Kata Pengantar

Kaum Muslimin dalam kehidupan bermasyarakatnya memiliki keistimewaan yang menjadi ciri khas mereka, yaitu adanya sifat kasih sayang dan persaudaraan, yang mana sifat kasih sayang tersebut menghiasi hati mereka sementara wajah mereka dihiasi dengan senyum.

Dasar kehidupan sesama Mukmin adalah persaudaraan dan persahabatan yang baik, Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

“Sesungguhnya orang-orang Mu’min adalah bersaudara.” (Al-Hujurat: 10).

Allah Subhaanahu Wata’aala telah mengharamkan atas kaum Mukminin untuk melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka, sebagaimana firman Allah yang berbunyi:

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُون

“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr (arak) dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari melakukan perbuatan itu).” (Al-Maidah: 91).

Dan Allah telah memberi karunia kepada hamba-hamba-Nya dengan menumbuhkan rasa kesatuan di dalam hati mereka, Allah berfirman:

وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

“Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) kamu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.” (Ali Imran: 103).

Dan Allah berfirman pula:

هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ (62) وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ

“Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para Mu’mim. Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.” (Al-Anfal: 62-63).

Adalah selayaknya setiap pribadi Muslim untuk menjaga lidahnya sehingga tidak berkata-kata kecuali untuk kebaikan, dan jika berkata-kata itu sama baiknya dengan tidak berkata-kata, maka agama menganjurkan untuk tidak berkata-kata, karena terkadang perbincangan yang halal dapat berubah menjadi perbincangan yang makruh atau bahkan menjadi perbincangan yang haram, inilah yang sering terjadi di antara manusia.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, maka hendaklah ia berkata-kata yang baik atau hendaklah ia diam”.

Dalam hadits yang telah disepakati keshahihannya ini disebutkan bahwa tidak layak seseorang berkata-kata kecuali jika kata-katanya itu mengandung kebaikan, yaitu perkataan yang mendatangkan kebaikan. Untuk itu jika seseorang ragu tentang ada atau tidaknya kebaikan pada apa yang akan diucapkannya maka hendaklah ia tidak berbicara.

Imam Syafi’i mengatakan: “Jika seseorang akan berbicara hendaklah ia berfikir sebelum berbicara, jika yang akan diucapkannya itu mengandung kebaikan maka ucapkanlah, namun jika ia ragu (tentang ada atau tidaknya kebaikan pada apa yang akan ia ucapkan) maka hendaklah tidak berbicara hingga yakin bahwa apa yang akan diucapkan itu mengandung kebaikan.”