Pada ayat 238-239 ini Allah Ta’ala menjelaskan tentang larangan berbicara di dalam shalat dan wajibnya khusyu’ di dalam menunaikan ibadah yang agung ini serta ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) di dalam menjalankannya setelah pada ayat-ayat sebelumnya dijelaskan tentang hukum terhadap hal-hal yang terkait dengan masalah talak (perceraian).

Sebagian ulama tafsir menjelaskan tentang hikmah atau hubungan dari ayat ini dengan ayat sebelumnya bahwa disebutkannya perintah shalat secara khusus pada ayat yang disebutkan setelah perkara-perkara yang berkaitan dengan talak, karena talak mejadikan seseorang disibukkan dengan urusan-urusan keluarga, wanita dan anak-anak, sehingga hal tersebut merupakan tempat yang diperkirakan menjadi sebab ditinggalkannya shalat dan amal ibadah lain secara umum, sehingga Allah Ta’ala perintahkan agar senantiasa menjaga shalat dan jangan disibukkan dengan urusan-urusan wanita. Demikian sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Biqaa’i dalam ‘Nazhmu Ad-Durar’ dan juga oleh Al-Alusi dalam kitab tafsirnya (Ruhul Ma’ani). Dalam hal ini Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa urutan ayat adalah bersifat ‘tauqifi’ yang tidak ada tempat bagi aqal di dalamnya untuk berijtihad dalam menentukannya, dan Allah lebih tahu dengan maksud yang Dia kehendaki; dan sebagian ulama tafsir telah mencari dan mencoba menyebutkan hikmah tentang hal ini; akan tetapi ketika apa yang mereka sebutkan tidak dapat dipastikan (sebagai hikmah dari hal ini) kami menahan diri untuk menyebutkan hikmah-hikmah tersebut; dan kami serahkan ilmunya kepada Yang menurunkan kitab yang mulia ini (al-Qur’an), kami mengetahui bahwa tidak boleh tidak bahwa di sana pasti terdapat hikmah, karena Allah Ta’ala Maha Hakim dan Maha Mengetahui.

Allah Ta’ala berfirman…

حَافِضُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ {238} فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّالَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ {239}

“Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (Al-Baqarah: 238-239).

Tafsir Ayat : 238

Allah Ta’ala memerintahkan untuk memelihara, { عَلَى الصَّلَوَاتِ } “shalat” secara umum dan, { الصَّلاَةِ الْوُسْطَى } “Shalat wustha” yaitu shalat ashar pada khususnya. Memelihara shalat adalah menunaikannya pada waktunya, dengan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, khusyu’ padanya, dan seluruh hal yang wajib maupun yang sunnah. Dengan memelihara shalat kita akan mampu memelihara seluruh ibadah dan juga berguna untuk melarang dari hal yang keji dan mungkar, khususnya jika disempurnakan pemeliharaannya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya, { وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ } “Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” yaitu dengan rasa rendah yang tulus ikhlas dan khusyu’, karena patuh itu adalah ketaatan yang langgeng yang dibarengi dengan kekhusyu’an.

Tafsir Ayat : 239

Dan firmanNya, { فَإِنْ خِفْتُمْ } “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya)”; hal yang ditakuti tidak disebutkan agar ketakutan tersebut adalah rasa takut dari perkara yang lebih umum seperti dari musuh, binatang buas, dan kehilangan suatu hal yang dikhawatirkan oleh manusia. Maka shalatlah kalian, { رِجَالاً } “sambil berjalan”, berjalan di atas kaki kalian, { أَوْ رُكْبَانًا } “atau berkendaraan” di atas kuda, unta atau segala macam kendaraan. Dan dalam kondisi seperti ini tidaklah harus menghadap kiblat.

Inilah sifat shalat orang-orang yang berhalangan karena ketakutan, lalu apabila telah berada pada kondisi yang aman, maka ia harus shalat dengan sempurna, dan termasuk dalam firmanNya, {فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ } “Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah)” dengan menyempurnakan shalat, dan termasuk di dalamnya juga adalah memperbanyak dzikir kepada Allah sebagai rasa syukur kepadaNya atas nikmat keamanan dan nikmat pendidikan yang merupakan kebahagiaan seorang hamba.

Ayat ini juga menunjukkan keutamaan ilmu dan bahwa orang yang diberikan ilmu oleh Allah tentang perkara yang sebelumnya dia tidak ketahui, maka wajiblah atasnya memperbanyak dzikir kepadaNya, dan ayat ini juga merupakan tanda bahwa memperbanyak dzikir kepadaNya menjadi faktor penyebab diberikannya ilmu-ilmu yang lain, karena kesyukuran itu diiringi dengan penambahan.

Sebab Turunnya Ayat

Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim bahwa sebab turunnya ayat diatas adalah:

عن أبي عمرو الشيباني قال قال لي زيد بن أرقم : إن كنا لنتكلم في الصلاة على عهد النبي صلى الله عليه و سلم يكلم أحدنا صاحبه بحاجته حتى نزلت { حافظوا على الصلوات } . الآية فأمرنا بالسكوت

Dari Abu ‘Amr Asy-Syaibani ia berkata: telah berkata kepadaku Zaid bin Arqam, “Sesungguhnya kami pernah berbicara dalam shalat pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, salah seorang di antara kami berbicara kepada temannya untuk kebutuhannya sehingga turunlah ayat, {Peliharalah segala shalat(mu)…..}, maka kami diperintahkan untuk diam (ketika dalam shalat).” (Bukhari, no: 1200, dan Muslim, no: 1203).

Pelajaran dari Ayat

  • Penjelasan tentang wajibnya menjaga shalat-shalat (yang diperintahkan) seperti shalat lima waktu.

  • Keutamaan shalat ‘ashr, karena Allah Ta’ala menyebutkan khushus setelah penyebutan perintah shalat secara umum, shalat ‘ashar juga merupakan shalat yang paling afdhal diantara dua shalat yang utama yaitu shalat ashr dan subuh, sebagaimana rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jelaskan keutamaan keduanya di dalam hadits-hadits, diantaranya sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barang siapa yang shalat ‘al-bardaini’ (ashar dan subuh) maka ia masuk surga” (HR Al-Bukhari, no:574 dan Muslim, no:1438)

  • Wajibnya berdiri (dalam shalat), sebagaimana firmanNya, “Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu)”. Dan dikecualikan dari hal itu dalam beberapa keadaan, diantaranya:

    • Dalam shalat-shalat nafilah (sunnah); sebagaimana hal itu ditunjukkan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hal itu apabila kita menjadikan lafadz { الصَّلَوَاتِ } “Shalat-shalat” adalah umum (seluruh shalat); adapun apabila kita jadikan lafadz tersebut adalah khusus untuk shalat-shalat fara’idh (lima waktu), maka tidak ada pengecualian (perintah wajibnya berdiri dalam shalat)

    • Dikecualikan pula shalat dalam keadaan takut, seperti dalam keadaan perang atau yang lainnya

    • Dikecualikan juga bagi makmum yang mampu berdiri apabila shalat bersama imam yang duduk (karena tidak mampu berdiri) sejak dari awal shalatnya, sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang imam, “Apabila imam shalat dalam keadaan duduk maka shalatlah kalian (para makmum) semuanya dengan duduk” (HR. Al-Bukhari, no: 689, dan Muslim, no: 926), akan tetapi apabila imam memulai shalat dengan berdiri lalu merasa lemah kemudian duduk maka makmum shalat tetap dalam keadaan berdiri, sebagaimana kisah Abu Bakar yang menjadi imam lalu datang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian shalat dengan duduk sedangkan para sahabat melanjutkan dalam keadaan berdiri. (lihat hadits tentang kisah tersebut dalam shahih bukhari, no 687, dan Muslim, no: 936).

  • Wajibnya ikhlas untuk Allah dalam shalatnya dan seluruh ibadah-ibadah lainnya

  • Hendaknya bagi seorang hamba apabila beribadah kepada Allah Ta’ala merasa bahwa ibadah tersebut adalah merupakan perintah Allah, karena hal itu akan lebih memotivasi dirinya dalam menunaikannya dan patuh kepadaNya; demikian pula hendaknya ia berusaha menghadirkan bahwa seolah-olah ia mencontoh rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti menyaksikan beliau dengan mata kepala secara nyata; sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR Al-Bukhari, no: 631), maka yang demikian itu telah sempurnalah mutaba’ahnya.

  • Perintah untuk ‘al-qunut’ kepada Allah Azza wajalla, yaitu khusyu’nya hati yang mewujudkan tenangnya anggota badan di dalam shalat.

  • Haramnya berbicara di dalam shalat, sebagaimana sebab turunnya ayat ini, yaitu bahwa mereka (sebagian sahabat-sahabat) pada saat itu berbicara di dalam shalat mereka sehingga turunlah ayat ini, maka mereka diperintahkan untuk diam dan dilarang untuk berbicara di dalam shalat.

  • Luasnya rahmat Allah ‘Azza wajalla, dan bahwa agama ini adalah mudah, sebagaimana firmanNya, “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.”, karena hal ini merupakan kemudahan terhadap para hamba.

  • Bolehnya banyak gerakan di dalam shalat karena dharurat.

  • Bolehnya shalat di atas kendaraan, dalam keadaan takut, adapun apabila dalam keadaan aman (tidak takut) maka tidak diperbolehkan shalat di atas kendaraan kecuali shalat nafilah (sunnah); kecuali apabila tidak memungkinkan untuk melakukan shalat (fardhu) dengan sempurna maka hal itu boleh. Oleh karena itu maka kami berpendapat boleh shalat diatas kapal, kereta, dan yang semisalnya, dan apabila seseorang khawatir keluarnya waktu maka ia boleh shalat dalam keadaan apapun walaupun dalam keadaan berbaring dan dimana saja (yang dibolehkan), (sebagaiman hal itu diungkapkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam tafsirnya tentang ayat ini).

  • Bahwa wajib bagi seseorang untuk menunaikan ibadah dengan sempurna apabila telah hilang halangan yang menghalanginya (untuk beribadah dengan sempurna).

  • Bahwa shalat adalah termasuk dzikir

  • Penjelasan tentang karunia Allah kepada kita dengan diberikannya ilmu

  • Penjelasan tentang sifat kurang bagi manusia, yang mana pada asalnya bahwa manusia adalah tidak mengetahui, lalu Allah Ta’ala mengajarkannya.

Dikumpulkan oleh: Abu Thalhah Andri Abdul Halim
Sumber Rujukan :
1. Aisar Tafasir oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Maktabah al-Ulum wa al-Hikmah
2. Tafsir al-Quran al-Karim oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
3. Taisir al-Karim ar-Rahman (tafsir as-Sa’di)
4. Tafsir Ruhul ma’ani, karya Al-Alusi
5. Nadzmud Durar, karya Al-Biqaa’i
6. Shahih Bukhari
7. Shahih Muslim