Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِيْ، وَالْمَاشِيْ عَلَى الْقَاعِدِ، وَالْقَلِيْلُ عَلَى الْكَثِيْرِ.

“Pengendara mengucapkan salam kepada orang yang berjalan, orang yang berjalan mengucapkan salam kepada orang yang duduk, dan orang yang berjumlah sedikit mengucapkan salam kepada orang banyak.”

Dalam riwayat lain milik al-Bukhari,

يُسَلِّمُ الصَّغِيْرُ عَلَى الْكَبِيْرِ، وَالْمَاشِيْ عَلَى الْقَاعِدِ، وَالْقَلِيْلُ عَلَى الْكَثِيْرِ.

“Anak-anak mengucapkan salam kepada orang dewasa, orang yang berjalan mengucapkan salam kepada orang yang duduk, dan orang yang berjumlah sedikit mengucapkan salam kepada orang banyak.”

Para sahabat kami dan para ulama selainnya mengatakan bahwa apa yang disebutkan di sini inilah yang sunnah. Seandainya mereka menyelisihinya, dimana orang yang berjalan mengucapkan salam kepada pengendara, atau orang yang duduk mengucapkan salam kepada keduanya, maka tidak dimakruhkan. Hal ini ditegaskan oleh Imam Abu Sa’ad al-Mutawalli dan selainnya. Ini berarti orang yang berjumlah banyak tidak dimakruhkan mengucapkan salam kepada orang yang berjumlah sedikit, dan orang dewasa kepada anak-anak. Ini berarti, ia meninggalkan apa yang menjadi haknya berupa mendapat salam dari selainnya.

Adab ini berlaku jika kedua pihak betemu di jalan. Adapun jika seseorang melewati orang-orang yang sedang duduk, sudah barang tentu orang yang lewatlah yang memulai salam, baik anak-anak maupun orang dewasa, berjumlah sedikit maupun banyak. Qadhi utama menyebut yang kedua ini sebagai sunnah, dan menyebut yang pertama sebagai adab. Ia meletakkannya di bawah sunnah dalam hal keutamaan.

Pasal

Al-Mutawalli berpendapat, jika seseorang bertemu jamaah, lalu ia ingin mengkhususkan salam kepada segolongan orang dari mereka, maka itu dimakruhkan. Karena tujuan dari salam adalah agar saling mencintai, sementara mengkhususkan kepada sebagiannya dapat membuat sedih (tidak enak) bagi yang lainnya. Bisa jadi, ini menjadi sebab permusuhan.

Pasal

Jika seseorang berjalan di pasar atau jalan-jalan yang ramai dan sejenisnya yang banyak orang berlalu lalang; maka Qadhi utama, al-Mawardi menyebutkan bahwa salam di sini hanyalah untuk sebagian orang, bukan sebagian yang lainnya. Menurutnya, karena seandainya ia mengucapkan salam kepada setiap orang yang dijumpainya, niscaya hal itu melalaikannya dari segala urusannya yang penting dan niscaya ia mengeluarkan salam tersebut dari kebiasaan. Menurutnya, tujuan dari salam ini hanyalah salah satu dari dua perkara: mencari kasih sayang atau menghindari sesuatu yang tidak disukai.

Pasal

Al-Mutawalli mengatakan, “Jika jamaah mengucapkan salam kepada seseorang, lalu ia menjawab, ‘Wa’alaikumus salam,‘ dan berniat menjawab mereka semua, maka telah gugur darinya kewajiban menjawab salam kepada mereka semua. Sebagaimana halnya sekiranya ia menshalatkan banyak jenazah sekaligus, maka gugurlah kewajiban menshalatkan semua jenazah tersebut.”

Pasal

Al-Mawardi mengatakan, “Jika seseorang menemui jamaah yang berjumlah sedikit, maka satu salam sudah meliputi mereka. Cukup dengan satu salam kepada mereka semua, dan yang lebih dari itu berupa pengkhususan kepada sebagian dari mereka maka itu adalah adab. Dan cukup pula satu orang dari mereka yang menjawab salam, dan yang lebih dari itu maka itu adalah adab.”

Menurutnya, jika itu sekumpulan orang yang mana satu salam saja tidak akan ter-sebar di tengah-tengah mereka, seperti masjid dan tempat pesta, maka yang disunnahkan ialah orang yang masuk memulai salam pada awal masuknya ketika melihat suatu kaum. Ini berarti ia telah melaksanakan sunnah salam kepada semua orang yang mendengarnya. Sementara fardhu kifayah untuk menjawabnya ialah semua orang yang mendengar salamnya. Jika ia hendak duduk di tengah-tengah mereka, maka gugurlah darinya sunnah salam kepada orang-orang yang tidak mendengarnya. Jika ia hendak duduk di tengah orang-orang yang tidak mendengar salamnya yang sebelumnya, maka mengenai ini terdapat dua pendapat di kalangan para sahabat kami: Pertama, sunnah mengucapkan salam kepada mereka telah terlaksana dengan salam kepada orang-orang yang pertama; karena mereka adalah satu kumpulan. Seandainya ia mengulangi salam kepada mereka, maka ini adalah adab. Sementara ia, yakni ahli masjid, menjawab salamnya, dengannya, maka kewajiban kifayah telah gugur dari mereka. Kedua, sunnah salam tetap berlaku kepada orang-orang yang belum mendengar salamnya sebelumnya, jika hendak duduk di tengah-tengah mereka. Berdasarkan hal ini, maka kewajiban menjawab salam yang terdahulu tidak gugur dari orang-orang yang pertama dengan jawaban orang-orang yang terakhir.

Pasal

Jika ia duduk bersama sekelompok orang, kemudian berdiri untuk berpisah dengan mereka, maka disunnahkan untuk mengucapkan salam kepada mereka.

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan selainnya dengan sanad-sanad yang baik, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ber-sabda,

إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ، فَلْيُسَلِّمْ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُوْمَ، فَلْيُسَلِّمْ، فَلَيْسَتِ اْلأُوْلَى بِأَحَقَّ مِنَ اْلآخِرَةِ.

‘Jika salah seorang dari kalian sampai ke suatu majelis, maka ucapkanlah salam. Jika hendak berdiri (untuk meninggalkan masjid), maka ucapkanlah salam. Tidaklah (salam) yang pertama lebih berhak daripada yang terakhir’.” At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.”

Aku katakan, Zahir hadits ini adalah, wajib atas jamaah menjawab salam kepada orang yang mengucapkan salam kepada mereka lalu ia pergi meninggalkan mereka.

Imam al-Qadhi Husain dan sahabatnya, al-Mutawalli mengatakan, “Kebiasaan yang berlaku pada sebagian orang ialah mengucapkan salam ketika berpisah dengan suatu kaum. Itu adalah doa yang dianjurkan untuk dijawab, bukan wajib; karena salam peng-hormatan itu hanyalah ketika bertemu, bukan ketika berpisah. Ini pernyataan keduanya. Namun, pendapat ini diingkari oleh Imam Abu Bakr asy-Syasyi, salah seorang muta`akh-khirin dari kalangan sahabat kami. Menurutnya, pendapat ini rusak; karena salam itu disunnahkan ketika pergi (berpisah) sebagaimana disunnahkan ketika duduk (pada saat datang). Dasarnya ialah hadits ini. Dan apa yang dikatakan oleh asy-Syasyi inilah yang benar.

Pasal

Jika seseorang melewati satu orang atau lebih, dan ia menduga kuat bahwa jika mengucapkan salam maka salamnya tidak dijawab, baik karena keangkuhan orang yang dilewatinya tersebut yang tidak mempedulikan orang yang lewat atau salam, maupun selainnya, maka hendaklah ia mengucapkan salam dan tidak meninggalkannya karena dugaan ini. Sebab salam itu diperintahkan, sementara yang diperintahkan kepada orang yang lewat ialah mengucapkan salam dan tidak diperintahkan untuk mendapatkan jawaban. Di samping itu, orang yang dilaluinya bisa jadi membubarkan persangkaannya dan menjawab salamnya. Adapun ucapan orang yang tidak meneliti secara akurat bahwa salam yang diucapkan oleh orang yang lewat menjadi sebab diraihnya dosa oleh orang yang dilewatinya, maka ini adalah kebodohan yang nyata. Perintah-perintah syar’iyah tidak gugur dari orang yang diperintahkan kepada hal itu dengan praduga-praduga khayalan semacam ini. Seandainya kita memperdulikan khayalan yang rusak ini, niscaya kita tidak mencegah kemungkaran terhadap orang yang melakukannya karena tidak mengetahui bahwa itu kemungkaran, dan kita menduga dengan kuat bahwa ia tidak akan menghiraukan ucapan kita. Sebab pengingkaran kita terhadapnya dan pemberitahuan kita kepadanya akan keburukannya, akan menjadi sebab dosanya, jika tidak meninggalkannya. Tidak diragukan lagi bahwa kita tidak meninggalkan “pengingkaran” (yakni mengingkari kemungkaran) karena hal semacam ini. Contoh-contoh mengenai hal ini cukup banyak dan sudah dikenal. Wallahu a’lam.

Orang yang mengucapkan salam kepada orang lain, dan telah memperdengarkan salamnya, serta menanti salamnya mendapatkan balasan berikut syarat-syaratnya, namun ternyata salamnya tidak dijawab; dianjurkan untuk membebaskannya dari hal itu dengan mengatakan, “Aku membebaskannya dari hakku dalam menjawab salam,” atau “Aku menjadikannya terlepas darinya,” dan sejenisnya. Ia mengucapkan demikian; karena dengannya, hak Adami ini menjadi gugur. Wallahu a’lam.

Kami meriwayatkan dalam kitab Ibn as-Sunni dari Abdurrahman bin Syibl ash-Shahabi radiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَجَابَ السَّلاَمَ، فَهُوَ لَهُ، وَمَنْ لَمْ يُجِبْ، فَلَيْسَ مِنَّا.

‘Barangsiapa menjawab salam, maka ia mendapatkan pahalanya; dan barangsiapa tidak menjawabnya, maka ia bukan termasuk golongan kami.’

Dianjurkan kepada orang yang mengucapkan salam kepada seseorang, namun tidak menjawab salamnya, maka hendaklah ia mengatakan kepadanya dengan ungkapan yang lembut, “Menjawab salam itu wajib, maka hendaklah engkau menjawab salamku, agar kewajiban gugur darimu.” Wallahu a’lam.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky