Pasal : Setelah al-Fatihah, dia membaca surat atau sebagian dari surat dan hal itu adalah sunnah, seandainya dia meninggalkannya, shalatnya tetap sah tanpa perlu sujud sahwi, baik shalatnya adalah fardhu maupun nafilah (sunnah). Tidak dianjurkan membaca surat dalam shalat jenazah berdasarkan salah satu dari dua pendapat yang lebih shahih karena ia didasarkan kepada keringanan. (Justru sebaliknya, ia dianjurkan. Terdapat atsar yang shahih dari Ibnu Abbas)

kemudian dia boleh memilih: membaca surat atau sebagian dari surat. Membaca surat yang pendek adalah lebih baik daripada membaca kadar yang sama dari surat yang panjang. Dianjurkan membaca surat sesuai dengan urutannya dalam mushaf, di mana pada rakaat kedua dia membaca surat setelah surat yang dibaca pada rakaat pertama, jika dia tidak melakukannya, maka shalatnya tetap sah. Sunnahnya adalah membaca surat setelah al-Fatihah, jika dia membaliknya maka dia tidak dianggap membaca surat. (Apabila dia melakukan itu dengan sengaja maka dia berdosa karena dia menyelisihi perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar shalat seperti shalatnya. Jika lupa maka dia membaca al-Fatihah setelah membaca surat. Pada prinsipnya dia tetap mendapatkan pahala pada keduanya, tidak ada dalil bahwa bacaan suratnya tidak dianggap ada)

Ketahuilah bahwa anjuran membaca surat yang kami jelaskan adalah untuk imam, munfarid (shalat sendirian), dan makmum dalam shalat di mana imam membaca dengan pelan (sirr). Adapun shalat di mana imam membaca dengan keras (jahr), maka makmum hanya membaca al-Fatihah saja, tidak lebih, apabila dia mendengar bacaan imam, tetapi apabila dia tidak mendengarnya atau dia mendengar suara samar yang tidak jelas sehingga tidak dipahami maka dia dianjurkan membaca surat menurut pendapat yang benar sebatas tidak mengganggu orang lain.

Pasal: Sunnahnya yaitu hendaknya surat yang dibaca pada shalat Shubuh dan Zhuhur adalah dari surat-surat mufashshal yang panjang,( Ibnu Hajar al-Haitsami berkata, “Awal surat mufashshal adalah al-Hujurat menurut pendapat yang shahih dari sepuluh pendapat.” Al-Futuhat ar-Rabbaniyah 2/206.) pada shalat Ashar dan Isya` dari pertengahannya, dan pada shalat Maghrib dari yang pendeknya. Apabila dia sebagai imam maka dia meringankan dari itu kecuali bila dia mengetahui bahwa makmum lebih memilih yang panjang.( Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak terus menerus melakukan itu akan tetapi sering dan terkadang beliau melakukan sebaliknya. Beliau meringankan shalat Shubuh dengan membaca surat mufashshal yang pendek. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memanjangkan Maghrib dengan membaca surat mufashshal yang panjang bahkan lebih dari itu seperti surat al-Anfal dan al-A’raf. Manusia paling berbahagia dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang mengamalkan semuanya dan tidak berpaling dari apa yang shahih dari beliau. Adapun melakukan seperti apa yang dicontohkan penulis secara terus menerus, maka hal itu bukan-lah sesuatu yang dianjurkan dan bukan pula disunnahkan bahkan sebagian sahabat mengingkari orang yang melakukannya. Ini bukan untuk memberikan penjelasan yang panjang lebar.)

Sunnahnya adalah membaca surat as-Sajdah (آلم،تَنْزِيْلٌ) pada rakaat pertama Shalat Shubuh pada hari Jum’at, dan pada rakaat keduanya membaca surat al-Insan, (هَلْ أَتَي عَلَي اْلإِنْسَان)ِ.( Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Jum’ah, Bab Ma Yuqra` Fi al-Fajr Yauma al-Jumu’ah, 2/377, no. 891, dan Muslim, Kitab al-Jumu’ah, Bab Ma Yuqra` Yaum al-Jumu’ah, 2/599, no. 800; dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) Keduanya dibaca seluruhnya. Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian orang di mana mereka hanya membaca sebagian darinya maka hal itu menyelisihi sunnah.

Yang sunnah pada shalat Id dan shalat istisqa’(Aku tidak menemukan bacaan khusus dalam shalat Istisqa’. Menyamakannya dengan shalat Id kurang bisa diterima karena perbedaan pada sebagian tata caranya. Wallahu a’lam.) adalah membaca surat Qaf (ق) pada rakaat pertama setelah al-Fatihah, dan pada rakaat kedua surat al-Qamar (اِقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ). Jika dia mau dia membaca pada rakaat pertama surat al-A’la, (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى), dan pada rakaat kedua surat al-Ghasiyah (هَلْ أَتَاكَ حَدِيْثُ اْلغَاشِيَةُ)(Diriwayatkan oleh Muslim (8 -Shalat al-Idain, 2 – Ma Yuqra` Bihi fi al-Idain, 2/607/891) dari hadits Abu Waqid al-Laitsi tentang shalat dua hari raya bukan Istisqa’.) Keduanya sunnah.

Yang sunnah adalah membaca pada rakaat pertama shalat Jum’at, surat al-Jumu’ah dan pada rakaat kedua surat al-Munafiqun. (Diriwayatkan oleh Muslim, ibid, 2/597, no. 877 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Kalau dia mau, maka rakaat pertama surat al-A’la (سَبِّحِ), dan rakaat kedua al-Ghasiyah (هَلْ أَتَاكَ).( Hal itu diriwayatkan oleh hadits an-Nu’man bin Basyir di catatan kaki nomor empat.)Keduanya adalah sunnah.

Hendaknya dalam shalat-shalat ini seseorang tidak membaca sebagian surat saja, kalaupun dia hendak meringankan shalatnya, maka dia membacanya dengan cepat tanpa mengurangi hak minimal huruf.

Yang sunnah adalah membaca pada rakaat sunnah Fajar, pada rakaat pertama setelah al-Fatihah (ءَ امَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا…)(al-Baqarah: 136), dan pada rakaat kedua, (قُلْ يَاأَهْلَ اْلكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ…)(Ali Imran: 64). Atau pada rakaat pertama surat al-Kafirun (قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ), dan pada rakaat kedua surat al-Ikhlash (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ). Keduanya dilakukan oleh Rasulullah a secara shahih dalam Shahih Muslim. (Yang pertama diriwayatkan oleh Muslim, Kitab al-Musafirin, Bab Istihbab Rak’atai as-Sunnah, 1/502, no. 727, dari hadits Ibnu Abbas. Yang kedua juga diriwayatkan oleh Muslim, ibid, 726 dari hadits Abu Hurairah.)

Membaca pada rakaat sunnah Maghrib (Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Kitab Iqamat ash-Shalah, Bab Ma Yuqra` Fi ar-Raq’atain Ba’da al-Maghrib, 1/369, no. 1166; at-Tirmidzi, Kitab ash-Shalah, Bab ar-Rak’atain Ba’da al-Maghrib, 2/296, no. 431; ath-Thahawi 1/298; ath-Thabrani 10/141, dan 10251, al-Baihaqi 3/43, dari beberapa jalan, dari Abdul Malik bin al-Walid, Ashim bin Bahdalah menyampaikan kepada kami, dari Zir dan Abu Wa’il dari Ibnu Mas’ud dengan hadits tersebut.
Ini adalah sanad dhaif karena Abdul Malik bin al-Walid bin Ma’dan. Oleh karena itu at-Tirmidzi berkata, “Gharib,” dan disetujui oleh al-Asqalani. Dia berkata, “Benar, Ibnu Nashr meriwayatkan syahid kuat untuknya dengan sanad shahih kepada Abdurrahman bin Yazid an-Nakha`i. Dia berkata, “Mereka menganjurkan…”
Aku berkata, “Ia memiliki syahid lain dari hadits Ibnu Umar di an-Nasa`i no. 991, al-Baihaqi 3/43 dengan sanad dhaif. Ada syahid ketiga dari hadits Anas di asy-Syu’ab milik al-Baihaqi no. 2523, oleh karena itu al-Asqalani cenderung me-nguatkan hadits dengan syawahidnya. Al-Albani berkata, “Hasan shahih.”)
dua rakaat thawaf (Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab al-Hajj, Bab Hajjat an-Nabi a, 2/886, no. 1218: dari hadits Jabir bin Abdillah yang panjang tentang Haji Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam)
dan istikharah ( Hafizh al-Iraq berkata, -sebagaimana dalam al-Futuhat ar-Rabbaniyah 3/354, “Aku tidak menemukan dalam sedikit pun jalan periwayatan hadits yang menentukan bacaan dalam dua rakaat shalat Istikharah.” Ucapannya ini disetujui oleh al-Asqalani.) pada rakaat pertama al-Kafirun (قُلْ يَاأيُّهَا الْكَافِرُوْنَ), dan pada rakaat kedua al-Ikhlas (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ).

Sedangkan mengenai witir, Apabila witirnya tiga rakaat, dia membaca pada rakaat pertama setelah al-Fatihah surat al-A’la (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى), pada rakaat kedua surat al-Kafirun(قُلْ يَاأيُّهَا الْكَافِرُوْنَ), dan pada rakaat ketiga surat al-Ikhlash (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ)dengan muawwidzatain. (Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad 6/227; al-Hakim 2/520; al-Baihaqi 3/38; al-Baghawi no. 974, dari jalan Muhammad bin Salamah, dari khushaif, dari Abdul Aziz bin Juraij, dia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah… lalu dia menyebut-kannya.
Ini adalah sanad dhaif, Khushaif adalah rawi yang buruk hafalannya, kacau balau (hafalannya) di akhir hayatnya, Ibnu Juraij lemah dan secara umum dia tidak mendengar dari Aisyah. Akan tetapi hadits ini diriwayatkan oleh at-Thahawi 1/285, Ibnu Hibban no. 2432, ad-Daruquthni 2/35, al-Hakim 1/305 dan 2/520, al-Baihaqi 3/37), al-Baghawi no. 973, dari beberapa jalan, dari Yahya bin Ayyub, dari Yahya bin Sa’id, dari Amrah, dari Aisyah dengan hadits tersebut. Ini adalah sanad hasan karena terdapat pada Yahya bin Ayyub ucapan yang tidak membuat haditsnya turun dari derajat hasan. Ia memiliki jalan ketiga dalam Qiyamul Lail milik Muhammad bin Nashr 1/215 – Futuhat. Jadi hadits ini shahih dengan kumpulan jalan periwayatannya. Ia dihasankan oleh at-Tirmidzi, al-Baghawi dan al-Asqalani dan disha-hihkan oleh al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani.)
Semua yang kami sebutkan di atas didukung oleh hadits-hadits masyhur dalam ash-Shahih dan selainnya, kami tidak menyebutkannya karena ia masyhur.( Di naskah lain tertulis, “Kami tidak perlu menyebutkannya karena kemasyhurannya Wallahu a’lam.)

Pasal: Seandainya pada rakaat pertama shalat Jum’at seseorang tidak membaca surat al-Jumu’ah, maka pada rakaat kedua dia membaca surat al-Jumu’ah dengan al-Muna-fiqun, begitu pula shalat Id, Istisqa’, Witir, sunnah Fajar dan lain-lainnya yang semakna dengannya yang telah kami sebutkan. Apabila pada rakaat yang pertama dia meninggal-kan apa yang disunnahkan, maka dia membacanya pada rakaat kedua dimulai dengan yang pertama lalu kedua agar shalatnya tidak kosong dari kedua surat tersebut. Seandai-nya pada shalat Jum’at dia membaca surat al-Munafiqun pada rakaat pertama, maka dia membaca surat al-Jumu’ah pada rakaat kedua dan tidak mengulang al-Munafiqun. Aku telah menjelaskan dalil semua itu di Syarh al-Muhadzdzab.(Al-Asqalani berkata dalam Amali al-Adzkar 2/218 – Futuhat, “Aku telah mengeceknya dalam Syarh al-Muhadzdzab, tetapi aku tidak menemukannya telah menjelaskannya dengan berpijak kepada hadits. Begitu pula tiga perkara yang disebutkan di pasal sebelumnya.”)

Pasal: Tercantum secara shahih dalam ash-Shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam me-manjangkan rakaat pertama shalat Shubuh dan lainnya lebih dari rakaat yang kedua (Diriwayatkan oleh al-Bukhari: Kitab al-Adzan, Bab al-Qira`ah Fi azh-Zhuhr, 2/243, 759, dan Muslim: Kitab ash-Shalah, Bab al-Qira`ah Fi azh-Zhuhr Wa al-Ashr, 1/333, no. 451.) Mayoritas sahabat-sahabat kami memilih menakwilkan hadits ini, kata mereka, “Rakaat pertama tidak perlu dipanjangkan melebihi yang kedua.” Sementara itu para peneliti di antara mereka berpendapat dianjurkannya memanjangkan rakaat pertama berdasarkan hadits shahih ini. Mereka bersepakat bahwa rakaat ketiga dan keempat adalah sama. Hanya saja keduanya lebih pendek daripada yang pertama dan kedua. Dan pendapat yang lebih shahih adalah tidak dianjurkan membaca surat pada rakaat ketiga dan keempat.(Justru yang shahih, dianjurkan, hal itu tercantum secara shahih dalam Shahih Muslim. Dan sunnahnya adalah mem-baca surat pada keduanya sekali waktu dan tidak membacanya di lain waktu, karena Nabi shallallahu ‘shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan dan pernah pula meninggalkannya.) Apabila kita berpendapat bahwa ia dianjurkan, maka yang lebih shahih adalah bahwa rakaat ketiga sama dengan rakaat keempat. Ada yang berkata bahwa yang ketiga lebih panjang daripada yang keempat.

Pasal: Para ulama telah berijma’ bahwa bacaan pada shalat Shubuh, dua rakaat pertama shalat Maghrib dan Isya’ adalah keras (jahr), bahwa bacaan pada shalat Zhuhur dan Ashar, rakaat ketiga shalat Maghrib, ketiga dan keempat shalat Isya’ adalah pelan (sirr), bahwa bacaan pada shalat Jum’at, Idain, Tarawih dan Witir setelahnya adalah keras. Ini dianjurkan bagi imam dan munfarid apabila dia melakukan salah satunya secara munfarid. Adapun makmum maka dia tidak membaca sesuatu pun darinya dengan keras dengan kesepakatan para ulama. Bacaan shalat gerhana rembulan sunnahnya adalah dikeraskan (jahr) dan bacaan shalat gerhana matahari sunnahnya adalah dipelankan (sirr). (Justru dikeraskan berdasarkan riwayat al-Bukhari dari Aisyah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dengan keras pada shalat gerhana matahari. Hal ini juga diriwayatkan secara shahih dari Ali dan sahabat lainnya. Ini adalah pendapat Ahmad dan dua murid Abu Hanifah (Abu Yusuf dan Muhammad Asy-Syaiba).) Dalam shalat Istisqa’ bacaannya dikeraskan (jahr). Dalam shalat jenazah bacaannya dipelankan (sirr) jika dilakukan di siang hari. Begitu pula jika dilaksanakan di malam hari menurut pendapat yang shahih dan terpilih. Bacaan shalat nafilah siang hari tidak dikeraskan selain shalat Id dan Istisqa’ yang telah kami sebutkan.(Itu kalau kita menerima bahwa ia adalah nafilah karena perlu diketahui bahwa beberapa ulama berpendapat bahwa shalat Id adalah wajib)

Sahabat-sahabat kami berbeda pendapat tentang shalat sunnah malam hari, ada yang berpendapat bacaannya tidak dikeraskan. Ada yang berpendapat dikeraskan, dan pendapat ketiga dan ia lebih shahih, sebagaimana dipastikan oleh Qadhi Husain dan al-Baghawi , dia membaca antara keras dan pelan.

Apabila shalat malam terlewatkan lalu dia mengqadhanya di siang hari, atau sebaliknya shalat siang yang diqadha di malam hari; apakah dibaca keras (jahr) atau pelan (sirr) berdasarkan waktu ia terlewatkan atau waktu qadha? Terdapat dua pendapat di kalangan sahabat-sahabat kami, yang lebih jelas adalah berdasarkan waktu qadha. Ada yang ber-pendapat membacanya dengan pelan secara mutlak. (Dua pendapat ini tidak berdasarkan dalil sedikit pun. Telah saya jelaskan bahwa barangsiapa sengaja meninggalkan shalat fardhu sehingga waktunya terlewatkan, maka shalat tersebut telah lenyap dari dirinya untuk selamanya dan dia tidak bisa mengqadhanya. Apabila suatu shalat terlewatkan karena tidur atau lupa atau sejenisnya maka waktunya adalah ketika dia bangun atau ketika dia ingat, dalam kondisi tersebut shalatnya adalah pelaksanaan pada waktunya bukan qadha, dia melaksanakannya sebagaimana apabila shalatnya adalah sirriyah, maka bacaannya dipelankan. Apabila jahriyah, maka bacaannya dikeraskan. Inilah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil shahih tentang shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam manakala terlewatkan darinya shalat Shubuh di perjalanan dan shalat Ashar pada hari perang Khandaq. Mengenai shalat nafilah (shalat sunnah), apabila shalat witir terlewatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau melakukan dua belas rakaat Dhuha, zhahirnya adalah bahwa ia adalah shalat tersendiri untuk mengganti yang terlewatkan dan bukan shalat malam itu sendiri karena jika tidak niscaya Nabi melaksanakannya secara witir dan bukan genap. Oleh karena itu hukumnya adalah memelankan bacaan atau di antaranya seperti shalat-shalat siang lainnya dan itu tidak wajib. Adapun shalat-shalat nafilah (sunnah) yang lain, maka pada dasarnya adalah memelankan bacaan dan itu tidak wajib)
Ketahuilah bahwa mengeraskan bacaan pada tempatnya dan memelankannya pada tempatnya adalah sunnah bukan wajib. Jika dia balik, yang keras dipelankan dan yang pelan dikeraskan maka shalatnya sah hanya saja dia melakukan perkara yang makruh, tidak haram dan tidak perlu sujud sahwi. Kami telah jelaskan (Lihat di hal 74 dan 81 dengan komentarku atasnya) bahwa membaca dengan pelan dan dzikir-dzikir yang disyariatkan di dalam shalat harus dibaca sampai pada tingkat di mana dirinya sendiri mendengar bacaannya. Jika tidak dan itu tanpa penghalang maka bacaan dan dzikirnya tidak sah.

Pasal: Sahabat-sahabat kami berkata: Imam disunnahkan diam sejenak dalam empat kondisi dalam shalat jahriyah. Pertama, setelah takbiratul ihram untuk membaca doa istiftah. Kedua, setelah membaca al-Fatihah, dia diam sejenak di antara akhir al-Fatihah dengan amin agar diketahui bahwa amin tidak termasuk al-Fatihah. (Yakni tidak disyariatkan menyambung وَلاَ الضَّالِّيْنَ dengan ‘amin’ akan tetapi harus berhenti pada nun وَلاَالضَّالِّيْنَ lalu dilanjut-kan amin sesudahnya) Ketiga, setelah amin diam cukup lama di mana makmum memungkinkan untuk membaca al-Fatihah. (Diam yang ketiga ini tidak terdapat padanya riwayat yang shahih dari Nabi, jadi ia tidak disunnahkan, bahkan siapa yang menyatakannya makruh, pendapatnya tidak jauh dari kebenaran. Barangsiapa yang ingin membaca al-Fatihah hendaknya dia mengikuti imam, tidak menundanya sampai imam selesai darinya. Wallahu a’lam)Keempat, setelah membaca surat, dia diam untuk memisahkan bacaan dengan takbir ruku’.(yang di dalam kurung adalah komentar/ta’liq dari Syaikh Amir bin Ali Yasin ) (bersambung….Insya Allah

(Ensiklopedia Dziikir Dan Do’a, Imam Nawawi,Pustaka Sahifa, oleh :Abu Yusuf sujono)