Kelima, musyawarah
Jika ada khathib (pelamar) datang kepada Anda wahai wali, jika Anda tidak menerina, tidak ridha dan belum sreg dengan agama dan akhlaknya, maka sebagai bentuk tanggung jawab Anda sebagai pengayom dan pemimpin keluarga, hendaknya Anda menjauhkannya dari anak putri Anda, karena khatib yang demikian tidak menghadirkan kebaikan bagi putri Anda dan keluarganya kelak.

Namun jika khathib yang hadir beragama dan berakhlak sesuai dengan standar Anda, maka jangan langsung menerima sekalipun ikatan akad pernikahan berada di tangan Anda, sebelum Anda bermusyawarah dengan putri Anda, dengarkan pendapatnya dan mintalah kesediaannya, karena bagaimana pun dia mempunyai hak dalam masalah ini, dia yang akan menjalani kehidupannya kelak, bukan termasuk kemaslahatan baginya jika walinya memaksanya untuk menikah dengan orang yang tidak disukainya.

Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda,

الثَيًِبُ أَحَقًُ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيًِهَا وَالبِكْرُ تُسْتَأْ مَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَ

Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya dan anak gadis dimintai pendapatnya dan izinnya adalah diamnya.

Imam Ibnul Qayyim berkata dalam Zadul Ma’ad V/88-89, “Konsekuensi dari ketetapan ini adalah bahwa anak gadis yang sudah dewasa tidak dipaksa untuk menikah, tidak dikawinkan kecuali dengan kerelaannya. Ini adalah pendapat jumhur salaf, madzhab Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya. Pendapat inilah yang kami yakini kebenarannya di sisi Allah, kami tidak memegang selainnya. Pendapat inilah yang selaras dengan hukum Rasulullah saw, perintah dan larangan beliau, selaras dengan kaidah-kaidah syariat dan kemaslahatan umat.”

Lanjut Ibnul Qayyim, “Pendapat ini selaras dengan kaidah-kaidah syariat, karena wali tidak berhak untuk bertindak sedikit pun atas harta anak gadisnya yang telah dewasa lagi berakal kecuali dengan izinnya, wali tidak berhak memaksanya untuk mengeluarkan sepeser pun tanpa ridhanya, jika demikian bagaimana seorang wali boleh menjadikannya sebagai hamba dan menyerahkan kehormatannya kepada orang yang wali ingini sementara orang itu adalah orang yang paling dibenci oleh anak gadisnya?…Sudah dimaklumi bahwa mengambil hartanya seluruhnya tanpa kerelaannya lebih ringan baginya daripada menikah dengan orang yang dia benci.”

Masih kata Ibnul Qayyim, “Pendapat ini selaras dengan kemaslahatan umat, tidak samar kemaslahatan anak gadis dalam pernikahannya dengan orang yang dia pilih dan dia inginkan, tujuan-tujuan pernikahan terwujud karenanya, hal sebaliknya akan terjadi jika anak gadis menikah dengan orang yang dia benci.”

Jika wali tetap memaksa menikahkan anak gadisnya dengan orang yang tidak disukainya, maka anak gadis itu berhak mengadukan gugatan pembatalan kepada pihak yang berwenang.

Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Khansa` binti Khidam dinikahkan oleh bapaknya sementara dia tidak menyukai, Khansa` adalah seorang janda, maka dia datang kepada Rasulullah saw dan beliau membatalkan pernikahannya.

Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seorang gadis perawan datang kepada Nabi saw, dia menceritakan bahwa bapaknya menikahkannya sementara dia tidak suka, maka Nabi saw memberinya pilihan. Syaikh Syuaib dan Abdul Qadir al-Arnauth dalam Tahqiq Zad al-Ma’ad berkata, “Sanadnya shahih.”

Keenam, jangan menghalangi

Jika khathib beragama dan berakhlak sesuai dengan standar, anak gadis sebagai calon aktris pernikahannya sudah sepakat menerima, maka tidak ada alasan bagi wali dan dia memang tidak berhak untuk menghalang-halanginya.

Allah Ta’ala berfirman, “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 232).

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari al-Hasan berkata, “Saudara perempuan Ma’qil bin Yasar ditalak suaminya, suaminya membiarkannya sehingga habis masa iddahnya, lalu suaminya melamarnya dan Ma’qil menolaknya.”

Riwayat lebih rinci tercantum dalam Sunan at-Tirmidzi dari Ma’qil bin Yasar bahwa dia menikahkan saudara perempuannya dengan seorang laki-laki dari kaum muslimin pada masa Nabi saw, saudara perempuan Ma’qil bersama suaminya untuk beberapa waktu, kemudian suaminya mentalaknya dan tidak merujuknya sampai iddahnya habis, lalu suaminya berminat kembali kepadanya dan dia juga berminat, lalu suaminya melamarnya bersama para pelamar. Ma’qil berkata, “Dasar orang tidak berterima kasih, aku telah memuliakanmu dan menikahkanmu dengannya lalu kamu mentalaknya. Demi Allah kamu tidak akan kembali kepadanya selama-lamanya.”

Namun akhirnya Ma’qil merubah sikapnya, dia mengizinkan setelah Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Sabda Nabi saw,

الأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا

“Janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya.” (HR. Muslim dari Ibnu Abbas).

Syaikh Shafiyur Rahman al-Mubarakfuri dalam Ithaf al-Kiram berkata, “Seandainya wali hendak menikahkannya, maksudnya adalah janda, tetapi janda tersebut menolak maka dia tidak dipaksa, jika dia berkehendak menikah tetapi walinya menolak maka walinya dipaksa, jika wali tetap menolak maka hakim menikahkannya dan hak wali gugur.”
(Izzudin Karimi)