Makna hadits mutawatir:

Secara bahasa, diambil dari kata at-Tawatur yang berarti berturut-turut, dikatakan:تواترت الإبل “apabila mereka (unta) datang di belakang sebagian mereka yang lain, dan tidak datang secara serempak.” (Tajul ‘Arus karya az-Zubaidi)

Secara istilah, Imam an-Nawawi rahimahullah di dalam syarh Shahih Muslim menyebutkan bahwa hadits mutawatir adalah hadits yang dinukil oleh sejumlah orang yang tidak mungkin bersepakat dalam kedustaan, dari orang-orang yang seperti mereka dan kedua ujung serta pertengahan sanadnya sama, dan mereka mengabarkan dari sesuatu yang bisa diindera, bukan dari persangkaan. Menurut Dr. Mahmud Thahan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan dari sejumlah perawi yang mustahil menurut kebiasaan sepakatnya mereka di atas kedustaan. Maknanya menurut Dr. Mahmud Thahan bahwa ia adalah hadits atau khabar yang diriwayatkan –dalam setiap tingkatan sanadnya- oleh perawi yang banyak yang akal manusia menghukumi mustahil kalau mereka telah sepakat untuk membuat hadits ini (bukan dari Nabi).

Syaratnya:

Dari pengertian di atas maka bisa diambil kesimpulan bahwa syarat hadits mutawatir adalah sebagai berikut:

1. Diriwayatkan dari banyak perawi, yang dengannya diperoleh ilmu dharuri (ilmu pasti yang tidak mungkin ditolak) tentang benarnya khabar mereka. Namun tidak ada batasan tentang berapa jumlah mereka menurut pendapat yang shahih, akan tetapi hal itu tergantung dari kondisi perawi dan factor-faktor pendukung yang lain.

2. Mustahil secara logika sepakatnya mereka dalam kedustaan.

3. Yang dikhabarkan oleh para perawi tersebut adalah ilmu pasti, bukan persangkaan. Maka seandainya penduduk suatu kota yang besar mengabarkan tentang burung yang terbang dan mereka mengira itu adalah merpati, atau tentang seseorang yang mereka duga adalah Zaid, maka tidak diperoleh ilmu yang pasti bahwa yang terbang itu adalah merpati atau orang itu adalah Zaid.

4. Khabar yang mereka riwayatkan harus bersandarkan pada indera, karena kalau mereka mengabarkan sesuatu dari akal mereka maka tidak diperoleh ilmu. Maka khabar tersebut harus bersandar kepada indera seperti pendengaran dan penglihatan bukan bersandar kepada yang hanya diketahui dengan akal. Contonhya mereka mengucapkan dalam khabar mereka:”Kami melihat ini dan itu.” atau “Kami mendengar ini dan itu.” dan lain-lain.

5. Syarat-syarat di atas harus ada pada setiap tingkatan perawi, Karena masing-masing tingkatan terpisah dan berdiri sendiri dari tingkatan yang lain.

Macam-macamnya:

Khabar atau hadits mutawatir terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Mutawatir lafzhi: Yaitu hadits yang mutawatir dari sisi lafazh (teks) hadits dan maknanya. Syaikh Muhammad Anwar al-Kashmiri menyebutnya juga dengan hadits tawatur al-Isnad”. Contohnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

(( من كذَّب عليَّ متعمّداً فليتبوأ مقعده من النار )) ([5])

“Barangsiapa berdusta atas namaku maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya)

2. Mutawatir ma’nawi: Yaitu hadits yang mutawatir maknanya, namun lafazh (teks/redaksinya) berbeda. Syaikh al-Kashmiri menyebutnya hadits mutawatir qadr al-musytarak. contohnya adalah hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. telah diriwaytakan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mengangkat tangan dalam berdo’a sekitar seratus hadits, masing-masing hadits dalam masalah ini (mengangkat tangan ketika berdo’a) menyebutkan bahwa salah satu adab berdo’a adalah mengangkat tangan, akan tetapi dalam kasus yang berbeda-beda, dan setiap kasus tersebut tidak mutawatir. Dan sisi kesamaan antara hadits-hadits tersebut adalah adanya mengangkat tangan dalam berdo’a. Maka hadits ini menjadi mutawatir kalau dilihat dari keseluruhan jalur riwayat. Demikian juga hadits-hadits tentang ru’yatullah (kaum mukminin akan melihat Allah di Surga), tentang telaga Nabi, dan lain-lain.

Keberadaannya:

Ibnu Hibban dan al-Hazimi mengira bahwa hadits-hadits mutawatir tidak ada sama sekali. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Mala ‘Ali al-Qary dalam kitabnya Syarhu syarhi an-Nukhbah, dan Ibnu Shalah dan Imam an-Nawawi rahimahullah menganggap bahwa hadits mutawatir itu sangat sedikit sekali. Namun Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah membantah kedua perkataan ini dalam kitab Nuzhatun Nazhar Syarh Nukhabtuil Fikar, beliau berkata:”Apa yang diklaim olehnya –Ibnu Shalah- bahwa hadits mutawatir itu ‘izzah (jarang dan hampir tidak ada) adalah tertolak/tidak benar, dan juga pendapat yang diklaim oleh selainnya bahwa mutawatir itu tidak ada. Karena pendapat tersebut muncul dari kurangnya penelitian atas banyaknya jalur, kondisi para perawi dan sifat-sifat mereka yang memberikan konskwensi untuk menjauhkan kemungkinan mereka berdusta secara serempak (namun tidak disengaja) atau mereka bersepakat untuk berdusta.”

Hukumnya:

Hadits mutawatir wajib diyakini kebenarannya, karena ia memberikan faidah ilmu yang pasti, yang tidak perlu diteliti tentang keadaan para perawinya.

Al-Hafizh Ibnu hajar al-Asqalani rahimahullah berkata:”Pendapat yang bisa dijadikan pegangan adalah bahwa khabar mutawatir memberikan faidah ilmu dharuri, yaitu ilmu yang mengharuskan manusia untuk meyakininya dan tidak mungkin ia membantahnya (menolaknya). Ada yang mengatakan bahwa ia memberikan faidah ilmu nazhari (ilmu yang didapat melalui proses penelitian dan pengkajian), namun pendapat ini bukanlah pendapat yang kuat. Karena ilmu yang dihasilkan dari khabar mutawatir dapat diketahui juga oleh orang yang tidak memiliki kecakapan untuk meneliti (mengkaji) sebuah hadits seperti orang awam. Karena an-Nazhar (penelitian/pengkajian) adalah penyusunan perkara-perkara yang maklum (sudah diketahui) atau masih bersifat dugaan yang dengannya seseorang sampai kepada ilmu atau dugaan. Dan seorang yang awam tidak memiliki keahlian untuk itu. Maka seandainya khabar mutawatir adalah nazhari niscaya mereka (awam) tidak akan mengetahuinya.” (Nuzhatun Nazhar)

Tempatnya:

Kitab-kitab yang mencantumkan hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut:

1. Al-Azhaar al-Mutanaatsirah fiil Akhbaaril Mutawaatirah karya Imam as-Suyuthi rahimahullah.

2. Qathful Azhaar karya beliau juga dan kitab ini adalah ringkasan dari kitab di atas.

3. Nuzhumul Mutanaatsir min al-Hadits al-Mutawatir karya al-Kattaani rahimahullah.

(Sumber:Nuzhatun Nazhar Syarh Nukhabtul Fikar karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah dan Syarh Nukhbatul Fikar oleh Syaikh Sa’ad bin ‘Abdullah al-Humaid rahimahullah. diposting oleh Abu Yusuf Sujono)