Sebuah pepatah berkata, banyak jalan menuju Roma, banyak cara untuk mendapatkan keinginan, masing-masing orang memiliki cara tersendiri untuk mendapatkan apa yang diharapkan, satu cara gagal, cara lain digunakan, dan terkadang cara yang unik, tidak biasa, rada aneh pun digunakan pula.

Dalam urusan jodoh, banyak cara dan taktik dipakai dalam urusan yang satu ini, melalui makelar, biro jodoh, pendekatan langsung sampai lamaran langsung, terserah sohib hajat. Tidak jarang cara-cara tersebut berakhir dengan kegagalan, justru cara yang tidak umum, yang tidak disangka dan tidak dinyana ternyata membawa keberhasilan, jodoh pun datang secara tidak diduga.

Asy-Syarqi bin Fathami berkata, Syan termasuk orang cerdik di kalangan bangsa Arab, dia berkata, “Demi Allah, aku akan berkeliling sampai aku menemukan wanita yang sepadan denganku untuk aku nikahi.”

Dia berjalan dengan berkendara, dia bertemu dengan seorang laki-laki yang berkendara, kebetulan laki-laki ini pergi ke desa yang sama dengan Syan. Keduanya sepakat berjalan bersama. Di tengah perjalanan Syan bertanya kepada laki-laki itu, “Apakah kamu yang membawaku atau aku yang membawamu?” Laki-laki itu menjawab, “Dasar bodoh, mana mungkin pengendara membawa pengendara?”

Keduanya terus berjalan, keduanya melihat tanaman yang hampir dipanen. Syan bertanya kepada kawan perjalanannya ini, “Menurutmu apakah tanaman itu telah dimakan atau belum?” Laki-laki itu menjawab dengan kesal, “Dasar bodoh, apakah kamu tidak melihatnya masih tegak dan belum dipanen?”

Keduanya terus berjalan, keduanya melewati jenazah, Syan bertanya kepada sohibnya ini, “Apakah jenazah itu hidup atau mati?” Laki-laki itu menjawab dengan kekesalan lebih, “Aku tidak pernah menemukan orang yang lebih bodoh daripada dirimu, apakah kamu melihat mereka membawa orang hidup ke kuburan?”

Laki-laki itu membawa Syan singgah di rumahnya. Kebetulan laki-laki ini mempunyai seorang putri yang bernama Thabaqah. Maka laki-laki itu menceritakan ucapan Syan kepada putrinya. Putrinya berkata, “Ucapannya ‘Apakah kamu yang membawaku atau aku yang membawamu’ maksudnya adalah kamu yang berbicara ataukah aku yang berbicara sehingga kita sampai di tempat tujuan. Adapun ucapannya, ‘Menurutmu apakah tanaman itu telah dimakan atau belum’ maka maksudnya adalah apakah pemiliknya telah menjualnya lalu memakan harganya atau belum. Adapun ucapannya tentang jenazah maka maksudnya adalah apakah dia meninggalkan anak yang meneruskan namanya atau tidak.”

Lalu laki-laki itu menemui Syan dan menyampaikan ucapan putrinya kepadanya. “Inilah wanita yang aku idam-idamkan.” Kata Syan dalam hati, tanpa pikir panjang Syan melamarnya kepada bapaknya dan diterima. Setelah keduanya menikah, Syan membawa istrinya pulang ke keluarganya. Ketika mereka mengetahui kepintaran dan kecerdikan wanita tersebut mereka berkata, “Syan bertemu Thabaqah.” Selesai.

Abdul Malik bin Umair menceritakan, bahwa ketika Umar bin Hubairah datang ke Kufah dia mengundang sepuluh orang pemuka Kufah untuk berbincang-bincang dengannya di waktu malam.

Salah satu dari sepuluh orang itu adalah Abdullah bin Umair sendiri. Umar bin Hubairah berkata, “Hendaknya masing-masing dari kalian bicara, dimulai denganmu wahai Abu Umar.” Aku berkata, “Semoga Allah memberi kebaikan kepada amir, apakah pembicaraan yang haq atau yang batil?” Amir Ibnu Hubairah menjawab, “Tentu saja pembicaraan yang haq.”

Aku berbicara, Imri’il Qais bersumpah tidak akan menikah dengan seorang wanita sehingga dia bertanya kepadanya tentang delapan, empat dan dua. Lalu dia melamar para wanita, dan jika dia bertanya tentang delapan, empat dan dua maka semua wanita menjawab empat belas.

Suatu kali dia berjalan di tengah malam, dia bertemu dengan seorang laki-laki yang menggendong seorang bocah perempuan seperti rembulan di malam purnama. Imri’il terpesona dengannya, spontan dia bertanya bocah perempuan dalam gendongan bapaknya itu, “Hai bocah apa itu delapan, empat dan dua?”

Bocah itu menjawab, “Kalau delapan, maka ia adalah puting susu anjing, kalau empat maka ia adalah puting susu onta, kalau dua maka ia adalah payudara wanita.”

Imri’il Qais terpesona oleh jawabannya, dia pun melamar bocah kepada bapaknya dan bapaknya menerimanya. Bocah itu meletakkan dua syarat kepadanya: Pertama: Pada malam pertama nanti dia akan bertanya kepadanya tiga pertanyaan. Imri’il Qais menyanggupi. Kedua: Memberinya seratus onta, sepuluh hamba sahaya, sepuluh pelayan dan tiga kuda.” Selesai.
(Izzudin Karimi)