Syubhat kedua: Ketergantungan perbuatan Allah kepada doa dari hamba

Masalah keterkaitan perbuatan Allah Ta’ala adalah masalah di mana banyak orang tersesat jalan padanya. Syubhat ini menyusup ke dalam doa, yaitu bila perbuatan Allah yang dalam hal ini adalah memberi bergantung kepada perbuatan hamba yang dalam hal ini adalah doa, hal itu berarti bahwa hamba bisa mempengaruhi ar-Rabb melalui doanya kepadaNya sehingga Dia memberinya. Syubhat ini tidak berharga, karena pijakannya adalah qiyas ar-Rabb kepada hamba yang diminta.

Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan ar-Rabb, kemudian Allah adalah pemberi karunia pertama dan terakhir, seluruh kebaikan ada di kedua tanganNya.

Bila dikatakan, bila pemberian Allah bergantung kepada perbuatan hamba, sebagaimana yang terjadi pada orang yang diminta lalu dia memberi peminta, maka peminta telah memberi pengaruh terhadap yang diminta sehingga dia memberi.

Kami katakan, ar-Rabb yang menggerakkan hamba untuk berdoa kepadaNya, sedangkan kebaikan adalah dariNya dan kesempurnaannya atasNya, sebagaimana Umar berkata, “Sesungguhnya aku tidak memikirkan jawaban doa, akan tetapi aku hanya memikirkan doa, bila aku diberi ilham untuk berdoa, maka jawaban ada bersamanya.”

Allah berfirman, “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya…” (As-Sajdah: 5).

Allah mengabarkan bahwa Dialah yang memulai mengatur, kemudian perkara yang Dia atur naik kepadaNya, Allahlah yang menggerakkan hati hamba untuk berdoa dan menjadikannya sebagai sebab bagi kebaikan yang Dia berikan kepadanya, sebagaimana dalam perkara amal perbuatan dan pahalanya, Dialah yang membimbing hamba untuk bertaubat lalu Dia menerimanya, Dialah yang membimbing hamba untuk beramal lalu memberi pahala, Dialah yang membimbing hamba untuk berdoa lalu Dia menjawabnya, jadi tidak ada seorang pun makhluk yang memperngaruhi Allah, karena Dia menjadikan apa yang Dia lakukan sebagai sebab dari apa yang Dia lakukan. Mutharrif bin Abdullah bin asy-Syikhkhir salah seorang imam tabi’in berkata, “Aku memperhatikan perkara ini, maka aku melihat bahwa awalnya adalah dari Allah, kesempurnaannya atas Allah dan aku melihat bahwa kunci dari hal itu adalah doa.”

Syubhat ketiga: Tertundanya jawaban padahal doa sudah diucapkan

Syubhat ini telah membawa sebagian orang kepada sikap berputus asa dan hilang harapan, salah seorang dari mereka berkata, “Saya sudah berdoa dan berdoa, namun tiada hasil.” Padahal Rasulullah shallallohu’alaihi wasallam melarang sikap tersebut, beliau bersabda, “Doa hamba dijawab selama tidak berdoa dengan dosa dan pemutusan silaturrahim, selama dia tidak tergesa-gesa.” Rasulullah shallallohu’alaihi wasallam ditanya, “Rasulullah, apa yang dimaksud dengan terburu-buru?” Beliau menjawab, “Dia berkata, ‘Saya sudah berdoa tetapi tidak dijawab.’ Saat itu dia bersedih dan meninggalkan doa.” Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah.

Hadits ini menunjukkan jawaban doa pasti terwujud, hanya masalah waktu atau kembali kepada terpenuhinya syarat-syarat dan terangkatnya penghalang-penghalang.

Di sini ada sebuah pertanyaan yang dikenal, di antara manusia ada yang meminta kepada Allah namun dia tidak diberi apa pun atau diberi tanpa meminta. Pertanyaan ini dijawab dengan beberapa jawaban, tiga di antaranya sangat terarah:

Pertama: Bahwa ayat tidak mengandung pemberian terhadap permintaan secara mutlak, akan tetapi ia hanya mengandung jawaban terhadap pendoa, pendoa lebih umum daripada peminta dan jawaban terhadap pendoa lebih umum daripada pemberian kepada peminta, oleh karena itu Nabi shallallohu’alaihi wasallam bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا في كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَاُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

Rabb kami turun setiap malam ke langit terendah, lalu Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepadaKu sehingga Aku menjawab untuknya, siapa yang meminta kepadaKu sehingga Aku memberinya dan siapa yang memohon ampun kepadaKu sehingga Aku mengampuninya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Hadits ini membedakan antara pendoa dengan peminta, antara jawaban dan pemberian, dan ia adalah perbedaan antara umum dan khusus, kemudian hadits di atas menyebutkan orang yang memohon ampunan dan ia adalah bagian dari peminta, jadi hadits di atas menyebutkan yang umum kemudian yang khusus kemudian yang lebih khusus dan bila hamba-hamba mengetahui bahwa Allah Mahadekat menjawab doa orang yang berdoa, maka mereka mengetahui kedekatanNya kepada mereka dan kemungkinan mereka untuk meminta kepadaNya, mereka mengetahui ilmu, rahmat dan kodratNya, maka mereka berdoa kepadaNya dengan doa ibadah dalam satu kondisi dan doa mas`alah dalam keadaan lain serta menggabungkan keduanya dalam keadaan ketiga, karena doa adalah sebuah nama yang menggabungkan ibadah dan permohonan bantuan.

Jawaban kedua: Jawaban atas doa peminta lebih umum daripada pemberian apa yang diminta itu sendiri, sebagaimana Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menafsirkannya dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya bahwa beliau bersabda,

مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو اللهَ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيْهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيْعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثِ خِصَالٍ إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ أَوْ يَدَّخِرَ لَهُ مِنَ الخَيْرِ مِثْلهَا أَوْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ الشَّرِّ مِثْلهاَ، قالوُا يارَسُولَ اللهِ إِذًا نُكْثِر قاَلَ: اللهُ أَكْثَرُ

Tidak ada seorang laki-laki yang memanjatkan sebuah doa kepada Allah yang tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturrahim kecuali Allah memberinya dengan doa itu satu dari tiga hal: Dia menyegerakan doanya atau menyimpan kebaikan semisalnya untuknya atau menepis keburukan semisalnya darinya.” Mereka berkata, “Kalau begitu kami akan memperbanyak doa.” Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menjawab, “Apa yang Allah miliki lebih banyak.” Diriwayatkan oleh Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albani dan al-Arnauth.

Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam yang benar dan dibenarkan telah mengabarkan bahwa doa yang bersih dari pelanggaran pasti mengandung pemberian terhadap permintaan dengan segera atau kebaikan lain yang semisal atau ditepisnya keburukan semisal darinya.

Jawaban ketiga: Doa adalah sebab terwujudnya apa yang diinginkan, sebuah sebab memiliki syarat-syarat dan penghalang-penghalang, bila syarat-syaratnya terwujud dan penghalang-penghalangnya terangkat, maka apa yang diinginkan terwujud, bila tidak maka apa yang diinginkan tidak terwujud, sebaliknya yang terwujud bisa selainnya, hal yang sama berlaku untuk kalimat-kalimat thayyibah berupa dzikir-dzikir yang ma`tsur di mana terwujudnya manfaat dan tertolaknya mudharat tergantung kepadanya, karena kalimat-kalimat ibarat sebuah alat di tangan pelaku, ia berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kekuatannya dan pendukungnya, tetapi ia mungkin terhadang oleh sebuah halangan tertentu dan nash-nash janji pahala dengan nash-nash ancaman siksa yang secara zhahir bertentangan termasuk ke dalam bab ini, dan kamu sering melihat doa-doa yang diucapkan oleh suatu kaum dan ia dikabulkan untuk mereka, bisa jadi karena doa tersebut diiringi dengan keadaan sulit pendoa dan konsentrasinya kepada Allah atau sebelumnya pendoa memiliki kebaikan yang dilakukannya di mana Allah menjadikan jawaban terhadap doanya sebagai balasan atas kebaikannya atau bertepatan dengan waktu jawaban dan sebagainya, sehingga doanya dijawab, lalu yang bersangkutan mengira bahwa rahasianya pada doa tersebut lalu dia mengambilnya apa adanya tanpa diikuti dengan perkara-perkara yang mengiringinya dari pendoa tersebut.

Hal ini sebagaimana bila seorang laki-laki menggunakan obat yang manjur pada saat yang tepat sehingga khasiatnya terasa olehnya, lalu orang lain mengira bahwa sekedar menggunakan obat tersebut cukup sehingga bisa menyembuhkan, padahal dugaannya salah, demikian juga seseorang mungkin berdoa dengan penuh kekhusu’an di sebuah kubur lalu doanya dijawab, maka dia menyangka bahwa kubur adalah rahasianya dan dia tidak menyadari bahwa rahasia sebenarnya terletak pada kekhusu’annya dan kebenarannya dalam kembali kepada Allah Ta’ala, namun bila hal itu terlaksana di salah satu rumah Allah maka hal itu lebih utama dan lebih dicintai oleh Allah Ta’ala.

Doa-doa, bacaan-bacaan perlindungan dan ruqyah-ruqyah adalah seperti senjata dan sebuah senjata tidak hanya dengan ketajamannya semata, akan tetapi ia juga bergantung kepada tangan pemegangnya, bila senjata tersebut sempurna dan lengan yang memegangnya kuat lalu obyek sasarannya tepat dan tidak ada penghalang, maka ia membunuh musuh, sebaliknya bila salah satu dari ketiga perkara ini tidak terwujud, maka dampaknya juga tidak terwujud. Bila doanya sendiri tidak shalih atau pendoa tidak menyatukan lisan dan hatinya dalam doa atau ada penghalang dijawabnya doa, maka dampaknya tidak terwujud. Wallahu a’lam.