Oleh: Drs. Hartono Ahmad Jaiz
(Editor: Abdurrahman Nuryaman)

KHUTBAH PERTAMA :

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ الله كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ الله وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ. اللهم صَل عَلَى مُحَمدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلمْ.

Bid’ah menurut bahasa berasal dari akar kata بَدَعَ, yang memiliki makna dasar: Apa yang diadakan (dibuat) tanpa ada contoh yang mendahului.

Pecahan kata ini disebutkan dalam al-Qur`an. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرضِ

“Allah Pencipta langit dan bumi” (Al-Baqarah: 117).

Kata بَدِيعُ artinya: Yang menciptakan tanpa ada contoh sebelumnya. Maka maksud ayat di atas adalah, Allah menciptakan langit dan bumi tanpa didahului suatu contoh apa pun.

Bid’ah menurut Syariat, sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah adalah, “Apa yang menyelisihi atau menyimpang dari al-Kitab, atau as-Sunnah, atau ijma’ as-Salaf ash-Shalih, baik dalam masalah akidah maupun ibadah.” (Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 18/346).

Imam asy-Syatibi dalam kitab al-I’tisham menjelaskan, “Bid’ah adalah, sebuah istilah mengenai cara (ajaran) dalam Agama, yang dibuat-buat, yang menyerupai Syariat, yang dimaksudkan untuk dijalankan demi mempermantap (mendapat pahala lebih) dalam beribadah kepada Allah.”

Ibtida’ (mengada-adakan sesuatu tanpa ada contoh yang mendahului) itu ada dua macam:

Pertama: Ibtida’ dalam adat dan kebiasaan yang bersifat duniawi, seperti penemuan-penemuan penciptaan yang baru, yang merupakan kebutuhan hidup manusia. Semua itu pada dasarnya adalah boleh, sebab adat, hukum dasarnya adalah diperbolehkan, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Hal itu karena urusan duniawi adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam :

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ.

“Kalian lebih tahu dengan urusan dunia kalian.” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 2363).

Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam tidak diutus untuk mengajarkan manusia bagaimana cara bertani, beliau bukan diutus untuk mengajarkan bagaimana membuat pesawat; akan tetapi beliau diutus untuk menyeru umat manusia agar beribadah hanya kepada Allah.

Intinya, bid’ah (penemuan baru) dalam kaitan duniawi hukum dasarnya adalah boleh, dan sebaliknya, bid’ah dalam Agama hukumnya adalah haram.

Kedua: Ibtida’ dalam masalah Agama; ini hukumnya diharamkan. Sebab pada dasarnya, Agama itu adalah wahyu, yakni, harus ditetapkan dengan dalil. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هذا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa membuat-buat ajaran baru dalam Agama kami ini, apa yang bukan darinya, maka itu adalah tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dan pada riwayat lain :

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak didasari oleh Agama kami, maka amal tersebut tertolak”. (HR Muslim).

Intinya, bid’ah (penemuan baru) dalam kaitan duniawi hukum dasarnya adalah boleh, dan sebaliknya, bid’ah dalam Agama hukumnya adalah haram. Allah tidak boleh diibadahi kecuali dengan ibadah yang disyariatkan, bahkan ibadah yang disyariatkan sekalipun apabila dilakukan dengan tatacara yang tidak disyariatkan juga tidak boleh.

Jama’ah Jum’at yang Dirahmati Allah

Bid’ah dalam Agama ada dua macam:

Pertama: Bid’ah Qauliyah I’tiqadiyah, yaitu, bid’ah dalam bentuk ucapan yang bersifat keyakinan, seperti: Perkataan-perkataan golongan Jahmiyah, Mu’tazilah, Syi’ah dan semua kelompok-kelompok yang akidahnya sesat.

Sebagai contoh:

1Golongan Khawarij mengatakan, “Orang Muslim yang melakukan dosa besar adalah kafir, dan dia pasti kekal dalam neraka.”

2Golongan Syi’ah berkeyakinan bahwa imam-imam mereka adalah ma’shum (tidak mungkin melakukan kesalahan), berkeyakinan bahwa al-Qur`an yang ada di tangan kaum Muslimin saat ini tidak lengkap karena dalam pandangan mereka masih ada yang kurang yaitu ayat-ayat tentang hak kewalian Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu yang dikenal dengan, Mushhaf Fathimah. Dan masih banyak lagi pandangan-pandangan kufur yang mereka yakini.

3Tariqat Wihdatul Wujud berpandangan bahwa Allah menyatu dengan makhluk.

4Ada lagi golongan yang berkata, “Allah di setiap tempat.”

5Kemudian muncul perempuan pendusta yang mengaku dirinya sebagai titisan malaikat Jibril.

6Ada lagi yang berkeyakinan bahwa tidak ada surga dan neraka.

7Dan begitu banyak, hingga tak mungkin disebut satu persatu dalam khutbah yang sunnahnya dipersingkat ini.

Kedua: Bid’ah pada ibadah-ibadah seperti melakukan ibadah karena Allah yang tidak disyariatkan, atau disyariatkan tetapi dilaksanakan dengan tatacara yang tidak disyariatkan.

Bid’ah pada ibadah yang bersifat amalan, ada beberapa macam:

a. Bid’ah pada asal ibadah, yaitu membuat-buat atau mengada-adakan amalan ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syariat. Seperti mengada-adakan shalat yang memang tidak disyariatkan, atau berpuasa yang memang tidak ada tuntunannya, atau hari raya (perayaan keagamaan) yang memang tidak disyariatkan, seperti peringatan maulid, peringatan isra` mi’raj dan sebagainya.

b. Bid’ah dengan cara menambah-nambahkan atas amal ibadah yang disyariatkan. Seperti menambah raka’at jadi lima pada shalat Dhuhur atau pada shalat Ashar, umpamanya.

c. Bid’ah dengan melaksanakan ibadah yang disyariatkan tetapi dengan cara yang tidak disyariatkan. Misalnya melakukan dzikir-dzikir yang disyariatkan tetapi dengan bersama-sama dan dengan suara yang keras. Dan umpamanya memaksakan diri dalam beribadah, sampai batas keluar dari sunnah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam.

d. Bid’ah dengan mengkhususkan waktu yang tidak disyariatkan untuk melakukan ibadah yang disyariatkan. Seperti yang terjadi luas di masyarakat, yaitu, mengkhususkan pada hari pertengahan Sya’ban dan malamnya dengan qiyam dan shalat malam. Padahal shiyam dan qiyam disyariatkan tetapi mengkhususkan pada waktu-waktu tertentu seperti ini, harus berdasarkan dalil, dan di sini tidak ada dalil. (Dr. Shalih bin Sa’d as-Suhaimi, Tanbih Ulil Abshar ila Kama-liddin wama fil Bida’ Minal Akhthar, hal. 100).

Jama’ah Jum’at yang Dirahmati Allah

Imam asy-Syatibi membagi bid’ah ditinjau dari segi ada dan tidaknya dalil yang dijadikan sandaran dalam beramal, menjadi dua bagian: Pertama, bid’ah hakikiyah, dan kedua, bid’ah idhafiyyah.

Pertama, Bid’ah Hakikiyah, adalah, suatu bid’ah yang sama sekali tidak didasarkan pada dalil dari al-Qur`an dan as-Sunnah, bahkan lebih bersifat melawan atau menyelisihi ketentuan dalil yang ada. Tegasnya, dalil yang dijadikan dasar atau sandaran dalam melakukan amalan bid’ah tersebut tidak ada.

Contoh bid’ah hakikiyah di antaranya:

a. Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata :

بَيْنَمَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَخْطُبُ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ قَائِمٍ فَسَأَلَ عَنْهُ فَقَالُوْا: أَبُوْ إِسْرَائِيْلَ نَذَرَ أَنْ يَقُوْمَ وَلَا يَقْعُدَ وَلَا يَسْتَظِلَّ وَلَا يَتَكَلَّمَ وَيَصُوْمَ.

“Ketika Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam sedang berkhutbah, tiba-tiba ada seseorang berdiri, maka Rasulullah bertanya tentang perihalnya, lalu mereka menjawab, ‘Dia adalah Abu Isra`il, dia telah bernadzar untuk tetap berdiri, tidak duduk, tidak berteduh, tidak berbicara, dan berpuasa’.”

Maka Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ.

“Perintahkan kepadanya, hendaklah dia berbicara, berteduh, duduk, dan supaya menyempurnakan puasanya.”(Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6704).

b. Pemotongan kepala kerbau yang kemudian ditanam pada lubang galian tanah, sebagai tumbal.

c. Melakukan pecah telur bagi penganten yang sedang dipertemukan, karena adanya kepercayaan tertentu, sebagaimana yang ditemukan di tengah-tengah masyarakat.

d. Melakukan terobosan di bawah keranda (mayat) bagi ahli waris, sewaktu mayat sudah siap akan diberangkatkan ke pemakaman.

Di samping itu masih ada berbagai acara lain yang sama sekali tidak ada dalam Islam, bahkan termasuk kemusyrikan yang merupakan dosa yang paling besar, namun dihidup-hidupkan kembali atas nama menghidupkan budaya lokal, padahal sudah terkubur.

Kedua, Bid’ah Idhafiyyah adalah suatu bid’ah yang pada hakikatnya didasarkan pada dalil al-Qur`an atau as-Sunnah, tetapi cara melakukan amalan yang diamalkan dengan dalil yang dimaksud, tidak didapatkan di dalam ajaran Islam. Contoh bid’ah idhafiyyah adalah, seperti berjabat tangan seusai shalat berjama’ah, dzikir berjama’ah setelah shalat, dan sebagainya.

Kaum Muslimin, Jama’ah Jum’at

Hukum Bid’ah dalam Agama dengan segala bentuknya ada-lah haram.

Syaikh Shalih bin Fauzan dalam bukunya, al-Bid’ah, ta’rifuha, ahwa`uha, hal. 7 mengatakan, “Semua bid’ah dalam Agama, hukumnya haram dan sesat, karena Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.

“Hendaklah kalian menjauhi ajaran-ajaran Agama yang dibuat-buat, karena sesungguhnya tiap-tiap ajaran yang dibuat-buat itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Dan Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هذا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang membuat-buat ajaran baru dalam Agama kami ini, apa yang bukan darinya, maka itu adalah tertolak.” (al-Bukhari dan Muslim)

Dan dalam riwayat lain :

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang melaksanakan suatu amalan yang tidak didasari oleh Agama kami, maka amal tersebut tertolak.” (HR Muslim).

Hadits-hadits ini dengan sangat jelas mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat, maka itu artinya semua bid’ah itu haram.

Di antara bid’ah yang ada, ada yang bisa mengantarkan pelakunya kepada kekufuran, seperti: thawaf pada kubur untuk bertaqarrub, atau mempersembahkan sembelihan dan nadzar untuk kubur. Dan di antaranya termasuk sarana kemusyrikan (wasa`il syirik), seperti membangun bangunan di atas kubur, serta shalat dan berdoa di kuburan, kecuali tentu saja tata cara yang diajarkan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam.

Jama’ah Jum’at yang Dirahmati Allah

Sesungguhnya telah sangat jelas dari ayat, hadits dan perkataan para ulama mutaqaddimin maupun mutakhkhirin. Dan sangat jelas pula bahwa semua bid’ah, baik yang berbentuk keyakinan atau yang berbentuk ibadah amaliyah, semuanya adalah sesat yang wajib ditinggalkan oleh semua kaum Muslimin.

بَارَكَ الله لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

KHUTBAH KEDUA :

اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَـقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إله إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ،
قَالَ الله تَعَالَى: يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ:

Mudah-mudahan khutbah ini mengingatkan kita, agar selalu berusaha meninggalkan apa yang dilarang Allah, termasuk di antaranya adalah bid’ah. Ingatlah selalu bahwa amal yang sedikit tetapi sesuai dengan Sunnah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam adalah jauh lebih baik daripada banyak beramal ibadah, tetapi campuraduk dengan bid’ah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu.

Dan sebagai akhir khutbah ini mari kita camkan baik-baik hadits berikut ini, yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa`i, dan ad-Darimi, dan hadits ini adalah hasan.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu beliau berkata :

خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: هذا سَبِيْلُ اللهِ، ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: هذه سُبُلٌ مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ.

“Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam pernah membuat suatu garis (lurus di tengah) untuk kami, kemudian beliau bersabda, ‘Ini adalah Jalan Allah’, kemudian beliau membuat garis-garis di kanannya dan di kirinya, kemudian beliau bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang saling berselisih, yang pada setiap jalan tersebut ada seekor setan yang mengajak mengikuti jalan-jalan tersebut.” HR. Ahmad dan al-Bukhari.

Kemudian beliau membaca (Firman Allah) :

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَالِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan bahwasanya inilah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (Al-An’am: 153).

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اللهم بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اللهم اغْـفِـرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْـفِـرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. اللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى. اللهم إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيْعِ سَخَطِكَ. وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَصَلى الله عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

( Dikutip dari buku : Kumpulan Khutbah Jum’at Pilihan Setahun Edisi Kedua, Darul Haq, Jakarta. Diposting oleh Wandy Hazar S.Pd.I )