Apabila terjadi perpisahan (perceraian) di antara pasangan suami-istri karena suatu sebab, maka sang istri wajib tinggal berdiam diri dalam waktu masa tertentu di mana ia tidak boleh menikah sebelum masa itu habis. Masalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

  • Perempuan hamil, apakah ia dicerai atau suaminya meninggal dunia. Maka masa ‘iddah (menunggu berdiam diri) berakhir dengan kelahiran bayi yang dikandungnya. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,

    وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

    “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Ath-Thalaq: 4).

    Dalam Hadits riwayat Malik, Imam Syafi’i, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Mundzir yang bersumber dari Umar (bin Khattab), bahwasanya ia pernah ditanya tentang perempuan yang suaminya meninggal sedangkan ia dalam keadaan hamil. Maka beliau menjawab, “Apabila ia telah melahirkan bayi yang dikandungnya maka ia telah menjadi halal.”

    Lalu ada seseorang dari kaum Anshar yang memberitahukan kepadanya bahwasanya Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu juga pernah berkata, “Kalau sekiranya perempuan itu melahirkan, sedangkan suaminya masih di atas pembaringannya, belum dikebumikan, maka perempuan itu sudah menjadi halal.”

    Hadits lain yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya ia berkata: “Barangsiapa yang hendak lebih jelas lagi maka sesungguhnya ayat yang ada di dalam Surah at-Thalaq: (“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Q.S.65:4)) diturunkan beberapa bulan saja sesudah Surat al-Baqarah.”

  • Perempuan yang meninggal suaminya, sedangkan ia tidak dalam kekadaan hamil, apakah meninggalnya itu sebelum terjadi hubungan senggama atau sudah terjadi, maka ‘iddah-nya ialah empat bulan sepuluh hari. Selama iddah ini ia tinggal di rumah tidak boleh keluar kecuali ada uzur yang dibenarkan agama, dan selama ini pula ia tidak boleh memakai wangi-wangian dan berhias atau perbuatan lainnya yang serupa, karena Allah Subhaanahu Wata’ala telah berfirman,

    وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

    “Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari’.” (Al-Baqarah: 234).

  • Perempuan yang masih dapat hamil dan bisa melahirkan, maksudnya bukan perempuan yang sudah mencapai usia monopause disebabkan sudah tidak haid lagi, juga bukan karena usianya masih kecil dan belum mencapai usia haid, apabila ia dicerai oleh suaminya maka ‘iddahnya ialah tiga quru’, artinya ia menunggu sampai tiga kali haid sesudah masa penceraian untuk memastikan bahwa ia benar-benar tidak hamil. Allah berfirman,

    وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

    “Dan perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (Al-Baqarah: 228).

  • Perempuan yang sudah mencapai usia monopause dengan berakhirnya masa haid karena sudah lanjut usia, seperti sudah berusia 50 tahuan atau lebih, atau perempuan yang usianya belum mencapai usia haid, maka ‘iddahnya apabila ditalak oleh suaminya adalah tiga bulan. Karena Allah Subhaanahu Wata’ala telah berfirman,

    وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ

    “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya) maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu pula perempuan-perempuan yang belum haid.” (Ath-Thalaq: 4).

  • Perempuan yang suaminya menghilang dan tidak diketahui keberadaannya, maka ia menunggu sampai empat tahun lamanya. Jika diperkirakan sang suami sudah mati, maka perempuan itu boleh menikah. Tetapi kalau suaminya diperkirakan masih hidup, maka ia tidak boleh menikah dengan lelaki lain, kecuali kalau sudah mencapai sembilan tahun lamanya dari kehilangannya.