Shalat ghaib adalah shalat jenazah yang dilakukan untuk mayit yang tidak hadir di mana antara mayit dengan orang-orang yang menshalatkannya terdapat jarak yang membuat kedua pihak tidak berada di satu tempat.

Masalah ini ditulis oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad, di mana intinya, bukan termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menshalatkan semua mayit yang ghaib, di zaman beliau tidak sedikit kaum muslimin yang meninggal sementara beliau tidak menghadiri mereka semuanya dan beliau tidak menshalatkan mereka dengan shalat ghaib, namun diriwayatkan secara shahih dari beliau bahwa beliau menshalatkan an-Najasyi saat dia mati.

Dari sini maka para fuqaha` berbeda pendapat menjadi dua kubu:

Pertama, apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada an-Najasyi merupakan syariat dan sunnah umum yang menetapkan shalat ghaib. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan Ahmad.

Kedua, apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada an-Najasyi hanya khusus untuknya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik.

Dalil kedua pendapat ini sama, yaitu shalat ghaib yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan untuk an-Najasyi, namun dengan pemahaman yang berbeda. Pendapat yang mengatakan bahwa pada dasarnya apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sunnah umum, tidak keluar dari dasar ini kecuali dengan dalil dan tidak ada dalil dalam hal ini. Pendapat kedua berkata, bila apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan syariat umum, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya melakukannya untuk an-Najasyi saja, sedangkan kaum muslimin yang wafat di zaman beliau berjumlah tidak sedikit.

Lalu Ibnul Qayyim menyebutkan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang benar adalah bahwa bila mayit di suatu daerah belum dishalatkan maka dengan dishalatkan ghaib, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada an-Najasyi, karena dia mati di antara orang-orang kafir dan tidak ada yang menshalatkannya, namun bila mayit telah dishalatkan di tempat dia mati, maka tidak dilaksanakan shalat ghaib, karena kewajiban telah gugur dengan dilaksanakannya shalat tersebut oleh kaum muslimin.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri melakukan shalat ghaib dan meninggalkannya, maka melaksanakannya adalah sunnah dan meninggalkannya adalah sunnah, yang pertama di satu keadaan dan yang kedua di keadaan yang lain. Wallahu a’lam.