Nusyuz secara bahasa adalah ketidakpatuhan, diambil dari an-nasyz yang berarti tanah yang tinggi, ketidakpatuhan disebut nusyuz karena pelakunya merasa lebih tinggi sehingga dia tidak merasa perlu untuk patuh.

Nusyuz dalam istilah rumah tangga adalah kebencian suami istri kepada pasangannya. Wanita itu nusyuz kepada suaminya jika dia tidak patuh kepadanya, suami nusyuz kepada istri jika dia memperlakukannya dengan buruk dan berpaling darinya.

Nusyuz adalah keadaan yang terjadi pada suami atau istri dalam bentuk ketidakharmonisan, kerenggangan, ketidaksukaan, penolakan, ketidakpatuhan dan kedurhakaan dari istri atau berpaling dari suami.

Allah Ta’ala telah mensyariatkan sebuah solusi bijak untuk mengatasi problem rumah tangga ini sesuai dengan perkembangan dan kondisi lapangan dengan menggunakan kelembutan, ketenangan dan kesabaran, Allah ridak memerintahkan memutus hubungan di antara suami istri dengan talak atau khulu’ secara langsung, akan tetapi Dia memberikan arahan-arahan kepada suami dan istri untuk menanggulangi tanda-tanda nusyuz pada tahapnya yang pertama.

Nusyuz suami

Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (An-Nisa`: 128).

Kekhawatiran adalah dugaan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan dengan terlihatnya sebagian tanda-tandanya atau indikasi-insikasinya. Dalam kondisi semacam ini maka ayat di atas mengarahkan kepada suami istri untuk melakukan islah kesepakatan damai sekalipun salah satu pihak harus mundur dari haknya dan pihak lain mendapatkan lebih, hal ini demi keutuhan rumah tangga.

Aisyah menjelaskan sifat nusyuz dari suami dan cara mengatasinya, dia berkata tentang firman Allah, “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya.” Aisyah berkata, “Dia adalah wanita yang bersuami, suami tidak mempedulikannya, dia ingin mentalaknya dan menikahi wanita lain, maka istri berkata kepada suami, ‘Biarkan aku bersamamu, jangan menceraikanku, silakan menikah dengan yang lain, aku tidak menuntut nafkah darimu dan pembagian, itulah firman Allah Ta’ala, “Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).”

Berdamai bisa tercapai pada sesuatu yang merupakan hak suami, dan hak istri atas suami adalah mahar, nafkah dan jatah bermalam, istri berhak menuntut tiga perkara ini dari suami, suami rela atau tidak. Adapun hubungan suami istri maka istri memiliki hak padanya untuk menjaga dan melindunginya dari dari perkara-perkara yang haram.

Perdamaian di sini bisa dengan pengembalian mahar, semuanya atau sebagian, yang dilakukan istri kepada suami, atau istri menggugurkan kewajiban nafkah dari suami, atau menggugurkan jatah bermalam, tujuan istri melakukan ini adalah agar suami tidak mentalaknya, jika hal ini disepakati oleh keduanya maka ia sah.

Dalam kondisi ini istri disarankan bersabar, bersikap bijak dan bertindak dengan cermat jika dia mencium gelagat kebencian dan ketidakpedulian dari suami demi menjaga ikatan pernikahan, dengan kebijakan, kepintaran dan perasaannya sebagai wanita dia bisa mengetahui sebab berpalingnya dan sikap acuh suami, lalu dia berusaha menepis sebab-sebab ini, memperbaiki keadaan dan menemukan tempat-tempat penyakit dan persoalan untuk diobati.

Tidak semua sikap acuh suami tergolong nusyuz, ada banyak persoalan hidup yang penting yang menyibukkan pikirannya, menyita waktu dan tenaganya dalam jumlah besar, seperti persoalan-persoalan ekonomi, sosial dan lainnya di mana tenaga dan dayanya terfokus kepadanya sehingga suami pulang kepada istri dalam keadaan sangat letih dan lelah akibatnya suami tidak bisa berkelakar, berbincang malam dan memberinya kehangatan, maka wajib atas istri mengetahui sebab-sebab ini dengan jelas dan memastikan problem nusyuz dan sikap acuh suami yang dia rasakan dan dia lihat, jika persoalannya seperti ini atau ada sebab lain yang bersifat insidentil maka istri harus bersabar dan menerima sampai sebab-sebab tersebut hilang dengan sendirinya.

Di samping bersabar, istri juga harus membantunya jika dia memang mampu untuk itu, menyediakan iklim kejiwaan dan ketenangan rohani dalam rumah, mengikis kesedihan dan kesusahan dari suami dengan kelembutan, kasih sayang dan keceriaannya, menghapus duka dan kelelahan yang dia dapatkan dalam pekerjaannya di luar dengan senyuman tulus dan jiwa yang optimis, menggugah kembali sikap optimis, ketenangan, semangat dan pantang menyerah dalam jiwa suami. Biasanya sebab-sebab seperti ini akan lenyap jika istri memperhatikan hal-hal seperti ini dalam kehidupan rumah tangganya.

Jika ternyata suami berpaling dan menghindar karena sesuatu pada istri yang tidak dia sukai maka istri harus memperbaiki keadaannya, memperhatikan apa yang dipandang dan dicium suami, berusaha menghilangkan sebab-sebab kebencian yang merupakan sebab terpenting mengapa suami berpaling dan menjauh. Jika seluruh usaha tidak berhasil dan suami tetap berpaling dan bersikap nusyuz maka solusinya adalah apa yang tertera dalam ayat yang mulia, “Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya.” Yakni tidak mengapa keduanya berdamai di atas sesuatu kesepakatan, seperti istri tidak menuntut sebagian haknya dalam mahar, nafkah atau bermalam, agar istri tetap menjadi istri, atau istri mengembalikan mahar untuk berkhulu’ darinya jika dia tidak mampu bersabar, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah: 229). Dengan syarat dalam perkara ini suami tidak berlaku aniaya yang membuat istri terpaksa berkhulu’ sehingga suami berhasil mengambil kembali mahar dari istri, kecuali jika khulu’ ini dengan kerelaan istri dan dia meyakini bahwa ia lebih baik baginya.

Al-Qurthubi menjelaskan tentang penentuan perdamaian, di mana Allah berfirman, “Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” Al-Qurthubi berkata, “ Perdamaian adalah kata umum lagi mutlak yang berarti bahwa perdamaian hakiki di mana jiwa tenteram kepadanya dan perselisihan terangkat adalah lebih baik daripada talak, termasuk dalam makna ini semua kesepakatan yang disetujui oleh suami dan istri, dalam bentuk harta atau bermalam atau selainnya. ‘Lebih baik’ yakni lebih baik daripada perpisahan, mempertahankan perselisihan, permusuhan dan kebencian, semua itu termasuk dasar dari keburukan.”

Islam mengajak suami istri untuk memberikan segala upaya untuk mengokohkan pondasi-pondasi kehidupan mereka berdua dan menguatkan ikatannya, karena ikatan suami istri termasuk ikatan teragung dan paling patut dijaga, perjanjiannya adalah perjanjian paling berat dan paling berhak untuk dipenuhi. “Dan mereka (para istri) telah mengambil darimu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 21). “Sesungguhnya syarat yang paling patut untuk dipenuhi adalah akad yang dengannya kalian boleh berhubungan suami istri.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Uqbah bin Amir.
(Izzudin Karimi)