Ketahuilah bahwa berjabat tangan itu hukumnya sunnah yang telah disepakati bersama ketika terjadi perjumpaan.

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, dari Qatadah dia berkata, aku berkata kepada Anas radiyallahu ‘anhu,

أَكَانَتْ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم؟ قَالَ: نَعَمْ.

“Apakah berjabat tangan telah dilakukan pada masa sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ? Dia menjawab, ‘Ya’.”

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dalam hadits Ka’ab bin Malik radiyallahu ‘anhu tentang kisah taubatnya, dia berkata,

فَقَامَ إِلَيَّ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ رضي الله عنه يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَنِي وَهَنَّأَنِي.

“Maka Thalhah bin Ubaidillah bangun dan bergegas kepadaku sehingga dia menjabatku dan mengucapkan selamat kepadaku.”

Kami meriwayatkan dengan isnad yang shahih dalam Sunan Abu Dawud, dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu dia berkata,

لَمَّا جَاءَ أَهْلُ الْيَمَنِ قَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: قَدْ جَاءَ كُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ، وَهُمْ أَوَّلُ مَنْ جَاءَ بِالْمُصَافَحَةِ

“Ketika penduduk Yaman datang, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepada mereka, ‘Penduduk Yaman telah datang kepada kalian, dan mereka adalah orang-orang yang pertama kali datang dengan berjabat tangan’.”

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah, dari al-Barra’ radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا.

‘Tidaklah dua orang muslim bertemu seraya berjabat tangan, melainkan dosa keduanya diampuni sebelum mereka berpisah’.”

Kami meriwayatkan dalam Kitab at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Anas radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ: لاَ، قَالَ: أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ؟ قَالَ: نَعَمْ.

“Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang laki-laki dari kami (kaum muslimin) bertemu dengan saudaranya (seiman) atau teman dekatnya, apakah dia harus membungkuk terhadapnya? Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Dia bertanya, ‘Apakah dia harus memeluk dan menciumnya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Dia bertanya, ‘Apakah dia harus meraih tangannya dan menjabatnya?’ Beliau menjawab, ‘Ya’.”

At-Tirmidzi berkata, “Ini hadits hasan.”

Dan dalam bab ini terdapat hadits yang banyak sekali

Kami meriwayatkan dalam Muwatha‘ milik Imam Malik rahimahullah, dari ‘Atha` bin Abdullah al-Khurasani, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تَصَافَحُوْا يَذْهَبِ الْغِلُّ، وَتَهَادَوْا تَحَابُّوْا وَتَذْهَبِ الشَّحْنَاءُ.

‘Saling berjabat tanganlah kamu sekalian niscaya rasa iri hati akan hilang, dan saling memberi hadiahlah niscaya kalian akan saling mencintai, dan rasa permusuhan akan hilang’.”

Saya mengatakan ini hadits mursal.

Dan ketahuilah bahwa berjabat tangan ini dianjurkan pada setiap pertemuan.

Sedangkan apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang, yaitu berjabat tangan setelah Shalat Shubuh dan Ashar; tidak memiliki dasar di dalam Syariat pada momen ini, akan tetapi itu tidak apa-apa. Karena pada dasarnya, berjabat tangan adalah sunnah, dan kenyataan bahwasanya mereka komitmen menjaganya dalam sebagian kesempatan dan melalaikannya dalam banyak kesempatan, bahkan itu yang lebih banyak terjadi; itu tidak mengeluarkan dari (mengamalkan) berjabat tangan yang hukum dasarnya memang ditetapkan oleh Syariat.

Dan asy-Syaikh al-Imam Abu Muhammad bin Abdussalam rahimahullah dalam kitabnya al-Qawaid menyebutkan bahwa bid’ah itu terbagi dalam lima bagian: wajib, muharramah (yang diharamkan), makruh (yang tidak disukai), mustahabbah (yang disunnahkan) dan mubahah (yang boleh). Dia berkata, “Dan di antara contoh bid’ah yang dibolehkan adalah berjabat tangan setelah Shalat Shubuh dan Ashar.” Wallahu a’lam.

Saya mengatakan, “Dan seyogyanya seseorang menjaga diri dari berjabat tangan dengan orang tak berjenggot yang ganteng, karena melihat kepadanya hukumnya haram, sebagaimana telah kami jelaskan pada pasal sebelum ini.” Para sahabat kami berkata, “Setiap orang yang diharamkan melihat kepadanya, maka diharamkan pula memegangnya. Bahkan memegang lebih diharamkan, karena dihalalkan bagi seseorang untuk melihat kepada wanita bukan mahram apabila dia ingin menikahinya, demikian pula dihalalkan melihat wanita bukan mahram ketika jual beli, mengambil dan memberi dan semisalnya. Namun demikian tidak boleh memegangnya pada kondisi tersebut. Wallahu a’lam.

Pasal: dianjurkan ketika berjabat tangan menampakkan wajah yang berseri (bersahabat) dan berdoa meminta ampunan, dan sebagainya.

Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Abu Dzar radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku,

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِيْقٍ.

‘Janganlah kamu menghina suatu kebaikan, walaupun hanya bertemu saudaramu dengan wajah berseri-seri’.”

Kami meriwayatkan dalam kitab Ibn as-Sunni, dari al-Bara` bin ‘Azib radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الْمُسْلِمَيْنِ إِذَا الْتَقَيَا فَتَصَافَحَا وَتَكَاشَرَا بِوُدٍّ وَ نَصِيْحَةٍ تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا بَيْنَهُمَا.

‘Sesungguhnya dua orang muslim apabila bertemu lalu saling berjabat tangan dan tersenyum dengan perasaan sayang dan nasihat, niscaya dosa-dosa mereka di antara mereka berdua akan berhamburan’.”

Dan dalam riwayat lain

إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَاِن فَتَصَافَحَا وَحَمِدَا اللهَ سبحانه و تعالى وَاسْتَغْفَرَا غَفَرَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمَا

“Apabila dua orang muslim bertemu, lalu saling berjabat tangan dan memuji Allah serta meminta ampun, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni keduanya.”

Kami meriwayatkan di dalamnya, dari Anas radiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

مَا مِنْ عَبْدَيْنِِ مُتَحَابَّيْنِ فِي اللهِ سبحانه و تعالى يَسْتَقْبِلُ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَيُصَافِحُهُ فَيُصَلِّيَانِ عَلَى النَّبِي صلى الله عليه و سلم إلاَّ لَمْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى تُغْفَرَ ذُنُوْبُهُمَا، مَا تَقَدَّمَ مِنْهَا وَمَا تَأَخَّرَ.

“Tidaklah dua orang hamba yang saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta`ala, di mana salah seorang dari keduanya menyambut temannya, lalu menjabat tangannya dan bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, jika mereka belum berpisah, melainkan dosa keduanya diampuni, baik dosa yang telah lalu dan yang akan datang.”

Kami meriwayatkan di dalamnya juga dari Anas radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

مَا أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم بِيَدِ رَجُلٍ فَفَارَقَهُ حَتَّى قَاَل اللّهُمَّ آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَ فِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

“Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, menjabat tangan seorang laki-laki, lalu dia melepaskannya sehingga beliau mengucapkan, ‘Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia, kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka’.”

Pasal: Dimakruhkannya membungkukkan punggung terhadap setiap orang dalam segala kondisi.

Dan dalil yang menunjukkannya adalah riwayat yang telah kami kemukakan dalam dua pasal yang terdahulu, dari hadits Anas radiyallahu ‘anhudengan ucapannya,

أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ لاَ…

“Apakah dia harus membungkukkan punggung kepadanya? Nabi menjawab, ‘Tidak’….”

Dan ia adalah hadits hasan sebagaimana telah kami sebutkan, dan tidak ada hadits yang menentangnya maka tidak ada dasar untuk menentangnya.

Dan orang tidak perlu terpedaya karena begitu banyaknya orang-orang yang melakukannya dari orang-orang yang dianggap berilmu dan shalih serta berbagai sifat utama lainnya, karena tauladan sesungguhnya hanya ada pada diri RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam,

وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

“Apa yang didatangkan Rasul kepadamu maka ambillah dia (sebagai teladan) dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (Al-Hasyr: 7).

Dan Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)

Dan telah kami kemukakan sebelumnya dalam kitab al-Jana`iz riwayat dari al-Fudhail bin ‘Iyadh radiyallahu ‘anhu yang maknanya, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk, dan sedikitnya orang yang meniti jalan petunjuk tersebut tidak akan membahayakanmu. Jauhilah jalan-jalan kesesatan, dan janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang celaka. Dan taufiq hanyalah dari Allah.

Pasal: adapun menghormati orang yang masuk dengan berdiri, pendapat yang kami pilih bahwa ia hukumnya mustahab, sunnah terhadap siapa yang mempunyai keutamaan yang menonjol dari segi ilmu atau keshalehan atau kemuliaan atau kekuasaan yang disertai dengan pengawalan, atau dia mempunyai anak keturunan atau kerabat yang sudah tua dan semisalnya, dan sikap berdiri ini berfungsi untuk menunjukkan kebaikan, kemuliaan, penghormatan, dan bukan untuk riya’ dan pengagungan. Berdasarkan pendapat yang kami pilih inilah perbuatan salaf dan khalaf terus berlanjut. Saya telah mengumpulkan pembahasan tersebut dalam kitab tersendiri di mana di dalamnya saya mengum-pulkan hadits-hadits, atsar-atsar, pendapat dan perbuatan salaf yang menunjukkan kepada pendapat yang telah saya sebutkan, dan saya juga menyebutkan pendapat yang menentangnya kemudian menjelaskan jawaban terhadapnya. Siapa yang masih rancu dalam pembahasan tersebut, dan tertarik untuk menelaah kitab tersebut, maka saya mengharapkan agar kerancuannya hilang, insya Allah. Wallahu a’lam.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky