Oleh: Abdurrahman Nuryaman
KHUTBAH PERTAMA:

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ …

فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Di hari yang mulia ini, mari kita tingkatkan takwa kita kepada Allah. Bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya bekal yang paling baik adalah takwa.

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Salah satu kewajiban kita kaum Muslimin adalah bersatu dan menghindari perpecahan. Dan khutbah kita kali ini mencoba meng-ingatkan kita kembali akan bahaya berpecah-belah dan berselisih dalam Agama. Berikut beberapa sebab yang senantiasa menimbul-kan perpecahan, dengan harapan semoga Allah membimbing kita untuk bersatu di bawah al-Qur`an dan as-Sunnah dan berusaha meninggalkan segala hal yang dapat menimbulkan perpecahan.

Perpecahan dalam bahasa al-Qur`an dan as-Sunnah adalah الْإِفْتِرَاقُ, yang berasal dari akar kata فَرَقَ yang makna dasarnya adalah lawan dari bersatu atau berkumpul. Perhatikan Firman Allah Ta’ala,

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُوا

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (berpecah belah).” (Ali Imran: 103).

الْإِفْتِرَاقُ (perpecahan) yang kita maksud di sini adalah: Pertama, perpecahan dalam Agama, dan kedua, menyelisihi jamaah kaum Muslimin, yaitu umat Islam secara umum pada zaman Nabi a, pada zaman sahabat, yang mana mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan orang-orang yang mengikuti hidayah mereka setelah munculnya perpecahan di tengah umat ini.

Definisi yang paling menyeluruh dari perpecahan yang kita maksud di sini adalah sebagaimana yang dikatakan oleh asy-Syaikh Nashir al-Aql, “Perpecahan ialah: Keluar dari as-Sunnah dan al-Jama’ah dalam suatu pokok atau lebih dari pokok-pokok dasar Agama yang bersifat I’tiqadiyah atau amaliyah, atau yang berhubungan dengan kemaslahatan besar umat ini, dan termasuk di dalam-nya adalah menentang pemimpin kaum Muslimin yang sah dengan kekuatan senjata.” (Muqaddimat Fi al-Ahwa` wa al-Iftiraq wa al-Bida’).

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Berpecah, atau bercerai-berai, atau berselisih dalam Agama adalah suatu yang sangat buruk, tercela, dan berbahaya. Allah dan RasulNya telah memperingatkan dengan sangat jelas di dalam al-Qur`an dan as-Sunnah.
Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan (memecah belah) kamu dari jalanNya.” (Al-An’am: 153).

Imam Mujahid 5 berkata,” وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ (dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain), maksudnya adalah, bid’ah, syubhat, dan kesesatan.” (Tafsir Mujahid hal. 227).
Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَـئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali Imran: 105).

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga memperingatkan dengan sabda beliau,

اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، فَإِحْدَى وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللّهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: الْجَمَاعَةُ.

“Kaum Yahudi telah berpecah belah menjadi tujuh puluh satu go-longan, tujuh puluh golongan di dalam neraka dan hanya satu golo-ngan di dalam surga. Kaum Nasrani berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, tujuh puluh satu golongan di dalam neraka, dan hanya satu golongan di dalam surga. Dan demi Dzat yang diri Muhammad ada di TanganNya, umatku ini benar-benar akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu golongan di dalam surga dan tujuh puluh dua golongan di neraka.’ Ditanyakan kepada beliau, ‘Siapa mereka (yang masuk surga itu) wahai Ra-sulullah?’ Jawab beliau, ‘Al-Jama’ah.” (HR. Ibnu Majah, no. 3992).

Sampai di sini, bukankah sudah sangat jelas celaka dan bahayanya berpecah belah dalam Agama? Akan tetapi sekalipun demikian, manusia akan terus berpecah, kecuali orang-orang yang dilimpahkan rahmat oleh Allah. Dan demi meraih rahmat Allah inilah, setiap kita harus berusaha menghindari segala macam bentuk perpecahan dan meninggalkan semua macam perselisihan dalam Agama ini. Dan ini dapat kita lakukan dengan berbagai usaha, yang salah satu di antaranya adalah mengenal sebab-sebab perpecahan; tentu untuk kita hindari dan bukan untuk kita ikuti.

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Berikut ini adalah sejumlah penyebab yang paling dominan menimbulkan perpecahan dan perselisihan di antara kaum Muslimin.

Sebab Pertama: Mengikuti Hawa Nafsu dalam Beragama.
Hawa Nafsu dalam bahasa Arab berasal dari kata الْهَوَى yang merupakan bentuk ketiga (mashdar) dari kata kerja dasar هَوَى yang bermakna terjatuh dari atas, dan هَوِيَ yang makna dasarnya adalah kecintaan kepada sesuatu dan gandrung kepadanya. Akan tetapi kata ini kemudian mengalami pergeseran makna, sehingga hanya digunakan untuk kecenderungan dan penyelewengan hati terhadap sesuatu yang tidak baik. Dari sini kata hawa nafsu kemudian di-ungkapkan dan digunakan untuk kecenderungan atau keinginan hati yang tercela. Maka para pengikut hawa nafsu artinya adalah, orang yang jauh dari hidayah yang benar dan hanya mengikuti kecenderungan hatinya, dan karena itu ia akan terjatuh dalam ke-hinaan dan kemudian terjatuh ke dalam neraka.

Hawa nafsu adalah penghalang dari jalan Allah. Hawa nafsu adalah penghancur kebaikan. Dan hawa nafsu adalah pengantar kepada segala keburukan. Itulah sebabnya Allah memperingatkan dengan keras terhadap orang-orang yang mengikuti hawa nafsu-nya.
Pertama: Dalam Surat al-Jatsiyah Allah Ta’ala berfirman,

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmuNya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah, maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Al-Jatsiyah: 23).

Ketika menafsirkan ayat ini, sahabat Ibnu Abbas p berkata, “Maknanya adalah, bahwa orang kafir menjadikan apa yang di-inginkan oleh hawa nafsu sebagai agamanya.”

Yang lain mengatakan, “Maknanya, orang tersebut menjadi-kan hawa nafsunya sebagai sesembahannya, maka dia menyembah (mengikuti dan menaati) apa yang diinginkan oleh dirinya.”

Sa’id bin Jubair Rahimahullah mengatakan, “Bangsa Arab dulu biasa menyembah batu, emas, atau perak; maka apabila mereka men-dapatkan sesuatu yang lebih baik dari yang sebelumnya (dalam pandangan hawa nafsu mereka) mereka lalu menghancurkannya dan menyembah yang lainnya tersebut.” (Lihat Tafsir Ma’alim at-Tanzil oleh al-Baghawi).

Kedua: Dalam Surat al-Qashash ayat 50, Allah Ta’ala berfirman,

فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”

Ketiga: Dalam Surat an-Najm ayat 23, Allah berfirman tentang orang kafir yang menyembah patung latta dan uzza,

إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاء سَمَّيْتُمُوهَا أَنتُمْ وَآبَاؤُكُم مَّا أَنزَلَ اللَّهُ بِهَا مِن سُلْطَانٍ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنفُسُ وَلَقَدْ جَاءهُم مِّن رَّبِّهِمُ الْهُدَى

“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sungguh telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.”

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang mencela buruknya akibat dari hawa nafsu. Dari sini, maka menjadi jelaslah bahwa sumber kesesatan manusia adalah karena mengikuti hawa nafsunya. Karena itu, apabila kita perhatikan dengan seksama, kita akan mendapati dengan sangat jelas bahwa golongan-golongan sempalan yang sesat yang menyimpang dari jalan yang ditempuh Ahlus Sun-nah Wal Jama’ah; pandangan-pandangan mereka, cara berfikir me-reka dan metodologi yang mereka gunakan, semua adalah bermula dari mengikuti hawa nafsu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sejak awal telah memperingatkan bahaya mengikuti hawa nafsu ini. Di antaranya, beliau bersabda,

إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ شَهَوَاتِ الْغَيِّ فِي بُطُوْنِكُمْ وَفُرُوْجِكُمْ وَمُضِلَّاتِ الْهَوَى.

“Sesungguhnya di antara yang aku khawatirkan akan menimpa kalian adalah syahwat yang menyelewengkan pada perut dan kema-luan kalian, dan hawa nafsu yang menyesatkan.” (Diriwayatkan oleh Ahmad no. 19274 dari Abu Barzah Radhiyallahu ‘anhu. Al-Haitsami berkata di dalam Majma’ az-Zawa`id, “Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar dan ath-Thabrani, dan para rawinya adalah rawi-rawi hadits-hadits shahih”).

Para figur teladan umat dari kaum Salaf juga telah memperingatkan dari keburukan dan bahaya mengikuti hawa nafsu. Di antaranya: Dari Imam Sufyan ats-Tsauri -salah seorang di antara umat ini yang mendapat gelar Amirul Mukminin dalam ilmu hadits- beliau mengisahkan, “Bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma lalu berkata kepada beliau, ‘Aku mengikuti keinginan (hawa nafsu)mu’. Maka Ibnu Abbas berkata, ‘Keinginan hawa nafsu semuanya adalah sesat, apa artinya, ‘Saya mengikuti keinginan (hawa nafsu)mu?’.”

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Ciri paling dominan dari orang yang mengikuti hawa nafsu dalam beragama adalah, menyelisihi al-Qur`an dan as-Sunnah.Perhatikan sebagai contoh:

  • Al-Qur`an dan as-Sunnah dengan jelas mengatakan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penutup para nabi, dan tidak akan ada nabi setelah beliau. Akan tetapi Musailamah al-Kadzdzab, lalu Ahmad al-Qadiani, dan lain-lainnya dengan lancang mengaku sebagai nabi. Bahkan kita semua, masyarakat Indonesia beberapa waktu yang lalu telah dikejutkan oleh seorang yang mengaku sebagai rasul utusan Allah setelah bertapa di gunung Salak, Bogor.
  • Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tegas, lugas dan jelas, sejelas matahari, mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat. Akan tetapi masih saja banyak kaum Muslimin yang mengatakan bahwa ada bid’ah yang baik (bid’ah hasanah).
  • Allah dan RasulNya dengan jelas membolehkan poligami. Tetapi sebagian pemikir Muslim dengan lancang berani mengata-kan secara terbuka bahwa poligami adalah suatu kezhaliman atas kaum perempuan.

    Lihat bagaimana hawa nafsu telah membutakan hati mereka untuk menerima Firman Allah dan Sabda Nabi a. Kurang jelaskah ayat-ayat dan hadits-hadits tentang tidak ada nabi setelah Nabi a? Tentang semua bid’ah adalah sesat? Tentang bolehnya poligami? Sama sekali tidak, semua kelancangan yang keluar dari mereka adalah karena mengikuti hawa nafsu.

  • Dan tentu masih banyak hal-hal lain yang tidak mungkin kita sebutkan semuanya dalam khutbah Jum’at yang sunnahnya memang diringkas dan diperpendek.

Jamaah yang Dirahmati Allah
Mengikuti hawa nafsu dalam diri manusia, bisa dalam banyak bentuk, di antaranya adalah mencintai dunia secara berlebihan, yang dapat membutakan mata hati seseorang terhadap tujuan dirinya diciptakan dan dari kebenaran, sehingga kita tidak heran jika ada orang yang mana kebenaran telah jelas di hadapannya, akan tetapi dia menolaknya dengan seribu macam alasan. Marilah kita renungi perumpamaan yang Allah wahyukan untuk kita semua. Allah Ta’ala berfirman,

وَالأَنْعَامُ حَتَّىَ إِذَا أَخَذَتِ الأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلاً أَوْ نَهَاراً فَجَعَلْنَاهَا حَصِيداً كَأَن لَّمْ تَغْنَ بِالأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah se-perti air (hujan) yang kami turunkan dari langit, lalu karena air itu tumbuhlah dengan subur tanaman-tanaman bumi, di antara-nya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apa-bila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) lak-sana tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.” (Yunus: 24).

Mengikuti hawa nafsu juga bisa dalam bentuk mencintai kedudukan terpandang. Perhatikanlah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ.

“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar yang dibiarkan terhadap seekor domba lebih berbahaya daripada bahaya keinginan keras se-seorang terhadap harta dan kedudukan terpandang terhadap Agamanya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa`i dan at-Tirmidzi, dan at-Tirmidzi berkata, “Hasan shahih.”).

Sampai di sini, maka menjadi jelaslah bahwa hawa nafsu sama sekali tidak memiliki tempat dalam beragama. Beragama adalah al-Qur`an dan as-Sunnah dan wajib diambil berdasarkan manhaj as-Salaf ash-Shalih, karena jalan merekalah yang diridhai oleh Allah dan dinyatakan selamat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sebab Kedua: Jahil Akan Islam Yang Benar.

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Kejahilan terhadap Agama adalah sumber segala kesesatan, awal dari penyimpangan, dan sebab dari terjerumusnya banyak kaum Muslimin kepada jalan yang salah. Seandainya hati dan fikir-an seorang Muslim telah diisi cukup dengan Agama yang benar, maka tidak mungkin akan mengikuti seorang pendusta yang mengaku sebagai rasul setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, atau mengaku sebagai imam mahdi, atau mengaku sebagai titisan Jibril. Kebohongan mereka itu sesungguhnya sudah sangat jelas, lebih jelas dari matahari, tapi kenapa masih ada saja yang percaya? Kenapa masih ada yang mau disuruh berbai’at untuk menjadi pengikut? Sebabnya adalah karena mereka jahil dan tidak mengerti Islam dengan benar. Dan di sini perlu kami ingatkan bahwa khutbah ini bukan untuk menghujat seseorang atau komunitas tertentu. Demi Allah, kita semua berkumpul di sini, di rumah Allah ini dalam rangka saling memberi nasihat sesama Muslim.

Jahil terhadap Agama adalah sebab dari segala malapetaka dan musibah yang menimpa manusia. Kejahilan adalah musuh bagi seseorang sebelum dia menjadi musuh bagi orang lain.

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Ada tiga bentuk kejahilan:
Pertama, kosongnya hati dan fikiran dari ilmu, dan inilah yang pokok. Bila ada seorang Muslim yang tidak mengetahui bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ketidaktahuan ini akan sangat berpotensi menyebabkan orang yang bersangkutan mempercayai seorang pembohong yang mengaku sebagai nabi, misalnya.

Kedua, meyakini sesuatu secara terbalik dari yang sebenarnya. Ini banyak terjadi di tengah kaum Muslimin, karena salahnya informasi ilmu yang diterima seseorang. Dan orang yang sudah terlanjur ditempa oleh suatu yang salah, maka akan sangat sulit untuk dirubah.

Dan ketiga, melakukan sesuatu yang bertentangan dengan yang sebenarnya; baik didasari oleh keyakinan yang benar atau keyakinan yang salah.

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Beberapa bentuk kejahilan yang tersebar di tengah masyarakat berikut ini mudah-mudahan memperjelas keyakinan kita bahwa kejahilan harus diperangi dengan segala daya dan usaha kita sebagai hamba Allah.
Pertama: Adanya orang-orang yang sebenarnya tidak berilmu yang memberikan fatwa dan mendakwahi orang.

Tentang ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan kita umatnya. Sabda beliau,

سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ؛ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الْأَمِيْنُ، وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ، قِيْلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: الرَّجُلُ التَّافِهُ يَنْطِقُ فِي أُمُوْرِ النَّاسِ.

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun (panjang) yang penuh dengan tipuan; pendusta dianggap jujur, orang yang jujur justru dianggap pendusta, pengkhianat dianggap amanah dan justru orang yang amanah dianggap pengkhianat, dan ar-Ruwaibidhah berbicara.” Ditanyakan kepada beliau, “Apa itu ar-Ruwaibidhah?” Jawab beliau, “Orang yang jahil (bodoh dan rendah) berbicara tentang urusan-urusan orang banyak’.” (Diriwayatkan oleh Ahmad no. 7852; dan Ibnu Majah no. 4036. Dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوْسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا.

“Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba(Nya), akan tetapi Allah mengambil ilmu dengan mewafatkan para ulama, sampai ketika Allah tidak menyisakan seorang ulama pun, orang-orang memilih para pemimpin yang jahil (tentang Agama), maka (ketika) mereka ditanya, mereka lalu memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan (orang banyak).”

Dari kedua hadits ini jelas bahwa kaum Muslimin tidak ditimpa musibah kesesatan dan penyimpangan, melalui para ulama mereka, justru musibah penyimpangan itu terjadi ketika para ulama telah wafat. Apabila orang-orang jahil yang tidak mengerti dengan benar Agama ini sudah dianggap sebagai kyai, maka jangan heran kalau ada kyai yang berani lancang mengatakan, “Semua agama itu sama”.

Kedua: Jauhnya ikatan antara ulama dengan pada da’i (ustadz-ustadz juru dakwah)

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Masalah ini harus kita cermati dengan baik, kita kaum Muslimin adalah umat yang satu, tidak dibatasi oleh negara, bangsa, suku maupun ras, artinya ulama Arab Saudi misalnya, apabila oleh para ulama, mereka memang telah meraih tingkatan para ulama, maka kita kaum Muslimin di mana pun harus menjadikan mereka sebagai rujukan.

Apabila para da’i dan ustadz telah jauh dari para ulama, maka dakwah Islam yang mereka usung pasti akan terjatuh di dalam gelapnya kejahilan dan akan menjadi semrawut. Seorang ustadz dan seorang da’i kepada Allah, tidak boleh hanya didasari karena pandai bicara, atau karena setiap hari membaca tidak kurang dari empat koran harian nasional, atau rajin membaca majalah. Seorang da’i harus mengerti esensi ajaran Islam. Dan karena itu para da’i dan ustadz harus senantiasa dekat dengan para ulama, menggali ilmu dan bahkan mendapat teguran oleh para ulama. Jika di dalam negeri kita melihat tidak memadai, maka kita memiliki ulama-ulama besar di Arab Saudi misalnya, yang telah diakui, untuk kita jadikan rujukan.

Ketiga: Menyelisihi Manhaj Salaf

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Manhaj Salaf adalah manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah pengikut Islam yang benar, yang di-sebut oleh Nabi a dengan ath-Tha`ifah al-Manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan). Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bukan salah satu kelompok sempalan (hizbiyah) dalam Islam, yang menga-jak untuk mengikuti organisasi tertentu, orang tertentu, atau per-gerakan tertentu. As-Sunnah adalah apa saja yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir (sikap setuju), atau-pun sifat. Dan al-Jama’ah adalah jamaah para sahabat Nabi dan generasi-generasi sesudahnya yang mengikuti manhaj mereka.

Karena itu, maka sangat keliru apabila ada di antara kaum Muslimin yang memiliki persepsi bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah salah satu golongan selain Jahmiyah, Mu’tazilah, atau Syi’ah. Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Islam yang benar yang dijanjikan mendapat pertolongan dan kemenangan oleh Allah Ta’ala.

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Mengapa seorang Muslim harus mengikuti Manhaj Salaf?
Pertama: Karena hanya as-Salaf ash-Shalih yang diridhai Allah secara langsung. Perhatikan Firman Allah Ta’ala,

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100).

Kedua: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ يَجِيْءُ مِنْ بَعْدِهِمْ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَتُهُمْ أَيْمَانَهُمْ وَأَيْمَانُهُمْ شَهَادَتَهُمْ.

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian orang-orang yang menyusul mereka (generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang menyusul mereka (generasi tabi’it tabi’in), kemu-dian setelah mereka itu datanglah suatu kaum yang kesaksian mereka mendahului sumpah mereka dan sumpah mereka mendahului kesak-sian mereka.” (Diriwayatkan oleh Ahmad no. 3583, al-Bukhari no. 2652, dan Muslim no. 2533).

Dua dalil ini begitu jelas menunjukkan bagi orang yang memiliki bashirah, bahwa mengikuti manhaj Salaf adalah suatu keniscayaan. Generasi merekalah yang mengamalkan Islam dengan totalitas yang paling sempurna. Semua tuntutan Islam mereka jalankan dengan penuh keimanan; mereka beriman dengan sebenarnya, mereka hijrah kepada Allah dan RasulNya, mereka berjihad dengan harta dan jiwa raga mereka, dan mereka berdakwah ke berbagai negeri hingga Islam sampai ke ujung dunia.

Karena itu, salah satu kewajiban kita kaum Muslimin, adalah mengenali bentuk-bentuk riil realita yang terjadi di tengah umat, yang bertentangan dengan manhaj as-Salaf ash-Shalih, dengan ha-rapan dapat kita hindari dan kita tinggalkan.

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Mudah-mudahan khutbah ini dapat menyadarkan kita kembali untuk bersatu di bawah bendera Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan meninggalkan segala sesuatu yang dapat membuat kita terkotak-kotak, dan kemudian berselisih dan berpecah belah.
Bersatu dan berjamaah adalah rahmat, sedangkan berselisih dan berpecah belah adalah azab.

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذا أَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ.

KHUTBAH KEDUA:

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِيْنَ. لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ إِلهُ الْأَوَّلِيْنَ وَالْآخِرِيْنَ، وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الْوَعْدُ الْأَمِيْنُ. عِبَادَ اللهِ ، أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Jangan lupa untuk bershalawat atas Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabat beliau serta orang-orang yang mengikuti beliau sampai Hari Kiamat nanti. Allah telah mengingatkan ini di dalam al-Qur`an. FirmanNya,

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56).

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
. للَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ، إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا، إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ، وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا سَأَلَكَ مِنْهُ نَبِيُّكَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا اسْتَعَاذَ مِنْهُ نَبِيُّكَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنْتَ الْمُسْتَعَانُ، وَعَلَيْكَ الْبَلَاغُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ.
وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَأَقِمِ الصَّلاَةَ.

(Dikutib dari Buku Kumpulan Khutbah Jum’at Pilihan Setahun Edisi ke-2, Darul Haq Jakarta).