Telah jelas dalil-dalil yang shahih dari Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bertakbir untuk ruku’, dan itu adalah sunnah. Seandainya dia meninggalkannya maka hal itu adalah makruh, tidak haram, shalatnya tidak batal dan tidak perlu sujud sahwi, begitu pula seluruh takbir yang ada di dalam shalat. Inilah hukumnya, kecuali takbiratul ihram, karena ia adalah rukun di mana shalat tidak sah tanpanya. Kami telah menjelaskan hitungan takbir shalat di awal bab masuk ke dalam shalat (di hal 144 – 146). Terdapat riwayat dari Imam Ahmad bahwa semua takbir itu adalah wajib (Dan inilah yang benar yang didukung oleh dalil. Lihat komentarku di hal 146).

Apakah takbir ini sunnah dipanjangkan? Terdapat dua pendapat dari asy-Syafi’i, yang lebih shahih, dan ini pendapatnya yang baru, adalah dianjurkan memanjangkannya sampai pada batas orang-orang ruku’, lalu dia mulai dengan tasbih ruku’ agar tidak ada bagian dari shalatnya yang kosong dari dzikir. Lain halnya dengan takbiratul ihram, di mana yang dianjurkan padanya adalah tidak memanjangkannya karena seseorang perlu untuk membentangkan niat padanya (Membentangkan niat (menampilkan secara rinci dalam hati) adalah sesuatu yang asing lagi aneh di samping ia hanya sekedar dibuat-buat, tidak berdasar kepada Sunnah, perbuatan sahabat dan tabi’in, ia juga tidak diterima oleh akal dan fitrah. Seorang laki-laki mendengar adzan, dia berwudhu lalu menghadap kiblat, mengangkat kedua tangannya dan bertakbir; kemudian dikatakan kepadanya, “Takbirmu tidak sah karena kamu tidak membentangkan niat ketika takbiratul ihram.” Duhai ada apa gerangan? Apa yang diniatkan oleh orang ini? Apakah puasa ataukah makanan atau-kah mungkin dia ingin berbicara via telepon sedangkan kita tidak mengetahui? Kamu lihat salah seorang dari mereka melakukan takbiratul ihram berulang-ulang sampai imam ruku’, lalu dia cepat-cepat bertakbir untuk menyusul imam, dia menyelesaikan shalatnya sementara dia sendiri tidak mengetahui apakah shalatnya sah atau tidak?) Apabila dia memanjangkannya, maka akan sulit baginya. Jika dia memendekkannya maka akan mudah baginya. Hukum yang sama juga berlaku bagi takbir-takbir yang lain. Penjelasannya telah berlalu di bab takbiratul ihram (Di hal 144. Lihat komentarku atasnya di sana). Wallahu a’lam.
Pasal :
Apabila dia sampai pada batas orang-orang yang ruku’, maka dia menyi-bukkan diri dengan dzikir ruku’. Dia mengucapkan :

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ. سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ. سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ.

“Mahasuci Tuhanku yang Mahaagung. Mahasuci Tuhanku yang Mahaagung. Mahasuci Tuhanku yang Mahaagung.” Telah diriwayatkan secara shahih dalam Shahih Muslim (Takhrijnya telah berlalu pada no. 138) dari hadits Hudzaifah Radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan pada ruku’nya yang panjang yang hampir menyamai bacaan al-Baqarah, an-Nisa` dan Ali Imran,

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ.

“Mahasuci Tuhanku yang Mahaagung.”

Maksudnya adalah, beliau dalam sujudnya tersebut mengulang-ulang, سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ sebagaimana hal itu dijelaskan dalam Sunan Abu Dawud dan lainnya.
Diriwayatkan dalam kitab-kitab Sunan bahwa Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِذَا قَالَ أَحَدُكُمْ: سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ؛ ثَلاَثًا؛ فَقَدْ تَمَّ رُكُوْعُهُ.

“Apabila salah seorang dari kalian mengucapkan, ‘Mahasuci Rabbku yang agung.’ Tiga kali, maka ruku’nya telah sempurna.” (Dhaif: Diriwayatkan oleh asy-Syafi’i dalam al-Um 1/111; Ibnu Abi Syaibah no. 2575; Ibnu Majah, Kitab Iqamat ash-Shalah, Bab at-Tasbih Fi ar-Ruku’ Wa as-Sujud, 1/287, no. 890; Abu Dawud, Kitab ash-Shalah, Bab Miqdar ar-Ruku’, 1/296, no. 885; at-Tirmidzi, Kitab ash-Shalah, Bab at-Tasbih Fi ar-Ruku’ Wa as-Sujud, 2/46, no. 261; at-Thahawi 1/232; ath-Thabrani dalam ad-Dua’ no. 541; ad-Daruquthni 1/343; al-Baihaqi 2/86; al-Baghawi no. 621: dari beberapa jalan, dari Ibnu Abi Dzi’ib, dari Ishaq bin Yazid al-Hudzali, dari Aun bin Abdullah bin Utbah, dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi dengan hadits tersebut.

Ini adalah sanad dhaif, padanya terdapat tiga Illat: Pertama, Terputusnya sanad antara Aun dengan Ibnu Mas’ud, karena Aun tidak bertemu dengannya. Kedua, Ishaq adalah rawi majhul tidak diketahui kecuali melalui hadits dhaif ini. Ketiga, orang ini goncang dalam meriwayatkan hadits ini, suatu waktu ia meriwayatkannya dari Aun dan di lain waktu dari Uwaimir dari Aun. Dan ia sepertinya tidak mengandung hadits ini darinya. Benar al-Baihaqi menyebutkan syahid untuknya dari hadits Ja’far bin Muhammad dari bapaknya dari Nabi, hanya saja ia mu’dhal dan pada sanadnya terdapat rawi yang tidak diketahui. Hadits ini dinyatakan memiliki Illat oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Baihaqi, al-Baghawi, al-Mundziri, al-Asqalani, Ahmad Syakir dan al-Albani. Benar, tasbih tiga kali adalah shahih tetapi dari perbuatan Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam).

Diriwayatkan secara shahih dalam ash-Shahihain dari Aisyah Radhiallahu ‘anha

أَنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقُوْلُ فِي رُكُوْعِهِ وَسُجُوْدِهِ: سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ

“Bahwa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan pada ruku’ dan sujudnya, ‘Mahasuci Engkau ya Allah Tuhan kami dan dengan memujiMu, ya Allah ampunilah aku’. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Adzan, Bab ad-Du’a Inda ar-Ruku’, 2/281, 794; dan Muslim: Kitab ash-Shalah, Bab Ma Yuqalu Fi ar-Ruku’ Wa as-Sujud, 1/350, no. 484).
Diriwayatkan secara shahih dalam Shahih Muslim (Kitab al-Musafirin, Bab ad-Du’a` Fi Shalati al- Lail , 1/535, no. 771.) dari Ali Radhiallahu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا رَكَعَ، يَقُوْلُ: اَللّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، خَشَعَ لَكَ سَمْعِيْ وَبَصَرِيْ وَمُخِّيْ وَعَظْمِيْ وَعَصَبِيْ.

“Bahwa apabila Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam ruku’ beliau mengucapkan, ‘Ya Allah untukMu aku ruku’, kepada-Mu aku beriman, kepadaMu aku berserah diri. Pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku, dan syarafku telah tunduk dengan khusyu’ kepadaMu’.”
Diriwayatkan dalam kitab-kitab Sunan,

خَشَعَ سَمْعِيْ وَبَصَرِيْ وَمُخِّيْ وَعَظْمِيْ وَمَا اسْتَقَلَّتْ بِهِ قَدَمِيْ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

“Pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku dan apa yang berdiri di atas (kedua) kakiku merunduk dengan khusyu’ kepada Allah Rabb semesta alam.” (Shahih: Diriwayatkan oleh asy-Syafi’i 1/111; Ahmad 1/119; Ibnu Khuzaimah no. 607; at-Thahawi 1/233; Ibnu Hibban no. 1901; ath-Thabrani dalam ad-Dua’ no. 528; al-Baihaqi 2/32-87: dari beberapa jalan, dari Musa bin Uqbah, dari Abdullah bin al-Fadhl, dari al-A’raj, dari Ubaidullah bin Abu Rafi, dari Ali dengan hadits tersebut.
Rawi-rawi ini adalah Tsiqah rawi-rawi asy-Syaikhain, jadi tambahan ini adalah sangat shahih, ia dikuatkan oleh al-Asqalani dan lainnya, hanya saja ia tidak terdapat dalam kitab-kitab Sunan seperti yang dinyatakan oleh an-Nawawi).
Diriwayatkan secara shahih dalam Shahih Muslim (Kitab ash-Shalah, Bab Ma Yuqalu Fi ar-Ruku’ Wa as-Sujud, 1/353, 487) dari Aisyah Radhiallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقُوْلُ فِي رُكُوْعِهِ وَسُجُوْدِهِ: سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ.

“Bahwa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan pada ruku’ dan sujudnya, ‘Engkau ya Allah Rabb Yang Mahasuci dari sekutu dan Mahasuci dari kekurangan, Rabb para malaikat dan Jibril’.” (Makna hadits ini adalah, Aku ruku’ dan sujud kepada Allah, Rabb para malaikat dan Jibril, yang tersucikan dari segala cacat dan aib, yang tersucikan dengan sifat-sifat sempurna dan mulia) Ulama bahasa berkata, “سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ”, dengan huruf pertama dibaca dhammah dan boleh juga fathah, dua cara baca yang shahih, dan yang paling baik, paling masyhur dan paling banyak adalah dengan dhammah.
Kami meriwayatkan dari Auf bin Malik Radhiallahu ‘anhu, dia berkata :

قُمْتُ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم لَيْلَةً فَقَامَ، فَقَرَأَ سُوْرَةَ الْبَقَرَةِ، لاَ يَمُرُّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ؛ إِلاَّ وَقَفَ وَسَأَلَ، وَلاَ يَمُرُّ بِآيَةِ عَذَابٍ؛ إِلاَّ وَقَفَ وَتَعَوَّذَ. قَالَ ثُمَّ رَكَعَ بِقَدْرِ قِيَامِهِ، يَقُوْلُ فِي رُكُوْعِهِ: سُبْحَانَ ذِي الْجَبَرُوْتِ وَالْمَلَكُوْتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ. ثُمَّ قَالَ: فِي سُجُوْدِهِ مِثْلَ ذلك.

“Aku berdiri bersama Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam, beliau shalat lalu beliau membaca surat al-Baqarah, beliau tidak membaca ayat rahmat kecuali beliau berhenti dan memohon, dan beliau tidak membaca ayat azab kecuali beliau berhenti dan memohon perlindungan.” Auf berkata, “Kemudian beliau ruku’ selama berdirinya, beliau mengucapkan pada ruku’nya, ‘Mahasuci Allah, Dzat yang memiliki keperkasaan, kerajaan, kebesaran dan keagungan.’ (Al-Jabarut: Bentuk mubalaghah dari al-Jabar (keperkasaan yang menambahkan dan sekaligus memaksa) dan al-Jabbar adalah Allah, yang menambahkan bagi hamba-hambaNya yang shalih, memberi nikmat kepada mereka dan melimpah-kan karuniaNya dan pada waktu yang sama dia memaksa dan menundukkan para pelaku dosa, menghukum mereka dan memberlakukan hukum-hukumNya kepada mereka meskipun mereka tidak menyukainya). Kemudian Nabi mengucapkan ucapan yang sama pada sujudnya.” (Hasan Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad 6/24; Abu Dawud, Kitab ash-Shalah, Bab Ma Yaqulu Fi Ruku’ihi Wa sujudihi, 1/293, no. 873; at-Tirmidzi di dalam asy-Syama`il no. 296; an-Nasa`i, Kitab at-Tathbiq, Bab Nau’un Akhar Min adz-Dzikr Fi ar-Ruku’, 2/191. no. 1048 dan 1131; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 18/61, no. 113 dan ad-Dua’ no. 544; al-Baghawi no. 912: dari jalan Muawiyah bin Shalih, dari Amru bin Qais al-Kindi, aku mendengar Ashim bin Humaid, aku mendengar Auf bin Malik dengan hadits tersebut.

Ini adalah sanad yang kuat, rawi-rawinya adalah tsiqah, pada sebagian dari mereka terdapat ucapan yang sedikit sekali. Ucapan an-Nawawi, “Dengan sanad-sanad yang shahih.” Al-Asqalani mengkritiknya dengan ucapan yang menunjukkan bahwa sanadnya adalah satu dan bahwa derajatnya paling tinggi adalah hasan. Aku berkata, “Justru lebih dari itu.” Yang pasti ia mempunyai syahid kuat dari hadits Aisyah di Abdur Razzaq no. 2881, kalaupun hadits ini bukan shahih lidzatihi akan tetapi ia tetap shahih dengan syahidnya, ia dishahihkan oleh an-Nawawi dan al-Albani).

Ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa`i dalam Sunan keduanya dan at-Tirmidzi dalam kitab asy-Syama`il dengan sanad-sanad shahih.

Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim (Kitab ash-Shalah, Bab an-Nahy Min Qira`at al-Qur`an, 1/348, 479) dari Ibnu Abbas p, dia berkata, “Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

فَأَمَّا الرُّكُوْعُ؛ فَعَظِّمُوْا فِيْهِ الرَّبَّ.

‘Adapun ruku’, maka agungkanlah ar-Rabb padanya’.”

Ketahuilah bahwa hadits terakhir ini adalah tujuan dari pasal ini, yaitu mengagungkan Allah pada waktu ruku’ dengan lafazh apa pun (Yakni dengan lafazh-lafazh yang terdapat dalam as-Sunnah karena jika tidak, maka tidak sepatutnya berpaling dari yang disunnahkan dan menggantikan dengan lafazh kreasinya sendiri. Karena Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda: “Maka agung-kanlah ar-Rabb padanya,” tidak membiarkan kita begitu saja, akan tetapi dia mengajarkan kepada kita bagaimana kita mengagungkannya. Perhatikanlah). Akan tetapi yang afdhal adalah menggabungkan dzikir-dzikir ini semuanya apabila memungkinkan, di mana hal itu tidak memberatkan orang lain, (Ini termasuk perbedaan keanekaragaman, aku telah menjelaskan hukum-hukumnya pada mukadimah pada hal 74-76), dan mendahulukan tasbih dari dzikir-dzikir tersebut. Apabila dia ingin meringankan, maka dianjurkan bertasbih, dan kesempurnaan minimal adalah dengan tiga kali tasbih. Seandainya dia hanya mengucapkan satu kali saja, maka dia telah bertasbih. Apabila dia membatasi diri pada sebagian darinya, maka dianjurkan untuk melakukan sebagian darinya di satu waktu dan sebagian yang lain di waktu yang lain. Begitulah yang dia lakukan di waktu-waktu yang ada sehingga dia mengamalkan selu-ruhnya, hal yang sama hendaknya dilakukan pada dzikir-dzikir seluruh bab. Ini benar, (padanya seluruh kebaikan dan kebahagiaan dan ini adalah pendapat Ahmad).

Ketahuilah bahwa dzikir pada ruku’ adalah sunnah menurut kami dan jumhur ulama. Seandainya dia meninggalkannya dengan sengaja atau karena lupa, maka shalat-nya tidak batal dan tidak berdosa serta tidak perlu sujud sahwi. Imam Ahmad bin Hanbal dan beberapa ulama berpendapat bahwa ia adalah wajib. (Inilah yang benar karena ia adalah konsekuensi dari perintah Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam pada sabdanya, “Maka agungkanlah ar-Rabb padanya,” dan karena Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam selalu melakukannya begitu pula para sahabat sesudahnya). Sepatutnya orang yang shalat menjaganya karena hadits-hadits yang shahih lagi jelas memerintahkan seperti hadits Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma (tadi), “Adapun ruku’, maka agungkanlah ar-Rabb padanya,” dan hadits-hadits lain; agar terbebas dari perbedaan pendapat (khilaf) para ulama.

Wallahu ‘alam

Sumber: Ensiklopedia Dziikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta.
Disadur oleh Muhammad Bismi Akbar.