Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ يَوْمُُ لاَّ بَيْعُُ فِيهِ وَلاَخُلَّةٌ وَلاَ شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ {254}

”Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (QS.Al-Baqarah: 254)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat di atas:”Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menginfakkan rizki yang telah Allah karuniakan kepada mereka di jalan-Nya yaitu jalan kebaikan, supaya mereka menyimpan pahala perbuatan tersebut di sisi Rabb mereka, Raja mereka (Allah), dan supaya mereka bersegera untuk melakukan hal itu (infak) di kehidupan dunia ini, sebelum datang suatu hari, yaitu hari Kiamat.”

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata:”Seruan dalam ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Hal ini menunjukkan bahwa berpegang teguh dengan apa yang akan disebutkan dalam ayat ini iadalah termasuk konskwensi dari keimanan, sama saja apakah ia berbentuk perintah ataupun larangan. Dan juga menunjukkan bahwa tidak merealisasikannya mengurangi keimanan. Dan juga menunjukkan motivasi dan anjuran, seolah-olah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:”Wahai orang-orang yang beriman, karena keimananmu maka kerjakanlah ini dan itu”, seperti ketika kita memotivasi seseorang dengan mengataan:”Hai laki-laki kerjakanlah ini dan itu” karena pekerjaan tersebut adalah konsekwensi dari kelelakian/kejantanannya.”

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata:”Allah menganjurkan kepada kaum mukminin untuk berinfak pada segala macam bentuk kebaikan, karena menghilang-kan obyek kalimat menunjukkan pada keumuman, dan Allah juga mengingatkan tentang nikmatNya atas mereka, bahwa Allah-lah yang telah memberi rizki kepada mereka, dan memberikan berbagai macam nikmat atas mereka, dan Allah tidak memerintahkan kepada mereka untuk mengeluarkan seluruh harta yang ada pada mereka, akan tetapi ayat ini datang dengan kata “min” yang menunjukkan arti sebagian, maka hal ini di antara perkara yang mengajak mereka untuk berinfak, dan juga di antara hal yang mengajak mereka untuk berinfak adalah kabar Allah kepada mereka bahwa infak-infak ter-sebut akan tersimpan rapi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala pada suatu hari yang tidak ada gunanya lagi saling tawar menawar untuk berjual beli dan semacamnya, tidak pula bantuan-bantuan sosial maupun syafaat, setiap orang akan berkata apa yang telah saya persembahkan untuk kehidupan saya, maka seluruh sebab-sebab akan lenyap, kecuali sebab-sebab yang berkaitan dengan ketaatan kepada Allah dan keimanan kepadaNya,

يَوْمَ لاَيَنفَعُ مَالٌ وَلاَبَنُونَ {88} إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ {89}

”(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu-‘ara: 88-89), dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَآأَمْوَالُكُمْ وَلآأَوْلاَدُكُم بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِندَنَا زُلْفَى إِلاَّ مَنْ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ لَهُمْ جَزَآءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا وَهُمْ فِي الْغُرُفَاتِ ءَامِنُونَ {37}

”Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka itulah yang memper-oleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerja-kan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).” (QS. Saba’: 37), dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

…وَمَاتُقَدِّمُوا لأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ {20}

”Dan kebaikan sekecil apapun yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.”(QS. Al-Muzammil: 20)

Kemudian Allah q berfirman, وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ “Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zhalim” hal itu karena Allah q menciptakan mereka hanya untuk beribadah kepadaNya, Dia memberi rizki dan menyehatkan mereka agar mereka mampu mengerjakan ketaatan dengannya, namun mereka berpaling dari tujuan Allah menciptakan mereka, mereka menyekutukan Allah dengan apa yang tidak Allah turunkan keterangan tentangnya, mereka melakukan kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan dengan kenikmatan itu, mereka tidak meletakkan keadilan pada tempat-nya, oleh karena itulah kezhaliman yang mutlak meliputi mereka.

Para Ulama berbeda pendapat tentang infak yang dieprintahkan dalam ayat ini; apakah ia infak wajib yaitu zakat ataukah ia infak seecara umum mencakup yang wajib dan yang sunnah? Al-Hasan al-Bahsri rahimahullah berpendapat bahwa infak dalam ayat ini adalah khsusus untuk zakat saja (infak wajib), bukan infak sunnah namun Ulama yang lain (Jumhur) berpendapat infak dalam ayat ini adalah umum mencakup infak yang wajib yaitu zakat dan juga infak yang sunnah seperti sedekah dan lain-lain.Wallahu a’alam.

Pelajaran dari ayat yang mulia di atas:

Di antara pelajaran yang dapat dipetik dari ayat di atas adalah sebagai berikut:

1. Keutamaan berinfak dari rizki yang telah Allah karuniakan kepada kita.

2. Bahwasanya infak adalah salah satu konsekwensi dari keimanan, dan kikir (belit/bakhil) adalah kekurangan dalam iman. Oleh sebab itu seorang mukmin bukanlah orang yang pelit, namun orang mukmin adalah orang yang dermawan dengan ilmunya, dermawan dengan kedudukan/kehormatannya, dermawan dengan hartanya dan dermawan dengan fisiknya.

3. Peringatan bahwa seseorang tidak memperoleh rizki semata-mata dengan usahanya sendiri, usaha hanyalah sebab namun yang menjadikan sebab itu adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini sebagaimana firman-Nya: مِمَّا رَزَقْنَاكُم (sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu). Maka tidak sepantasnya seseorang merasa ujub (takjub terhadap diri sendiri) sehingga menganggap rizki yang diperolehnya adalah semata-mata hasil usahanya, dan hasil kerjanya sebagaimana perkataan seseorang:”Sesungguhnya aku diberikan ini karena ilmu yang aku miliki.”

4. Bahwasanya pada hari itu (Kiamat) tidak ada lagi kemungkinan (kesempatan) untuk sampai kepada apa yang diinginkan, dengan sarana/sebab apapun yang biasa mereka gunakan di dunia untuk meraih apa yang mereka inginkan, seperti jual beli, persahabatan, syafa’at. Akan tetapi yang bisa menyampaikan seseorang kepada apa yang diiginkan adalah ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

5. Bahwasanya syafa’at tidak bermanfaat bagi orang kafir, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhiri firman-Nya وَلاَ شَفَاعَةٌ (tidak ada syafa’at) dengan fiman-Nya:وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُون (Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim) dan ini diuatkan dengan firman-Nya:

فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ {48}

”Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at.”(QS. A-Mudatstsir:48)

6. Sesungguhnya kekufuran adalah kezhaliman yang paling besar, sisi pendalilannya adalah pembatasan kezhaliman hanya pada orang kafir. Cara pembatasan dalam ayat ini adalah dengan adanya dhamir fashl (kata ganti pemisah) هم

7. Bahwasanya seseorang tidak bisa mengambil manfaat dari hartanya setelah dia meninggal, berdasarkan firman-Nya:

… أَنفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ يَوْمُُ ….{254}

”… Infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari …(kematian).” (QS.Al-Baqarah: 254)

Namun hal ini dibatasi (kamsudnya hal ini tidak berlaku secara mutlak namun ia dibatasi) dengan hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعوا له

Jika manusia mati terputuslah amalnya kecuali tiga: shadaqah jariyah, atau ilmu yang dia amalkan atau anak shalih yang mendoakannya.”(HR. Muslim)

8. Bantahan terhadap sekte (kelompok) Jabriyah, yaitu dalam firman-Nya:أنفقوا (berinfaklah kalian), yang mana di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyandarkan perbuatan infak dalam ayat ini kepada manusia (dengan demikian berati manusia memiliki kehendak). Orang Jabriyah mengatakan bahwa manusia tidak melakukan suatu perbuatan dengan kehendaknya (dan bahwasanya manusia itu seperti wayang di tangan pak dalang dan seperti mayat di tangan orang yang memandikannya). Pendapat ini dapat dibantah dengan dalil naqli (al-Qur’an dan Hadits) dan akal –sebagaimana hal itu telah menjadi ketetapan di dalam-kitab-kitab Aqidah-.

9. Bantahan terhadap sekte (kelompok) Qadariyah, yaitu dalam firman-Nya:ممارزقناهم (dari rizki yang kami berikan kepada kalian). Karena kita yakin bahwasanya rizki Allah ada yang diperoleh dengan usaha dan ada yang diperoleh tanpa usaha. Jika hujan turun dari langit dan engkau dalam keadaan haus, lalu engkau meminumnya, maka rizki Allah ini (hujan) datang tanpa usaha sedikitpun darimu, dan juga bukan dengan keinginanmu. Namun, jika sengkau melakukan jual beli dan engkau mendapatkan harta maka ini ada usaha darimu, danAllahlah yang memberikannya rizki itu kepadamu. Dan jika Allah berkehendak, Allah bisa saja menghilangkan kemampuanmu, meghilangkan keinginan/kehendakmu dan bisa juga dia tidak mendatangkan rizki kepadamu.

10. Menafkahkan seluruh harta itu boleh. Hal ini kalau kita mengatakan bahwa makna huruf من (dari) dalam firman Allah مما رزقناكم adalah untuk penjelasan bahwa yang dinafkahkan adalah rizki yang Allah karuniakan, dan juruf tersebut bukan sebagai kata yang menunjukkan sebagian (tab’idhiyyah). Namun hal ini disyaratkan bahwasanya orang tersebut hendaklah yakin bahwa dia masih mampu berusaha, dan jujur dalam bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Perhatian:

Secara sekilas ayat ini menyatakan bajwa syafa’at pada hari Kiamat tidak bermanfaat secara mutlak. Maka dari itu, kita harus mengabungkan ayat ini dengan nash-nash lain yang menetapkan adanya/bermanfaatnya syafa’at pada hari itu. Maka dijelaskan:”Menggabungkannya adalah dengan mengatakan bahwa nash yang mutlak (pada ayat di atas) muqayyad (dibatasi) dengan ansh-nash lainyang menyebutkan adanya syafa’at. Namun keberadaan syafa’at tersebut bisa diperoleh dengan tiga syarat; ridha Allah bagi orang yang akan memberi syafa’at dan bagi orang yang akan diberi syafa’at, dan izin dari Allah untuk memberi syafa’at.”

(Sumber: Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir as-Sa’di, Tafsir al-Qur’anul Karim karya Syaikh ‘Utsaimin rahimahumullah dan tafsir-tafsir yang lain. diposting oleh Abu Yusuf Sujono )