Sunnatullah menetapkan bahwa kehidupan itu berpasangan, hal ini berlaku general, betina dengan jantan, wanita dengan laki-laki dan Hawa dengan Adam. Pada alam selain manusia, penyatuan dua pasangan ini berjalan alamiah, natural tanpa ikatan syarat tertentu, hal ini berbeda dengan alam manusia yang untuk menyatukan pasangan, wanita dengan pria dibutuhkan sebuah ikatan mulia lagi agung, yaitu pernikahan.

Pertanyaan selanjtunya, lalu bagaimana bila seseorang tidak menemukan pasangannya? Atau memang tidak berhasrat untuk hidup berpasangan? Ada yang bilang, “Kasihan dia.” Namun ada juga yang menjawab, “Santai saja.” Apa pun jawabannya, kita tidak pungkiri bahwa gaya hidup melajang ini oleh sebagian orang sengaja dipilih sebagai jalan yang akan dia lakoni. Sah saja kalau memang bisa menikmatinya, plus yang tidak kalah pentingnya, mampu menahan godaan sehingga tidak terjerumus ke dalam lubang haram, sekalipun paling tidak hal itu menyelisihi yang lebih utama.

Dalam tataran kasuistik, melajang tidak perlu dirisaukan, karena namanya saja kasus, bilangannya tidak berbanding dengan sebaliknya, akan tetapi saat gaya hidup ini meningkat menjadi sebuah fenomena, bahkan dianggap sebagai jalan yang benar dengan seribu macam alasan, maka hal ini yang patut diperhatikan. Ada apa? Apakah manusia tidak lagi membutuhkan pasangan hidup yang legal dari sisi Agama? Apa mungkin sisi kebutuhan ini sudah tercover dengan pasangan hidup ala cinta satu malam? Yang kedua inilah yang kita khawatirkan, karena hal itu sama saja dengan menyuburkan hubungan haram yang menelorkan banyak malapetaka kehidupan.

Dari satu sisi, kehidupan melajang adalah hak pribadi seseorang, karena menikah sendiri adalah sunnah bagi pihak yang mampu namun tidak khawatir berzina, tetapi di sisi lain, seseorang tidak sebatas hanya sebagai pribadi, karena ia ada dan hidup bersama pribadi lain di sebuah komunitas masyarakat, ma fi musykilah tidak masalah bila gaya hidup melajang ini masih tetap dalam tataran pribadi sebagi sebuah hak pilihan pribadi tanpa diiklankan dan diupayakan untuk mempengaruhi orang lain, lain perkara bila gaya hidup ini kemudian diekspos, digembar-gemborkan, dikampanyekan sehingga ia mulai memiliki banyak simpatisan dan pengikut, bisa-bisa nanti akan lahir masyarakat bujangan. Waduh, repot deh.

Yang kedua inilah yang perlu disikapi dengan hati-hati, namanya juga kampanye dan iklan, pasti dikemas semenarik mungkin dengan logika yang sekilas logis. “Gak usah memelihara kambing kalau hanya ingin makan sate, yang jual banyak, bahkan lebih variatif.” Begitu sebagian pemuja gaya hidup ini berkilah.

Hidup lepas tanpa aturan suami istri yang dianggap mengekang, barang kali sisi ‘enaknya’ melajang, tetapi bukankah enak atau tak enak itu kembali kepada bagaimana kita ngejalaninya? So, tidak selamanya alasan tersebut benar, dalam arti lepas dari ikatan suami istri tidak otomatis nikmat, kalau memang nikmat, maka ia nikmat di sebagian kecil sisi hidup, sisanya adalah sebaliknya.

Bila direnungkan, hanya kata ‘bebas’ yang menjadi magnet kuat yang menyedot sebagian kalangan untuk memilih melajang, ingin menikmati kesendirian lebih lama demi sebuah kepuasan pribadi, namun resikonya ada sisi lain yang juga berdampak terhadap dirinya dalam bentuk keharusan memendam ketertarikan kepada lawan jenis atau mengalihkan rasa ini ke arah yang syar’i. Rasanya kebebasan yang merupakan ‘nilai plus’ dalam membujang tidak berbanding dengan beratnya memendam ketertarikan tersebut yang bila jebol maka ia akan tertumpah ke lorong setan.

Bukan persoalan kalau melajang dengan alasan karena belum mampu, tetapi bila kemampuan tersebut sudah di tangan, bukankah ini menutup peluang dan harapan orang lain untuk menjadi pendamping hidupnya? Maka kepada siapa yang telah mampu dan lebih tertarik kepada godaan melajang, maka tidak ada salahnya merenungkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu menikah maka hendaknya dia menikah, karena ia lebih menahan pandangan dan lebih memelihara kehormatan.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi.

Melajang, apa pun alasannya, adalah ketidakmampuan, orang yang memilih gaya hidup ini hanya bisa bertahan, defensif, sebaliknya menikah adalah kemampuan, jalan baik ini mampu melakukan dan mencetak banyak hal mulia di muka bumi ini: kebahagiaan, ketenteraman, kasih sayang, hubungan yang syar’i, anak-anak peramai bumi dan penerus keturunan. Lalu apa yang dilakukan oleh melajang? Hanya satu kebebasan, keenakan yang tak enak. Wallahu a’alm.