Daerah kekuasaan Islam semakin meluas, para Qurra’ (penghafal al-Qur’an) bertebaran di pelosok negeri, dan penduduk setiap negeri mengambil bacaan (mempelajari pelajaran al-Qur’an) dari Qori’ yang diutus kepada mereka, dan bentuk-bentuk Qiro’ah yang mereka gunakan untuk membaca al-Qur’an berbeda-beda berdasarkan perbedaan huruf yang dengannya al-Qur’an turun. Apabila mereka berkumpul pada suatu tempat pertemuan atau medan peperangan, sebagian mereka heran dengan bentuk-bentuk perbedaan ini. Dan terkadang mereka menerima dan merasa puas bahwasanya semuanya bersandar kepada bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi hal ini tidak bisa membendung adanya keraguan yang ada di benak generasi baru yang tidak berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka terjadilah pembicaraan seputar mana yang fasih dan mana yang lebih fasih. Akhirnya akan menimbulkan pertentangan apabila tersebar, bahkan hampir menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah seperti ini harus segera diselesaikan.

Maka ketika terjadi penyerbuan Armenia dan Azerbijan dari kalangan Ahli Iraq yang ditengah-tengah mereka ada Hudzaifah bin Yaman. Maka dia melihat perbedaan yang banyak dalam masalah bentuk-bentuk Qiro’ah, yang sebagiannya bercampur dengan [ilahn (kekeliruan/kesalahan dalam membaca) yang disertai dengan sikap saling membela dan mempertahankan bentuk bacaannya dan sebagian mereka mengkafirkan yang lainnya. Ketika itulah ia bersegera menuju ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu dan mengabarkan apa yang dilihatnya. Dan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu telah sampai kepadanya sebagian dari perbedaan itu, yang terjadi pada sebagian orang-orang yang mengajarkan bacaan kepada anak-anak kecil, lalu mereka tumbuh besar sedangkan di antara mereka ada perbedaan yang ada. Maka para Shahabat radhiyallahu ‘anhum menganggap besar permasalahan itu karena mereka takut akan munculnya perubahan dan penggantian terhadap al-Qur’an. Maka mereka bersepakat untuk menyalin mushaf yang pertama, yang dahulu ada pada zaman Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, lalu mereka menyatukan manusia di atas mushaf itu dengan model-model (bentuk-bentuk) qira’at/bacaan yang telah valid di atas satu huruf. Maka ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu mengutus utusan kepada Hafshah radhiyallahu ‘anha, lalu ia (Hafshah) pun mengirimkan mushaf kepadanya (kepada ‘Utsman). Kemudian ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu mengirimkan surat kepada Zaid bin Tsabit al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, dan kepada ‘Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan ‘Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam radhiyallahu ‘anhum dari kalangan suku Quraisy, supaya mereka menyalin mushaf kedalam beberapa naskah mushaf, dan supaya ditulis apa yang di dalamnya terjadi perbedaan antara Zaid dan ketiga orang Quraisy tadi dengan bahasa Quraisy, karena sesungguhnya al-Qur’an turun dengan bahasa/logat mereka.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:“Sesungguhnya Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu mendatangi ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, dan ia pernah berperang bersama penduduk Iraq melawan penduduk Syam di Armenia dan Azerbijan. Maka perbedaan mereka dalam qira’ah (bacaan al-Qur’an) membuat ia khawatir. Maka ia pun berkata kepada ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu:’Pahamilah ummat (lalu tanganilah) sebelum mereka berbepecah seperti perpecahannya Yahudi dan Nashrani (kristen).’ Maka ia pun mengirim utusan kepada Hafshah radhiyallahu ‘anhu yang isinya:’ Kirimkanlah kepada kami mushaf, agar kami menyalinnya ke dalam beberapa naskah mushaf lalu kami akan mengembalikannya kepadamu.’ Maka Hafshah radhiyallahu ‘anha mengirimkan mushaf tersebut kepada ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu lalu ‘Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin az-Zubair, Sa’id bin al-‘Ash dan ‘Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam radhiyallahu ‘anhum, lalu mereka pun menyalinnya ke dalam beberapa naskah mushaf. Dan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu berkata kepada tiga orang Quraisy di atas:’ Apabila kalian bertiga berbeda dengan Zaid bin Tsabit di dalam sesuatu permasalahan dari al-Qur’an, maka tulislah dengan bahasa/dialek Quraisy, karena al-Qur’an turun dengan bahasa mereka. Lalu mereka pun mengerjakannya hingga setelah selesai menyalin mushaf ke dalam beberapa mushaf, ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu mengembalikannya kepada Hafshah radhiyallahu ‘anha. Dan ia (‘Utsman) mengirimkan ke seluruh pelosok negeri satu mushaf dari mushaf-mushaf yang mereka salin, dan ia menyuruh membakar al-Qur’an selain yang ada pada mushaf-mushaf itu. Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Ketika kami menyalin mushaf, aku teringat sebuah ayat dari surat al-Ahzab yang aku dahulu mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacanya. Maka kami pun mencarinya dan kami dapatkan (naskah) ayat itu pada Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ayat itu adalah:

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلا

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzaab: 23)

Lalu, kami tempatkan ayat itu pada surat tersebut di dalam mushaf.

Beberapa riwayat menyebutkan/menunjukkan bahwa perbedaan bentuk bacaan tidak hanya membuat takut dan khawatir Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu saja, akan tetapi sebagian Shahabat yang lain juga merasakan hal yang sama dalam masalah itu.

Dari Ibnu Jarir rahimahullah berkata:’Telah mengabarkan kepadaku Ya’qub bin Ja’far, dia berkata:’Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Aliyah, dia berkata:”Telah mengabarkan kepada kami Ayyub dari Abi Qilabah berkata:‘Ketika zaman kekhilafahan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu seorang pengajar mengajarkan Qira’ah (model bacaan) seseorang kepada murid-muridnya, sedangkan pengajar yang lain mengajarkan bacaan yang lain kepada murid-muridnya, maka bertemulah murid-murid tersebut lalu mereka berbeda (dalam bacaan), hingga hal itu sampai kepada para pengajar mereka.’ Ayyub berkata:‘Tidak aku ketahui kecuali dia mengatakan:’Hingga sebagian mereka mengkafirkan bacaan yang lain.’ Dan akhirnya hal itu sampai kepada ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu. Maka ia pun bangun dan berkhutbah, lalu berkata:‘Kalian berselisih pendapat dan keliru dalam membaca al-Qur’an sedangkan kalian bersamaku, maka orang-orang yang jauh dariku dari kalangan penduduk kota pasti lebih keras lagi perbedaannya dan lebih parah kekeliruannya. Bersatulah wahai para Shahabat Nabi, lalu tulislah untuk manusia sebuah panutan.’ Abu Qilabah berkata:’Maka Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:’Aku dahulu termasuk orang yang mengeja kepada mereka.’Dia berkata:‘Maka mungkin saja mereka berselisih pendapat tentang sebuah ayat, lalu mereka teringat ada seorang laki-laki yang mengambil/mendapatkan ayat tersebut dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mungkin saja dia tidak hadir dalam beberapa kesempatan (penulisan mushaf), lalu mereka menuliskan ayat yang sebelumnya dan yang setelahnya dan membiarkan (mengkosongkan) tempat/posisinya, sampai dia (orang yang menerima ayat tadi) datang atau dikirimkan utusan kepadanya. Maka ketika selesai dari penulisan mushaf, ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu menulis kepada penduduk negeri:’Sesungguhnya aku telah berbuat begini dan begitu, dan aku telah menghapus apa yang ada padaku, maka hapuslah apa yang ada pada kalian.’ (Tafsir ath-Thabari juz 1)

Ibnu Abi Syaibah rahimahullah meriwayatkan dari jalan Ayyub dari Abi Qilabah semisal dengan riwayat di atas, dan Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan di dalam Fathul Bari bahwa Ibnu Abi Dawud meriwayatkannya di dalam kitab al-Mashahif dari jalur Abi Qilabah.

Dan dari Suwaid bin Ghaflah berkata:” ‘Ali radhiyallahu ‘anhu:’Janganlah kalian berkata tentang ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu kecuali tentang kebaikan, maka demi Allah tidaklah dia melakukan sesuatu yang dia lakukan melainkan itu berasal dari persetujuan kami.’ ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:’Apa pendapat kalian tentang qira’ah ini?’ Sungguh telah sampai kepadaku bahwa sebagian mereka berkata:’Sesungguhnya bacaan (qira’ah) ku lebih baik daripada bacaanmu.’ Dan ini hampir-hampir menjadi sebuah kekafiran.’ Kami (‘Ali dan para Shahabat yang lain) katakan:’Maka bagaimana pendapatmu?’ Dia (‘Utsman) berkata:’Aku berpendapat bahwa hendaknya manusia dikumpulkan/disatukan di atas satu mushaf, sehingga tidak ada perpecahan dan perbedaan.’ Maka kami katakan :’Sungguh baik apa yang engkau usulkan.’

Ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu telah disepakati oleh para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Al-Qur’an ditulis dalam satu huruf salah satu huruf dari tujuh huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan, supaya manusia bersatu di atas satu bacaan. Dan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu mengembalikan mushaf kepada Hafshah radhiyallahu ‘anha lalu ia mengirimkan satu naskah dari mushaf-mushaf salinan itu ke pelosok negeri dan ia menyisakan satu mushaf di Madinah dan itulah mushaf yang dinamakan al-Imam.Penamaannya dengan nama itu adalah berdasarkan sebagaian riwayat yang lalu:” Bersatulah wahai para Shahabat Nabi, lalu tulislah untuk manusia sebuah imam (panutan).” Dan dia (‘Utsman radhiyallahu ‘anhu) memerintahkan untuk membakar selain mushaf itu baik yang berupa lembaran-lembaran ataupun yang berupa mushaf (kitab), dan ummat ini menerima perintah itu dengan ketaatan. Dan ditinggalkan bacaan keenam huruf selain yang ditulis di zaman ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, dan itu tidak masalah. Karena sesungguhnya membaca dengan tujuh huruf bukan sesuatu yang wajib, seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan kepada ummatnya untuk membaca dengan ketujuh huruf itu semuanya, niscaya wajib untuk menukil semua huruf itu dengan nukilan mutawatir sehingga bisa menjadi hujjah.

Akan tetapi mereka (para Shahabat) tidak melakukan hal itu, maka ini menunjukkan bahwa membaca dengannya (dengan ketujuh huruf) adalah rukhshah (hanya keringanan saja). Dan bahwasnya yang wajib untuk dinukil secara mutawatir hanyalah sebagian dari ketujuh huruf ini.

Ibnu Jarir berkata tentang apa yang dilakukan oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu:“Dan dia ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan/menyatukan mereka (para Shahabat radhiyallahu ‘anhum) dalam satu mushaf, satu huruf, dan memerintahkan untuk memusnahkan mushaf-mushaf selainnya. Dia radhiyallahu ‘anhu juga memerintahkan kepada semua Shahabat yang memiliki mushaf yang berbeda dengan mushaf yang telah disepakati untuk dibakar. Lalu ummat pun mendukung hal itu dan menjalankan perintahnya dengan penuh ketaatan, dan mereka memandang bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah petunjuk dan kebenaran. Lalu mereka meninggalkan qira’at-qira’at (model bacaan-bacaan) yang enam yang imam mereka (‘Utsman) berkeinginan agar keenamnya ditinggalkan, sebagai bentuk ketaatan dari mereka kepada pemimpinnya. Mereka melakukan hal itu karena pertimbangan mereka untuk kemaslahatan bagi mereka dan generasi setelah mereka. Dengan demikian segala qira’at yang sudah dimusnahkan tak tersisa. Kaum muslimin menolak melestarikan qira’at dengan huruf-huruf lain yang menimbulkan konflik besar, tanpa mengingkari kebenarannya. Hal itu dilakukan demi kebaikan kaum muslimin sendiri. Dan sekarang ini tidak ada lagi qira’at bagi kaum muslimin selain qira’at dengan satu huruf yang telah dipilih oleh pemimpin mereka yang baik itu/ tidak ada lagi qira’at dengan enam huruf lainnya.

Apabila seseorang yang lemah ilmunya berkata:“Bagaimana mungkin boleh bagi mereka (para Shahabat) meninggalkan model bacaan (huruf) yang telah diakui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau telah memerintahkan untuk membaca dengannya?”

Maka dikatakan kepada mereka:“Sesungguhnya perintah beliau kepada mereka dengan perintah tersebut bukanlah keharusan atau perintah yang wajib. Akan tetapi itu hanyalah keringanan dan pembolehan saja. Sebab andaikata cara membaca dengan tujuh huruf itu diwajibkan bagi mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari ketujuh huruf itu wajib pula bagi orang yang mempunyai hujjah untuk menyampaikannya, beritanya pun harus pasti dan tidak boleh ada hal yang diragukan di benak para penghafal ummat ini. Oleh karena itu mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah bacaan boleh memilih sesudah adanya sebagian orang di kalangan ummat yang menyampaikan al-Qur’an menjadikan sebagian dari tujuh huruf sebagai hujjah.

Jika demikian halnya, maka mereka tidak dipandang telah meninggalkan kewajiban dalam menyampaikan semua qira’at/bacaan yang tujuh tersebut. Kewajiban mereka ialah apa yang sudah mereka kerjakan itu, yaitu melakukan sesuatu yang berdasarkan pertimbangan untuk kemaslahatan bagi Islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka sendiri lebih utama daripada melakukan sesuatu yang apabila dilakukan akan membawa dampak buruk bagi kaum Islam dan kaum muslimin (karena menukil ketujuh huruf tersbut akan menimbulkan kekacauan di kalangan kaum muslimin sebagaimana dalam kisah Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu di atas). Wallah A’lam

(Sumber: مباحث في علوم القرآن, Syaikh Manna al-Qaththaan, maktabah Ma’arif, Riyadh hal.129-133. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)