Keseimbangan selalu diperlukan dalam segala urusan, termasuk kehidupan, tanpa kecuali kehidupan sosial kecil dalam skala suami istri, keseimbangan antara keterbukaan dan kejujuran di satu pihak dengan penjagaan terhadap rahasia. Alasannya sederhana, segala hal pasti harus berbatas di nama ia tidak patut untuk dilanggar.

Rasanya saya dengan Anda tidak perlu berdebat bahwa keterbukaan dan keterusterangan dalam rumah tangga merupakan salah satu indikator yang mengisyaratkan bahwa rumah tangga tersebut sehat. Biasanya yang ditutup-tutupi dan disembunyikan itu adalah sesuatu yang kurang atau tidak pantas untuk dibuka, ini artinya bila dalam menjalin hubungan suami istri ada ketertutupan, berarti ada ‘bangkai’ yang diharapkan tidak terendus oleh pasangannya, karena bila terendus, urusannya bisa berabeh, kacau bin berantakan.

Namun berapa kadar atau sampai batas mana keterbukaan ini? Di sini mungkin saya dan Anda bisa jadi tidak sekata, bisa jadi saya ke selatan dan Anda ke utara. Eh, kalau Anda ke utara, kira-kira mau ke mana ya? Mungkin Anda melihat bahwa keterbukaan antara suami istri kudu bersifat mutlak, dalam arti benar-benar terbuka. Lha mereka berdua bisa saling berbuka pakaian, lalu mengapa masih ada yang ditutup-tutupi? Itu barangkali dalil Anda. Sah-sah saja dan memang ada sisi benarnya juga.

Tidak disangkal bahwa kebohongan dan ketidakjujuran memberi peran sangat besar dalam menumbuhkan sikap tidak percaya di antara suami istri. Seorang suami –misalnya- yang terbukti membohongi istri, membuka peluang besar di dada istri untuk tidak mempercayainya, akibatnya lahir sikap saling curiga dan buruk sangka, sekalipun saat itu pasangan tidak perlu dicurigai dan disangka burung, tetapi bagaimana lagi? Lha wong sudah terbukti berbohong.

Di sisi sebaliknya, kejujuran dan keterbukaan menumbuhkan sikap saling percaya yang menjadi bata penting dalam sebuah bangunan rumah tangga, pelumas utama dalam melicinkan hubungan di antara keduanya. Namun keterbukaan dan kejujuran ini tidak berarti bahwa suami bertanya kepada istri tentang masa lalunya, atau sebaliknya istri mengorek-ngorek masa lalu suami. Lahir pertanyaan seperti ini, “Sebelum menjadi suami atau istriku, kamu berhubungan dengan siapa?” Atau begini, “Siapa yang telah melamarmu atau siapa yang telah kamu lamar sebelumku?” Dan sejenisnya.

Walaupun dengan dalih keterbukaan dan keterusterangan, tetap saja pertanyaan-pertanyaan macam di atas tidak bisa diberlakukan general, saya tahu ada sebagian pasangan suami istri tidak mempersoalkannya, bahkan bercerita dengan bangganya sebangga pahlawan 45 saat bercerita semangat heroiknya kepada anak atau cucunya, bahkan ada di antara mereka yang sengaja membuka tanpa malu-malu. Oke, karena standar rumah tanggah antara yang satu dengan yang lain bisa jadi berbeda.

Bila hal itu tidak memicu persoalan bagi sebagian pasangan suami istri, dan sudah pasti akan memicu bagi sebagian yang lain, dan itu sah-sah saja, namun tiada guna dan manfaat yang bisa dipetik di balik semua pertanyaan-pertanyaan macam tuh. Apa coba? Untuk menunjukkan bahwa Anda, sebelum menjadi istri saat ini, adalah wanita dengan nilai peminat yang tinggi? Buktinya banyak yang melamar. Atau Anda ingin membuktikan bahwa Anda, sebelum menjadi suami saat ini, adalah laki-laki yang banyak digandrungi wanita? Tidak perlu, benar-benar bagi saya, basi. Kalau pun ada masa lalu yang dibuka, maka hendaknya ia masalah lalu yang syar’i, berbudi dan mulia. Bukan masa lalu kacangan semacam itu.

Saya berpendapat, sebelum ikatan pernikahan terikat antara bani Adam dan binti Hawa, kedua belah pihak berhak bertanya dan mencari tahu hal ihwal pasangannya, berbeda saat kedua belah pihak rela untuk berikat dalam jaring pengaman sosial yang bernama pernikahan, kedua belah pihak bertanggung jawab menjaga satu sama lain, sehingga kurang patut bila salah satu mempersoalkan masa lalu pasangannya atau mengungkit-ungkit apa yang telah berlalu, karena dalam kondisi ini, dalam kondisi ketika dia sudah menerima, pertanyaannya, kok baru sekarang? Selama ini ke mana saja? Aroma tendensi tersembunyi sangat menyengat menusuk hidung.

Keterbukaan tetap ada batasnya, keterusterangan bukan bersifat mutlak, karena dunia ini tidak ada –sebatas yang saya tahu- sesuatu yang mutlak, semuanya nisbi alias relatif. Wallahu a’lam.