bahwa yang ditimbang adalah amal perbuatan. Adapun timbangan buku catatan amal atau pelakunya maka itu khusus untuk sebagian orang saja.

Apa yang tercantum di hadits Ibnu Mas’ud dan hadits sohib bithaqah maka bisa jadi adalah perkara yang Allah khususkan untuk sebagian hamba yang dikehendakinya. Wallahu A’lam.

Dari Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, Ibnu Utsaimin.