Ada seorang laki-laki yang bekerja sebagai tukang bangunan. Dia menikahkan putranya dan membangunkan untuknya sebuah rumah dengan tangannya bersama teman-teman tukang bangunan lainnya. Setelah berjalan beberapa tahun, sang ayah menjadi tua dan tidak kuat berjalan. Maka sang anak menempatkannya di rumahnya. Sang anak tersebut hanya memberi sisa-sisa makanan untuk ayahnya dan tidak memperhatikan kebersihan ayahnya.

Pada suatu hari, istrinya berkata kepadanya, “Silahkan kamu pilih, aku yang di rumah ini atau ayahmu?” Dia pun memilih istrinya daripada ayahnya. Saat itu juga, sang istri menyuruh suaminya untuk mengusir ayahnya, dan dia pun langsung melaksanakannya. Dia mengambil ayahnya dari kamar, dan membuntelnya dengan selimut, lalu menyeretnya keluar menuruni anak tangga. Tatkala turun, papan tangga yang membengkokkan papan tangga yang lain mengenai kepala ayahnya. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh sang ayah kecuali melihat anaknya dengan pandangan pasrah. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Yang berkata hanyalah air matanya yang bercucuran dari kedua matanya. Memang, dia sudah tidak kuat bergerak, tidak bisa berbicara, akan tetapi kemudian anaknya mengusirnya keluar rumah. Padahal kala itu musim panas, panasnya matahari seakan membakar wajah.

Tidak lama kemudian ada dua orang laki-laki yang berjalan melewati tempat tersebut. Tiba-tiba mereka melihat selimut itu. Karena penasaran, mereka membukanya, dan ternyata mereka mendapati seorang laki-laki tua di dalamnya yang telah meninggal dunia. Kemudian keduanya pun melapor kepada polisi. Polisi pun menghukum sang anak lima belas tahun penjara. Dia tinggal di penjara, jauh dari istrinya dan anaknya yang masih kecil, yang belum genap lima tahun.

Lima belas tahun kemudian, setelah masa tahanan selesai, istrinya datang ke penjara bersama anaknya yang telah beranjak dewasa. Mereka berdua datang dengan mobil yang dikendarai oleh anaknya. Tatkala keduanya sampai di pelataran penjara, laki-laki itu telah keluar dari penjara dan melihat keduanya datang. Lalu dia pun menghampiri keduanya yang berada di mobil. Ketika dia mendekati mobil, tiba-tiba anaknya kalut. Seharusnya dia menginjak rem, tapi malah menginjak gas, sementara ayahnya berada di depan mobil. Dia pun menabrak ayahnya dan menjatuhkannya ke tanah dalam keadaan mati. (Abna` Yu’adzdzibuna Abna`ahum, hal. 53.)

Diposting oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim, dinukil dari : “Sungguh Merugi Siapa yang Mendapati Orang Tuanya Masih Hidup Tapi Tidak Meraih Surga”, karya : Ghalib bin Sulaiman bin Su’ud al-Harbi. Edisi terjemah cet. Pustaka Darul Haq Jakarta.