RENUNGAN KE-10

Kandungan Firman Allah “Syahru Ramadhanalladzi Unzila Fiihil Qur’an”

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الـم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ.

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan ‘Alif Lam Mim’ satu huruf, tetapi ‘Alif’ satu huruf, ‘Lam’ satu huruf, ‘Mim’ satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi).

Abu Umamah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda,

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ.

“Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari Kiamat sebagai pemberi syafaat bagi pembacanya.” (HR. Muslim).

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha juga meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda,

الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ.

“Orang yang membaca Al-Qur’an dengan mahir adalah bersama para malaikat yang mulia lagi taat, sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata dan susah membacanya, baginya dua pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Allah Ta’ala telah memerintahkan membaca kitab-Nya, di samping itu hal ini merupakan tradisi orang-orang shalih. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (Fatir: 29-30).

Dengan demikian, membaca Al-Qur’an merupakan perniagaan yang tidak akan merugi, dan hal itu terjadi pada setiap saat, namun membacanya di bulan Ramadhan memiliki keistimewaan yang besar dibandingkan dengan bulan selainnya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam meningkatkan frekuensinya (membaca Al-Qur’an) di bulan yang mulia ini dikarenakan beberapa faktor:

Pertama, Permulaan turunnya Al-Qur’an terjadi pada bulan Ramadhan. Maksudnya, malam turunnya malaikat Jibril ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam di saat menyampaikan wahyu, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.” (Al-‘Alaq: 1-4).

Kisah permulaan turunnya wahyu diceritakan di dalam Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) dari Aisyah radhiallahu ‘anha katanya: Permulaan wahyu yang dialami Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam adalah mimpi yang benar, beliau tidak melihatnya kecuali seperti cahaya di pagi hari, kemudian ia senang menyendiri, lalu ia menyendiri di gua Hira, dan ia beribadah di dalamnya beberapa malam sebelum kembali ke keluarganya untuk mengambil perbekalan. Dia lakukan seperti ini berulang-ulang sampai turunnya wahyu kepada beliau di gua Hira, maka datanglah malaikat Jibril kepadanya dengan mengatakan, “Bacalah!”, beliau menjawab, “Saya tidak bisa membaca.” Rasulullah bercerita, “Lalu aku dipeluknya sampai aku kepayahan, kemudian dilepaskan kem-bali, dan berkata, ‘Bacalah!’ aku jawab, ‘Saya tidak bisa mem-baca.’ Lalu aku dipeluknya lagi untuk ketiga kalinya, terus dilepaskan lagi. Maka ia berkata, ‘Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.”

Kemudian Rasulullah pulang ke keluarganya (Khadijah) dengan keadaan menggigil ketakutan sambil berkata, “Selimutilah aku, selimutilah aku!” maka diselimutilah beliau sampai hilang rasa takutnya. Kemudian ia menceritakan kepada Khadijah semua yang terjadi, “Sungguh aku khawatir terjadi sesuatu pada diriku.” Khadijah berkata, “Sekali-kali tidak, demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya, karena engkau selalu menyambungkan tali persaudaraan, meringankan beban orang lain, membantu orang miskin, menghormati tamu, dan menolong orang yang mendapatkan musibah.”

Kemudian pergilah Khadijah bersama Rasulullah mene-mui anak pamannya yang sudah tua renta dan buta, namanya Waraqah bin Naufal As’ad bin Abdul Uzza, dia seorang yang beragama Nashrani pada saat itu, ia juga bisa menulis dengan bahasa Ibrani, kitab Injil salah satunya. Khadijah berkata kepa-danya, “Hai pamanku, dengarkanlah apa yang akan disampai-kan anak saudaramu ini!” Lalu Nabi menceritakan semua yang terjadi pada dirinya, maka Waraqah berkata kepada Nabi, “Ini adalah malaikat yang pernah datang kepada Nabi Musa alaihis salam. Seandainya aku masih memiliki kekuatan dan masih hidup di saat engkau diusir oleh kaummu, pasti aku akan menolongmu.” Rasulullah bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Ia menjawabnya, “Tentu, tidak ada seorang pun yang membawa misi sepertimu kecuali akan dimusuhi.” Maka tidak lama kemudian Waraqah meninggal, dan wahyu tidak turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kejadian tersebut terjadi pada bulan Ramadhan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Ishaq dan Abu Salamah Ad-Dimisqi, seperti yang dikutip oleh Ibnu Al-Jauzi dalam kitabnya “Zadul Masir fi Ilmi Tafsir” ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala “Syahru ramadhanalladzi unzila fiihil qur’an” yaitu permulaan turunnya, dan bisa juga ini sebagai tafsiran dari firman Allah “Inna anzalnahu fi lailatil mubarakah, inna kunna mundzirin.” (Ad-Dukhan: 3) dan firman Allah Ta’ala: “Inna anzalnahu fi lailatil qadr.” (Al-Qadr: 1) karena Lailatul Qadar terjadi pada bulan Ramadhan.

Kedua, pada bulan ini diturunkannya Al-Qur’an dari Al-Lauhul Mahfuzh ke langit dunia. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu. Dan ulama Salaf sepakat bahwa Al-Qur’an diturunkan dari Al-Lauhul Mahfuzh ke Baitul Izzah di langit dunia pada malam Lailatul Qadar di bulan Ramadhan, kemudian diturunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam secara berangsur-angsur sesuai dengan situasi dan kondisinya sebagaimana dikenal dalam asbabun nuzul.

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu ia berkata bahwa Suhuf Nabi Ibrahim alaihis salam diturunkan pada awal bulan Ramadhan, dan kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa alaihis salam setelah berlalu 6 hari dari bulan Ramadhan, dan kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Daud alaihis salam setelah berlalu 12 hari dari bulan Ramadhan, dan kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa alaihis salam setelah berlalu 18 hari dari bulan Ramadhan, dan Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam setelah berlalu 14 hari dari bulan Ramadhan.

Pernyataan di atas diriwayatkan dari sebagian para sahabat seperti: Wailah bin Al-Asqa’ dan Aisyah radhiallahu ‘anha dan pernyataan tersebut sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam secara marfu’ dan mauquf (sampai kepada sahabat).

Dan diriwayatkan juga bahwa Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma ketika ayah kandungnya terbunuh (Ali radhiallahu ‘anhu) ia berdiri dan berkhutbah di depan orang banyak, “Kalian telah membunuh seorang laki-laki pada suatu malam yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, diangkatnya Nabi Isa alaihis salam ke langit, dibunuhnya Nabi Yusa’ bin Nun alaihis salam, dan diterima taubatnya Bani Israil.”

Asar yang ada hubungan dengan masalah ini sebenarnya banyak kita dapatkan dari As-Salafus Shalih yang jelas kesimpulannya bahwa Al-Qur’an diturunkan dari Al-Lauhul Mahfudz ke langit dunia pada malam Lailatul Qadar di bulan Ramadhan.

Ketiga, pada bulan ini Jibril menemui Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam mengajarinya Al-Qur’an setiap malam. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam As-Shahihain dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam adalah orang yang amat dermawan, dan beliau lebih dermawan pada bulan Ramadhan, saat beliau ditemui Jibril untuk membacakan kepadanya Al-Qur’an, Jibril menemui beliau setiap malam pada bulan Ramadhan, lalu membacakan Al-Qur’an kepadanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam ketika ditemui Jibril lebih dermawan dalam kebaikan dari pada angin yang berhembus.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). “Dan pada tahun wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam Jibril mengajari beliau Al-Qur’an dua kali.” (HR. Al-Bukhari).

Jadi Ramadhan dikhususkan untuk tadarus Al-Qur’an antara Jibril dan Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam di setiap tahunnya, di mana Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam memuraja’ah (membaca ulang) apa yang telah diterima antara waktu tersebut dan Ramadhan sebelumnya, lalu Jibril mendengarkan bacaannya shallallahu ‘alaihui wasallam, maka dengan itu ditetapkan apa yang mesti ditetapkan dan dimansukh (dihapus) apa yang mesti dihapus. Allah Ta’ala berfirman, “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (Ar-Ra’d: 39).

Begitu juga makna dan tafsir Al-Qur’an bisa diselesaikan selama bulan Ramadhan dengan tadarus antara Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam dan Jibril alaihis salam.

Oleh karenanya, para ulama menyimpulkan disyari’atkannya khatam Al-Qur’an di bulan Ramadhan, karena Jibril dan Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam selalu mengkhatamkannya pada setiap Ramadhan, bahkan pada tahun kewafatannya mereka mengkhatamkannya sampai dua kali –sebagaimana tadi disebutkan–. Maka seyogyanya seorang muslim bersungguh-sungguh mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan satu kali atau lebih, bahkan sunnahnya satu bulan sekali, jika mampu satu pekan sekali, dan jika mampu tiga hari sekali, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam karenanya kita mendapatkan para Salaf rahimahumullah mengkhususkan sebagian besar waktu mereka di bulan Ramadhan untuk membaca Al-Qur’an. Berkata Az-Zuhri rahimahullah, “Apabila telah datang bulan Ramadhan, maka tibalah saatnya untuk membaca Al-Qur’an dan memberi makanan.”

Imam Malik rahimahullah apabila telah menjumpai Ramadhan ia tinggalkan membaca hadits kemudian membaca Al-Qur’an. Diriwayatkan dari Salafus Shalih misalnya An-Nakhai, Ibrahim Al-Aswad, dan yang lainnya, mereka mengkhatamkan Al-Qur’an dalam setiap tiga hari, bila telah tiba Ramadhan mereka mengkhatamkannya dalam setiap dua malam, dan bila telah tiba sepuluh hari terakhir mereka mengkhatamkannya dalam setiap malam.

Jadi sekali lagi seorang muslim seyogyanya lebih besar perhatiannya kepada Al-Qur’an pada bulan Ramadhan melebihi dari bulan selainnya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam dan Salafus Shalih. Dalam hal ini saya ingin menyampaikan beberapa catatan penting:

Pertama, sebagian orang mengira bahwa khatam Al-Qur’an adalah tujuan asasi, karenanya ia membaca tergesa-gesa, tidak khusyuk, tidak mentadaburinya, dan tidak menggetarkan hatinya, karena yang ada dalam benaknya bagaimana ia bisa khatam Al-Qur’an dengan cepat.

Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an bukan karena itu (khatam saja) diturunkan, karena Allah sendiri berfirman di dalam kitab-Nya, “Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shad: 29).

“Dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (Muzammil: 4).

“Maka kepada perkataan apakah selain al-Qur’an ini mereka akan beriman.” (Mursalat: 50).

“Manakah lagi mereka akan beriman sesudah (kalam) Allah dan keterangan-keterangan-Nya.” (Al-Jasiyah: 6).

Tidaklah dibenarkan manakala seseorang begitu semangat mengikuti jejak para Salafus Shalih dalam mengkhatamkan Al-Qur’an sebagaimana dijelaskan tadi, sementara ia membacanya tidak dengan tartil, tergesa-gesa, tidak faham maknanya, dan tidak memperhatikan hukum-hukum tajwid dan makharijul huruf dengan benar. Andaikan seseorang membaca Al-Qur’an satu juz saja, atau satu hizb saja (stengah juz) atau satu surat saja disertai dengan tadabbur, tafakkur (merenungkan makna dan kendungannya) itu lebih baik dari pada mengkhatamkan Al-Qur’an tanpa memperhatikan makna sedikitpun.

Diriwayatkan dalam kitab Al-Muwaththa bahwa Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma membaca dan mempelajari surat Al-Baqarah memakan waktu delapan tahun.

Gerangan apa yang melatarbelakangi Ibnu Umar ini? Apakah sahabat Rasul ini tidak mampu membaca dan menghafal surat Al-Baqarah dalam waktu sebentar..? Sekali-kali tidak, karena anak kecil saja akan mampu menghafal Al-Qur’an (semuanya) dalam waktu satu atau dua tahun, ternyata yang membuat beliau lama itu adalah menghafalnya, menggali makna dan hukum-hukumnya, nasikh mansukhnya (yang menghapus dan yang dihapus), khas dan ‘amnya, dan sebagainya.

Kedua, terdapat pada sebagian negara atau masyarakat tradisi membaca Al-Qur’an secara formalitas saja, di sebagian masyarakat Mesir misalnya, ada sebuah tradisi mungkin sekarang sudah tidak ada namanya Al-Masahir (begadang malam), maksudnya yaitu: sehabis shalat tarawih mereka duduk bersama-sama di sebuah rumah milik orang kaya, kemudian diundanglah salah seorang qari’ yang bagus bacaannya, untuk membacakan ayat-ayat Al-Qur’an, lalu orang-orang yang mendengar pada waktu itu serentak mengatakan Allah.., Allah .., atau Allahu Yukarrimuka.. Rabbana Yukarrimuka (semoga Allah memuliakanmu) untuk setiap ayat yang mereka dengar dari qari’ tersebut, dan hal itu mereka lakukan sampai sahur.

Tidak syak lagi, bahwa perbuatan seperti ini telah menyimpang dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam dari berbagai sisi:

  • Membaca Al-Qur’an karena upah sama sekali tidak ada dasarnya, orang yang melakukannya karena materi duniawi, jelas tidak akan mendapatkan pahala dari Allah.

  • Berkumpulnya orang dengan cara seperti ini sama sekali tidak ada faedahnya, karena jika seseorang membaca Al-Qur’an seorang diri dengan khusyuk, Tartil, dan mentadabburinya, itu akan lebih baik dari sebuah perkumpulan orang sambil berteriak-teriak atau bersuara keras. Hal ini diingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam dalam haditsnya tentang tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah di saat tidak ada naungan selain naungan-Nya, di antaranya:

    وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ.

    “Seseorang yang berzikir kepada Allah dengan menyendiri dan menangis karena-Nya.” (HR. Al-Bukhari Muslim).

  • Mengeraskan suara di saat membaca Al-Qur’an bukan tanda orang mukmin yang baik, tetapi itu perbuatan munkar yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim, karena terdapat di dalamnya su’ul adab (etika buruk) kepada Kalamullah, di samping itu perbuatan seperti ini tidak pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Dan perlu diingat bahwa dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam. Al-Qur’anul Karim ini menuntut kita untuk menyikapinya dengan baik, sebagaimana diriwayatkan dalam As-Shahihain dari Abdullah bin Mas’ud ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam telah bersabda, “Hai Ibnu Mas’ud, bacakan kepada saya Al-Qur’an!” berkata Ibnu Mas’ud, “Bagaimana aku harus membacakan Al-Qur’an kepada anda, sedang Al-Qur’an telah diturunkan kepada anda?” Nabi menjawab, “Saya ingin mendengarkannya dari yang lain.” Lalu Ibnu Mas’ud membaca surat An-Nisa’, ketika sampai di ayat,

    “Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (An-Nisa: 41)

    Ibnu Mas’ud berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam berkata kepadaku, ‘Cukup…’ kemudian aku melihat pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam basah karena menangis.” (HR. Al-Bukhari Muslim).

    Itulah khusyuk, itulah pengaruh hati yang luluh karenanya, itulah orang yang pandai mengambil pelajaran, dan itulah adab yang seharusnya dilakukan terhadap Al-Qur’an, semoga Allah memberi shalawat dan salam kepada guru besar nan mulia ini shallallahu ‘alaihui wasallam.

Ketiga, mengenai khataman, maksudnya program khatam Al-Qur’an pada saat shalat tarawih atau qiyamullail dilanjutkan doa khatam Al-Qur’an. Dalam masalah ini ada dua pendapat: Sebagian mereka mengatakan, ini perbuatan bid’ah, namun tidak disertai dengan dalil yang akurat. Begitu juga yang mengatakan sunnah mereka tidak menyertainya dengan penjelasan yang terperinci.

Nah, menurut pandangan saya, yang benar adalah harus ada penjelasan yang terperinci sebagaimana berikut ini:

  • Mengkhatamkan Al-Qur’an pada saat shalat tarawih atau qiyamullail adalah masyru’ (disyari’atkan) seperti disebutkan tadi.

  • Berdoa setelah khatam Al-Qur’an juga disyari’atkan. Diriwayatkan dalam hadits Jabir Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda,

    اقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَابْتَغُوا بِهِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ قَوْمٌ يُقِيمُونَهُ إِقَامَةَ الْقِدْحِ يَتَعَجَّلُونَهُ وَلَا يَتَأَجَّلُونَهُ.

    “Bacalah Al-Qur’an dan jadikanlah keridhaan Allah karenanya, sebelum datang suatu kaum yang menegakkannya sebagaimana menarik anak panah, segera ingin mendapatkan hasil dan tidak menunda-nundanya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

    Dalam hadits Imran bin Husain dikatakan,

    مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلِ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِهِ.

    “Siapa yang membaca Al-Qur’an, mintalah kepada Allah Tabaraka Wata’ala dengannya (tawassul dengan Al-Qur’an).” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani).

    Dan dalam Sunan Ad-Darimi dengan sanad jayyid dikatakan bahwa Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu apabila sudah khatam Al-Qur’an beliau mengumpulkan keluarganya kemudian berdoa bersama mereka. Dengan demikian berdoa setelah khatam Al-Qur’an adalah dianjurkan.

    Hendaknya dilakukan pada shalat witir, baik di shalat tarawih atau qiyamullail. Hal tersebut karena shalat witir secara syar’i tempat berdoa. Telah diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam melaksanakan qunut di shalat witirnya, dan beliau mengajar Hasan doa berikut ini,

    اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ.

    “Ya Allah, berilah aku hidayah sebagaimana Engkau telah memberikannya pada orang lain, dan anugerahkanlah kepadaku kesehatan sebagaimana Engkau telah memberikannya kepada orang lain, dan karuniakanlah kepadaku kekuasaan sebagaimana Engkau telah memberikannya kepada orang lain, dan hindarkanlah aku dari ketentuan yang jelek, sesungguhnya Engkau yang memutuskan dan tidak ada seorang pun yang menghukumi-Mu, dan tidak ada seorang pun yang menghinakan orang yang Engkau telah muliakan, Engkau Maha Mulia dan Maha Tinggi.” (HR. At-Tirmidzi).

    Jadi sunnahnya berdoa dilakukan di saat shalat witir baik sebelum ruku’ atau setelahnya, kedua-duanya ada riwayatnya dari Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam, sekalipun yang paling banyak (riwayatnya) setelah ruku’.

  • Tidak apa-apa berdoa dilakukan dengan lama dan menyertakannya doa-doa yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian imam masjid,

    اَللَّهُمَّ انْفَعْنَا وَارْفَعْنَا بِالْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ الَّذِيْنَ هُمْ أَهْلَكَ وَخَاصَّتَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ اجْعَلِ الْقُرْآنَ لَنَا شَفِيْعًا.

    “Ya Allah, jadikanlah kami orang yang berguna dan tinggikan derajat kami dengan Al-Qur’an yang agung ini, Ya Allah, jadikanlah kami ahli qur’an yang mereka itu ahli-Mu dan orang-orang yang istimewa di sisi-Mu ya Arhamarrahimin, Ya Allah, jadikanlah Al-Qur’an ini pemberi syafaat bagi kami..” dan sebagainya.

    Adapun doa yang beredar di kalangan sebagian orang-orang yang diawali dengan,

    صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ الَّذِيْ لَمْ يَزَلْ عَلِيْمًا قَدِيْرًا، صَدَقَ اللهُ وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللهِ قِيْلاً، صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ، وَبَلَغَ رَسُوْلُهُ الْكَرِيْمُ، وَنَحْنُ عَلَى مَا قَالَ رَبُّنَا مِنَ الشَّاهِدِيْنَ وَلِمَا أَوْجَبَ وَأَنْزَلَ غَيْرَ جَاهِدِيْنَ.

    “Mahabenar Allah yang Maha agung yang senantiasa Maha Mengetahui lagi Mahakuasa, Mahabenar Allah, perkataan siapa lagi yang benar selain perkataan-Mu, Mahabenar Allah yang Maha Agung, dan sungguh Rasul telah menyampaikan (risalahnya), kami sebagai saksi atas apa yang difirmankan Allah, dan kami tidak akan mengingkari apa yang telah diturunkan dan difardhukan..”

    Doa seperti ini sama sekali tidak ada dasarnya, lebih baik kita menghindarinya, dan yang memprihatinkan adalah sebagian mereka mengira bahwa doa ini sunnah Nabi mungkin karena menyebarnya di kalangan orang-orang, sehingga kalau ada seseorang yang tidak melakukannya segera mereka menegurnya dengan mengatakan “Engkau telah menyalahi sunnah.”

    Termasuk juga yang dilarang, di mana sebagian orang menambahkan dalam doa khatam Al-Qur’annya dengan nasihat-nasihat yang ada kaitannya dengan alam kubur, siksa kubur, As-Shirat, hari kebangkitan, hari pembalasan, hari hisab, surga, neraka, dan apa yang terjadi padanya. Tidak diragukan lagi, hal ini bukan pada tempatnya bahkan termasuk perbuatan yang berlebih-lebihan yang dilarang dalam ajaran Islam dan bisa jadi sebagian mereka shalatnya batal, karena telah memindahkan posisi doa kepada nasihat dan peringatan.

Dengan demikian, penjelasan dengan terperinci dalam masalah khatam Al-Qur’an adalah sesuatu yang baik, dan ini adalah pendapat yang wasath (pertengahan) antara yang melarang sama sekali dengan yang membolehkan tanpa batasan.

Dalam masalah ini tidak pantas bersikap keras terhadap fenomena yang muncul walaupun terhadap orang-orang yang melakukannya pada shalat witir (di setiap raka’at kedua saat shalat tarawih) manakala shalat tarawihnya dua raka’at- dua raka’at, karena mereka berargumentasi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam melakukan qunut pada shalat fajar (Subuh). Begitu juga telah diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam melakukan qunut pada selain shalat fajar yaitu Dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’, akan tetapi perlu dicatat jika dalam masalah ibadah itu tidak ada ruang untuk qiyas (menganalogikan sesuatu kepada yang lainnya), dan titik tolaknya hanya kepada nash (teks Al-Qur’an dan Hadits). Oleh karenanya –apa yang saya ketahui– bahwa berdoa pada shalat yang dua raka’at-dua raka’at (raka’at kedua setelah ruku’) selain shalat sunnah tidak ada sumbernya?