Ketahuilah bahwa orang Muslim yang tidak dikenal dengan kefasikan dan kebid’ahannya, boleh memberi dan diberi salam. Ia disunnahkan untuk mengucapkan salam, dan wajib salamnya dijawab.

Menurut para sahabat kami, wanita bersama wanita yang lainnya sama seperti laki-laki bersama laki-laki lainnya.

Adapun wanita bersama laki-laki, maka Imam Abu Sa’d al-Mutawalli mengatakan, “Jika wanita tersebut isterinya, sahaya wanitanya, atau salah seorang mahramnya, maka ia bersamanya seperti laki-laki lainnya. Masing-masing dari keduanya disunnahkan untuk memulai salam kepada yang lainnya, dan wajib atas yang lainnya untuk menjawab salam-nya. Jika wanita tersebut bukan mahramnya; jika ia cantik yang dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah, maka laki-laki tidak mengucapkan salam kepadanya. Jika laki-laki mengucapkan salam kepadanya, maka ia tidak wajib menjawabnya. Ia juga tidak memulai salam kepada laki-laki. Jika ia mengucapkan salam kepadanya, maka tidak wajib dijawab. Jika laki-laki itu menjawab salamnya, maka itu dimakruhkan. Jika wanita tersebut sudah tua yang tidak akan menimbulkan fitnah, maka ia boleh mengucapkan salam kepada laki-laki, dan laki-laki tersebut wajib menjawab salamnya. Jika wanita itu banyak, lalu laki-laki mengucapkan salam kepada mereka, atau jika laki-laki itu banyak lalu mereka mengucapkan salam kepada seorang wanita, maka itu boleh, jika fitnah tidak dikhawatirkan akan menimpa laki-laki dan para wanita itu, atau menimpa wanita dan kaum laki-laki tersebut.

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah dan selainnya dari Asma binti Yazid radiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,

مَرَّ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فِي نِسْوَةٍ، فَسَلَّمَ عَلَيْنَا.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melewati kami di tengah kaum wanita, maka beliau mengucapkan salam kepada kami.”

At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.” Apa yang aku sebutkan ini adalah redaksi riwa-yat Abu Dawud.

Adapun riwayat at-Tirmidzi, maka di dalamnya disebutkan: dari Asma

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم مَرَّ فِي الْمَسْجِدِ يَوْمًا، وَعُصْبَةٌ مِنَ النِّسَاءِ قُعُوْدٌ، فَأَلْوَى بِيَدِهِ بِالتَّسْلِيْمِ.

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam suatu hari lewat di masjid, sementara sekelompok wanita sedang duduk-duduk, maka beliau melambaikan tangannya dengan (mengucapkan) salam.”

Kami meriwayatkan dalam kitab Ibn as-Sunni dari Jabir bin Abdillah radiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم مَرَّ عَلَى نِسْوَةٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِنَّ.

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallammelewati sejumlah wanita, lalu beliau mengucapkan salam kepada mereka.”

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dari Sahl bin Sa’ad radiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,

كَانَتْ فِيْنَا امْرَأَةٌ (وَفِي رِواَيَةٍ: كَانَتْ لَنَا عَجُوْزٌ)، تَأْخُذُ مِنْ أُصُوْلِ السِّلْقِ، فَتَطْرَحُهُ فِي الْقِدْرِ وَتُكَرْكِرُ حَبَّاتٍ مِنْ شَعِيْرٍ، فَإِذَا صَلَّيْنَا الْجُمُعَةَ، اِنْصَرَفْنَا نُسَلِّمُ عَلَيْهَا، فَتُقَدِّمُهُ إِلَيْنَا.

“Di tengah-tengah kami terdapat seorang wanita (dalam suatu riwayat: di tengah kami ada seorang wanita tua), yang biasa mengambil umbi-umbian lalu meletakkannya dalam periuk, dan menggiling biji-biji gandum. Jika kami selesai shalat Jum’at, kami pergi untuk mengucapkan salam kepadanya, lalu ia menghidangkannya kepada kami.”

Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Ummu Hani’ binti Abi Thalib radiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَوْمَ الْفَتْحِ، وَهُوَ يَغْتَسِلُ، وَفَاطِمَةُ تَسْتُرُهُ، فَسَلَّمْتُ…

“Aku datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari penaklukan kota Makkah (Fath) pada saat beliau sedang mandi, sementara Fathimah menutupinya, lalu aku mengucapkan salam…” dan menye-butkan hadits tersebut.

Pasal

Adapun terhadap ahli dzimmah, maka para sahabat kami berselisih tentang mereka. Namun mayoritas memutuskan bahwa tidak boleh memulai salam kepada mereka. Semen-tara yang lainnya berpendapat, itu tidak haram tetapi dimakruhkan. Jika mereka mengu-capkan salam kepada seorang muslim, maka ia menjawab, “Wa’alaikum,” tidak lebih. Qadhi yang utama, al-Mawardi, menuturkan satu pendapat lain dari kalangan para sahabat kami bahwa boleh memulai salam kepada mereka. Tetapi orang yang mengucapkan salam cukup mengatakan, ” As-Salamu ‘alaika,” tidak boleh menyebut dengan lafazh jama’ (‘alaikum). Al-Mawardi juga menuturkan satu pendapat bahwa yang diberi salam menjawab kepada mereka, jika mereka memulai salam, dengan ucapan, “Wa’alaikumus salam.” Tetapi tidak mengucapkan, “Warahmatullah.” Dua pendapat ini aneh dan tertolak.

Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَبْدَؤُوا الْيَهُوْدَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ، فَإِذَا لَقِيْتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيْقٍ، فَاضْطَرُّوْهُ إِلَى أَضْيَقِهِ.

“Janganlah memulai (mengucapkan) salam kepada Yahudi dan Nasrani. Jika kalian bertemu dengan seseorang dari mereka di jalan, maka paksalah mereka ke pinggirnya.”

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Anas y, ia mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْكِتَابِ فَقُوْلُوا: وَعَلَيْكُمْ.

“Jika Ahli Kitab mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah: wa’alaikum’.”

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuBahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمُ الْيَهُوْدُ، فَإِنَّمَا يَقُوْلُ أَحَدُهُمْ: السَّامُ عَلَيْكَ، فَقُلْ: وَعَلَيْكَ.

“Jika orang Yahudi memberi salam kepada kalian; sesungguhnya salah seorang dari mereka hanyalah mengucapkan, ‘As-Sam ‘alaik (binasalah kamu),’ maka jawablah, ‘Wa’alaika (kamu juga)’.

Mengenai masalah ini terdapat banyak hadits yang semisal dengan apa yang telah kami sebutkan.

Abu Sa’ad al-Mutawalli mengatakan, seandainya seseorang terlanjur mengucapkan salam kepada orang lain yang dikiranya Muslim namun ternyata kafir, maka dianjurkan untuk meminta salamnya dikembalikan, dengan mengatakan kepadanya, “Kembalikan salamku kepadaku.” Tujuannya ialah untuk melepaskan diri darinya dan menunjukkan kepadanya bahwa tidak ada ikatan cinta di antara keduanya.

Diriwayatkan, “Bahwa Ibnu Umar radiyallahu ‘anhu mengucapkan salam kepada sese-orang, lalu dikatakan kepadanya bahwa ia adalah Yahudi. Maka Ibnu Umar mengejarnya dan mengatakan kepadanya, “Kembalikan salamku kepadaku.”

Aku katakan, Kami telah meriwayatkan dalam Muwaththa‘ Malik rahimahullah bahwa Malik ditanya tentang orang yang mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani, apakah ia meminta supaya dibatalkan? Ia menjawab, “Tidak.” Ini pendapatnya, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu al-Arabi al-Maliki.

Abu Sa’ad mengatakan, “Seandainya seseorang hendak mengucapkan salam peng-hormatan kepada seorang Ahli Dzimmah, maka hendaklah ia melakukannya dengan tanpa kata as-Salam, seperti misalnya mengucapkan, “Hadakallah, An’amallahu Shabahaka (semoga Allah memberimu Hidayah, semoga Allah memberimu kebaikan pagi ini).”

Aku katakan, “Apa yang dikatakan oleh Abu Sa’ad ini tidak mengapa, jika diperlu-kan. Maka yang memberi salam mengatakan, ‘Shubbihta bi al-Khair‘ (engkau diberi kebaik-an pagi ini), ‘bi as-Sa’adah’ (dengan kebahagiaan), atau ‘bi al-‘Afiyah’ (dengan keafiatan). Atau: ‘Shabbahakallahu bi as-Surur’ (Allah memberimu kebahagiaan pagi ini), ‘bi as-Sa’adah’ (dengan kebahagiaan) ‘wa an-Ni’mah’ (dan kenikmatan) atau ‘bi al-Masarrah (dengan kemu-dahan), atau yang serupa dengannya. Adapun jika tidak memerlukannya, maka yang terbaik ialah tidak mengucapkan apa-apa. Karena mengucapkan sesuatu padanya berarti menggembirakannya, mencintainya dan menampakkan bentuk kasih sayang kepadanya. Sementara kita diperintahkan agar bersikap keras kepada mereka dan dilarang mencintai mereka. Oleh karena itu, kita tidak menampakkan hal itu. Wallahu a’lam.

Cabang Persoalan

Jika seseorang melewati segolongan orang yang di dalamnya terdapat sejumlah kaum muslimin, atau ada seorang muslim dan orang-orang kafir, maka disunnahkan untuk mengucapkan salam kepada mereka dengan meniatkan untuk memberi salam kepada orang-orang Muslim atau seorang Muslim tersebut.

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Usamah bin Zaid radiyallahu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم مَرَّ بِمَجْلِسٍ فِيهِ أَخْلاَطٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُشْرِكِيْنَ عَبَدَةِ اْلأَوْثَانِ وَالْيَهُوْدِ، فَسَلَّمَ عَلَيْهِمُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم.

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lewat di suatu majelis yang di dalamnya berbaur antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin penyembah berhala dan kaum Yahudi, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan salam kepada mereka.”

Cabang Masalah

Jika seseorang menulis surat kepada seorang musyrik, dan ia menulis dalam surat tersebut salam atau sejenisnya, maka hendaklah yang dituliskannya adalah sebagaimana yang kami riwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dalam hadits Abu Sufyan rahimahullah tentang kisah Heraclius, yaitu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menulis:

مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيْمِ الرُّوْمِ: سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى.

“Dari Muhammad, hamba Allah dan utusanNya, kepada Heraclius Kaisar Romawi, ‘Semoga keselamatan terlimpah atas siapa saja yang mengikuti petunjuk’.”

Cabang: Apa Yang Diucapkan Jika Menjenguk Seorang Ahli Dzimmah

Ketahuilah bahwa para sahabat kami berselisih tentang menjenguk seorang kafir dzimmi yang sedang sakit. Segolongan menganjurkannya, dan segolongan lainnya mela-rangnya. Asy-Syasyi menyebutkan perselisihan ini, kemudian mengatakan, “Yang benar, menurutku, ialah pendapat yang menyatakan bahwa menjenguk orang kafir yang sedang sakit secara umum adalah boleh. Dan bernilai ibadah bila itu dilakukan sebagai sejenis penghormatan di samping sebagai hak tetangga atau kerabat.”

Aku katakan, Apa yang disebutkan oleh asy-Syasyi ini bagus. Karena kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, dari Anas radiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,

كَانَ غُلاَمٌ يَهُوْدِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم، فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يَعُوْدُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ. فَنَظَرَ إِلَى أَبِيْهِ وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ فَأَسْلَمَ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَهُوَ يَقُوْلُ: الْحَمْدُ لله الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ.

“Dahulu, ada seorang pemuda Yahudi yang biasa membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu (suatu kali) ia sakit, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam datang menjenguknya. Beliau duduk di sisi kepalanya seraya mengatakan kepadanya, ‘Masuk Islamlah.’ Ia memandang ayahnya yang berada di sisinya, maka ayahnya mengatakan, ‘Patuhilah Abu al-Qasim (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam).’ Ia pun masuk Islam. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar seraya berucap, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka’.”

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari al-Musayyab bin Hazn, orang tua Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah, ia mengatakan,

لَمَّا حَضَرَتْ أًبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ، جَاءَ هُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: يَا عَمِّ، قُلْ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ ….

“Ketika Abu Thalib menjelang wafat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallamdatang kepadanya lalu mengatakan, ‘Wahai paman, ucapkanlah: La ilaha illallah’…” dan menyebutkan hadits tersebut secara panjang lebar.

Aku katakan, Orang yang menjenguk orang kafir dzimmi (yang sakit) hendaklah memotifasinya untuk masuk Islam, menjelaskan kebaikan-kebaikan Islam kepadanya, menganjurkannya, dan mengobarkan semangat kepadanya untuk bersegera memeluk Islam, sebelum ia sampai kepada suatu keadaan di mana taubatnya tidak bermanfaat lagi baginya. Jika ia mendoakannya, ia mendoakannya supaya mendapatkan hidayah dan sejenisnya.

Pasal

Adapun ahli bid’ah dan pelaku dosa besar yang belum bertaubat darinya, maka hendaklah mereka tidak diberi salam dan salam mereka tidak dijawab. Demikian yang dikatakan al-Bukhari dan para ulama selainnya.

Imam Abu Abdullah al-Bukhari berhujjah dalam Shahihnya mengenai masalah ini dengan hadits yang kami riwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim tentang kisah Ka’ab bin Malik y, ketika ia dan dua rekannya tidak ikut serta dalam perang Tabuk. Ka’ab mengatakan,

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنْ كَلاَمِنَا. قَالَ: وَكُنْتُ آتِيْ رَسُوْلَ اللهِ، فَأُسَلِّمَ عَلَيْهِ، فَأَقُوْلُ: هَلْ حَرَّكَ شَفَتَيْهِ بِرَدِّ السَّلاَمِ أَمْ لاَ؟

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang (para sahabat) untuk berbicara dengan kami.” Kata Ka’ab kemu-dian, “Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengucapkan salam kepada beliau. Aku tidak tahu: apakah beliau menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku ataukah tidak?”

Al-Bukhari mengatakan, “Abdullah bin Amr mengatakan,

لاَ تُسَلِّمُوْا عَلَى شَرَبَةِ الْخَمْرِ.

‘Jangan mengucapkan salam kepada peminum khamar’.”

Aku katakan, Jika ia terpaksa mengucapkan salam kepada kaum yang zhalim; yaitu ketika menemui mereka dan takut menimbulkan kemudharatan (kerugian) dalam agama-nya, dunianya atau selainnya jika tidak mengucapkan salam, maka ia boleh mengucap-kan salam kepada mereka. Imam Abu Bakr al-Arabi mengatakan, “Menurut para ulama, ia mengucapkan salam dan meniatkan bahwa as-Salam adalah salah satu Asma Allah. Artinya: Allah mengawasi kalian.”

Pasal

Adapun anak-anak maka disunnahkan mengucapkan salam kepada mereka.

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Anas radiyallahu ‘anhu,

أَنَّهُ مَرَّ عَلَى صِبْيَانٍ، فَسَلَّمَ عَلَيهِمْ، وَقَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يَفْعَلُهُ.

“Bahwa ia melewati sejumlah anak-anak, maka ia mengucapkan salam kepada mereka. Ia mengatakan, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukannya’.”

Dalam riwayat lain milik Muslim darinya,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم مَرَّ عَلَى غِلْمَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ.

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melewati sejumlah anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam kepada mereka.”

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan selainnya dengan sanad Shahihain,
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم مَرَّ عَلَى غِلْمَانٍ يَلْعَبُوْنَ، فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ.

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melewati sejumlah anak-anak yang sedang bermain, lalu beliau mengucap-kan salam kepada mereka.”

Kami meriwayatkan dalam kitab Ibn as-Sunni dan selainnya, ia (Anas) menyebutkan di dalamnya,

فََقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ يَا صِبْيَانُ.

“Beliau mengucapkan, ‘As-Salamu ‘alaikum, wahai anak-anak’.”

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky