Setiap kegiatan pasti ada persoalannya. Kali ini akan kita bicarakan persoalan yang dihadapi para da’i masa kini. Untuk itu perlu dibahas hal-hal yang menyangkut da’wah, kemudian kendalanya atau problematikanya. Kita mulai dari hal yang mendasar.

Unsur-unsur da’wah:
I. Materi da’wah, yaitu Agama Islam.
II. Da’i, yakni penyeru ajaran Islam.
III. Mad’u, artinya orang yang dida’wahi
IV. Asalib wa wasaail, yaitu taktik dan sarana da’wah

I. Materi da’wah: Agama Islam

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imran: 19).

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran: 85).

Syari’at Islam mengandung 3 kemaslahatan:
Menolak kerusakan mengenai 5 hal penting yang wajib dilindungi (Ad-dhoruriyyatul khomsah): hifdhud dien (menjaga agama), nafs (jiwa), akal, nasab (keturunan) ‘irdh (kehormatan), dan maal (harta). Mendahulukan kemaslahatan dalam segala hal, dan menutup segala jalan yang menuju bahaya.

Berjalan di atas akhlak yang mulia. Da’i yang bijaksana adalah yang mengajak kepada Islam dengan terperinci, jelas dan gamblang.

II. Da’i

1. Tugas da’i :

Menyeru ke jalan Allah Ta’ala. Ini adalah tugas para rasul alaihimus salam. Para rasul adalah panutan da’i, sedangkan yang paling besar adalah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al-Ahzab: 45-47. Al-Hajj 67, Al-Qashash: 87, Ar-Ra’d: 36.)

Beban da’wah ada pada setiap Muslim dan Muslimah sesuai dengan kemampuannya dan sebatas ilmunya. Pada asalnya kewajiban ini tidak dikhususkan bagi para ulama. Karena seluruh muslimin wajib berda’wah sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan kekhususan bagi ahli ilmu itu hanyalah dalam menyampaikan deteil-deteil Islam, hukum-hukumnya, makna-makna yang deteil, masalah-masalah ijtihad.
Hal yang menambah jelas tentang kewajiban umum berda’wah itu adalah firman Allah Ta’ala, artinya: “Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah (argumen) yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS Yusuf: 108).

Allah Subahanahu wa Ta’ala telah menerangkan bahwa pengikut-pengikut Rasul Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah para da’i (pengajak) kepada Allah di atas hujjah yang nyata, ilmu, dan keyakinan. (lihat Ushulud Da’wah oleh Dr Abdul Karim Zaidan hal 295-356, seperti dikutip oleh Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani dalam Al-Hikmatu fid Da’wah ilalllaaah, hal 120 ).

Da’wah itu dilakukan dalam dua bentuk:
Bentuk pertama, Fardiyah (perorangan), dilakukan oleh orang muslim secara perorangan sesuai kemampuan dan ilmunya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
“Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, lalu apabila ia tidak mampu maka dengan lisannya, lalu apabila ia tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman,” (Hadits Riwayat Muslim, Kitab Al-Iman, bab keadaan mencegah dari kemunkaran termasuk dalam keimanan, 1/69).

Bentuk kedua: bersifat jama’iyah (kelompok), yaitu adanya suatu kelompok yang bekerjasama untuk menggarap urusan da’wah ini, sebagaimana firman Allah Ta’ala, artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104).

2. Bekal dan senjata da’i

Da’i membutuhkan bekal dan senjata yang kuat untuk melaksanakan tugasnya. Bekal dan senjata itu diantaranya:

a. Pemahaman yang mendalam yang dibangun di atas keilmuan, sebelum seorang da’i akan berbuat.

Pemahaman aqidah Islamiyah dengan pemahaman yang benar, dikuatkan oleh dalil-dalil dari Al-Quran, As-Sunnah, dan ijma’ ulama ahlus sunnah wal jama’ah. Pemahaman Islam bersumberkan Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman ulama salaf (tiga generasi awal Islam). Selain itu ada pemahaman-pemahaman yang rawan penyimpangan:

  • Tidak merujuk pada sumber Islam, misalnya memahami Islam pakai filsafat, sosiologi, antropologi dsb.

  • Dari Al-Quran saja, akibatnya menjadi inkar sunnah.
    Al-Hadits saja, akibatnya meremehkan hal yang pokok.

  • Dengan Al-Quran dan As-Sunnah namun pema-hamannya dari diri mereka sendiri, mengakibatkan melenceng dari maksud sebenarnya.
    Jadi yang selamat adalah memahami Islam dari Al-Quran dan As-Sunnah dengan manhaj/jalan pemahaman as-salafus shalih sebagai generasi awal yang sebaik-baik qurun menurut Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

b. Iman yang kuat lagi berbuah.
c. Kuatnya hubungan dengan Allah Ta’ala dalam segala perkaranya.

3. Akhlaq da’i.

Da’i harus menyandang akhlaq dan sifat-sifat yang mulia.

III Mad’u (orang yang dida’wahi)

Da’i tidak boleh menganggap remeh seseorang, karena setiap orang itu berhak dida’wahi. Da’i harus tahu bahwa manusia yang jadi sasaran da’wah itu bermacam-macam.

Hendaklah da’i itu seperti dokter yang lihai dan bijaksana ketika memeriksa orang sakit, dia tahu penyakitnya dan mendiagnosenya (menentukan sakitnya), kemudian memberikan obat yang sesuai, kadang membutuhkan operasi bedah atau amputasi (memotong sebagian anggota tubuh) untuk membuang penyakitnya. (ibid, hal 365-394, Al-Hikmah hal 124).

IV Taktik dan sarana da’wah

Uslub
Uslub atau taktik da’wah yaitu ilmu yang berhubungan dengan cara melangsungkan penyampaian da’wah dan menanggulangi rintangan-rintangannya. Taktik da’wah yang bijak dilandasi dengan:

  • Mengetahui dan menentukan jenis penyakit masyarakat dan obatnya.

  • Menghilangkan kesamaran-kesamaran yang menghalangi da’wah.

  • Menggemarkan untuk menerima kebenaran dan mengamalkannya

  • Memberikan pendidikan agar tidak kambuh lagi “penyakit” lamanya.

Sarana da’wah
Da’wah itu terdiri dari perkataan dan perbuatan. Apabila orang berda’wah hanya dengan perkataan yang baik, tanpa perbuatan baik, maka da’wahnya tidak sepenuhnya, bahkan perkataannya itu sendiri dirusak oleh perbuatannya.

Dari seluruh rangkaian da’wah, maka juru da’wah harus memiliki sifat:

  • Konsisten dengan apa yang dida’wahkannya, sesuai antara ucapan dan perbuatan.

  • Ikhlas lillahi Ta’ala dalam da’wahnya.

  • Mengikuti Nabi Shallallahi alaihi wa sallam.

  • Memiliki hujjah yang jelas nyata

  • Sabar dalam menanggung derita perjalanan da’wah

  • Jujur.

Pentingnya ilmu agama

Ilmu agama itu wajib dimiliki oleh setiap Muslim apalagi da’i. Kenapa demikian?

  • Karena kebutuhan kita terhadap ilmu agama itu tidak kurang dari kebutuhan kita terhadap makan dan minum, pakaian dan obat. Karena dengan ilmu itulah tegaknya agama dan dunia.

  • Karena para penjajah menduduki negeri-negeri Muslimin dengan berbagai sebab, hanya saja sebab yang paling penting adalah kebodohan ummat Islam.

  • Tersebarnya aliran-aliran sesat yang merusak (al-madzaahib alhadamah), dan aliran-aliran batil. Hal itu tidak terjadi kecuali karena adanya hati yang kosong. Maka aliran-aliran sesat , merusak, lagi batil itu bersarang di hati, karena hati masyarakat yang kosong itu tidak terjaga dengan ilmu agama, lalu ia menjadi mangsa tipuan kesesatan, dan jatuh pada penyelewengan-penyelewengan.
    Di sini kami peringatkan bahwa kebangkitan (kesadaran) Islam masa kini itu butuh pada thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu).

Tidak diragukan lagi bahwa da’wah itu tidak akan benar apabila dipimpin oleh mereka (yang tak berilmu syar’i). Dan perjuangan serta cita-cita da’wah ini akan sia-sia, karena kepemimpinan yang jahil dengan urusan agama pasti akan melemahkan pelaksanaan kewajiban da’wah.

Termasuk hal yang mengherankan, bahwa manusia ini sepakat, tidak mungkin seseorang mendirikan gedung kecuali dengan insinyur yang berilmu tentang bangunan. Sementara itu dalam urusan yang sangat penting yaitu urusan da’wah, cukup dipimpin oleh orang-orang yang kurang ilmu agamanya!!”

Untuk itu generasi mendatang, para siswa dan mahasiswa wajib memperbaiki ini semua dengan membekali diri dengan ilmu syar’i yang cukup, serta akhlaq dan perilaku yang mulia. Itulah yang kita harapkan demi tegak dan tingginya kalimah Allah. (Hartono Ahmad Jaiz).

Sumber:

  • Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Al-Hikmatu fid da’wah ilallaah Ta’ala, Jami’ah Imam Muhammad bin Saud Al-Islamiyyah, cetakan I, 1412H/ 1992.

  • Dr. Abdurrabbi bin Nuwwab Ad-Din Shifatu ad-Da’wah, Darul Ashimah, Riyadh, cetakan I, 1413H.