Pembicaraan tentang al-Khidhir ’alaihis salam masih menjadi polemik di tengah umat Islam. Banyak cerita dan khurafat yang beredar seputarnya. Oleh karena itu, dalam tulisan kali ini, dipaparkan sejumlah argumentasi dan penjelasan yang mudah-mudahan bermanfa’at bagi kita semua dan kiranya dapat menjernihkan permasalahannya.

Al-Khidhir ’alaihis salam Nabi Atau Wali?

Jumhur ulama berbeda pendapat mengenai kenabian al-Khidhir dan terbagi kepada dua pendapat:

I. Ia Bukan Nabi Tapi Wali

Pendapat ini mengatakan, ia hanyalah seorang hamba yang shalih, ‘alim dan diberi ilham, sebab Allah subhanahu wata’ala menyebutnya sebagai orang yang diberi ilmu, memiliki ibadah khusus, dan sifat-sifat baik lainnya sementara tidak menyebutkan bahwa ia seorang Nabi atau Rasul. Ada pun firman Allah subhanahu wata’ala di akhir kisah melalui ucapan al-Khidhir ’alaihis salam, yang artinya, “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.” (QS.al-Kahf:82), maka ini tidak menunjukkan bahwa ia seorang nabi, tetapi menunjukkan adanya ilham dan pembicaraan. Hal ini dapat terjadi terhadap selain para nabi. Contohnya, seperti firman-Nya dalam surat an-Nahl, ayat 68, artinya, “Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah” dan firman-Nya dalam surat al-Qashash, ayat 7, artinya, “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa.”

Di antara ulama yang mengatakan pendapat seperti ini adalah al-Qurthubi rahimahullah (al-Qurthubi, XI: 28), Abu al-Qasim al-Qusyairi (ar-Risalah al-Qusyairiyyah, hal.161), al-Yafi’i (Nasyr al-Mahasin al-‘Aliyah, hal.48-70) dan kebanyakan kaum Sufi!?

II. Ia Seorang Nabi

Ibn Katsir rahimahullah di dalam kitabnya, al-Bidayah Wa an-Nihayah mengatakan, “Alur kisah dalam ayat menunjukkan kenabiannya. Hal ini dapat dilihat dari bebeberapa aspek:

Pertama, Firman-Nya, artinya, “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami.” (QS. Al-Kahf: 65)

Ke dua, Ucapan Nabi Musa ’alaihis salam kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” Dia menjawab, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuat, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu.” Musa berkata, “Insya Allah kamu akan mendapatkanku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentang mu dalam sesuatu urusan pun. Dia berkata, ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkan nya kepadamu.” (QS. al-Kahf: 66-70)

Andaikata ia hanya seorang wali dan bukan Nabi, Musa ’alaihis salam tidak akan berbicara kepadanya seperti ini dan tidak akan memberikan jawaban seperti itu kepadanya. Akan tetapi Musa ’alaihis salam menawarkan untuk mendampinginya agar mendapatkan ilmu darinya yang telah dikhususkan Allah subhanahu wata’ala baginya, yang tidak dimiliki orang lain. Andaikata ia bukan seorang Nabi, tentulah ia bukan seorang yang ma’shum dan tentulah Musa ’alaihis salam yang merupakan Nabi agung, Rasul mulia yang wajib ma’shum tidak sedemikian menggebu-gebu untuk menuntut ilmu dari seorang wali yang tidak wajib ma’shum.

Manakala ia memiliki keinginan kuat untuk menemuinya dan mencari informasi tentangnya, sekalipun harus menempuh sekian masa sebelum 80 tahun lalu, kemudian tatkala bertemu dengannya, ia begitu merendahkan diri kepadanya, mengagungkan dan mengikutinya sebagai seorang yang ingin mendapatkan sesuatu yang bermanfa’at bagi dirinya; maka ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang Nabi yang diberi wahyu sebagaimana ia juga diberi wahyu. Ia telah diberi ilmu-ilmu agama dan rahasia-rahasia kenabian yang spesial, yang tidak ditampakkan Allah subhanahu wata’ala kepada Nabi Musa ’alaihis salam, padahal ia Kalimullah dan nabi Bani Israil yang mulia.”

Ke tiga, al-Khidhir ’alaihis salam telah berani membunuh seorang bocah. Ini jelas karena adanya wahyu dari malaikat. Ini merupakan dalil tersendiri atas kenabiannya dan bukti yang jelas atas ke-ma’shuman-nya sebab seorang wali tidak boleh membunuh jiwa semata-mata hanya karena seruan hatinya sebab hatinya tidak wajib ma’shum. Seorang wali bisa saja memiliki kesalahan menurut kesepakatan para ulama. Manakala al-Khidhir ’alaihis salam berani membunuh bocah yang belum mencapai usia baligh karena ia tahu kelak bila sudah baligh, akan menjadi kafir dan menyeret kedua orang tuanya ke dalam kekufuran, karena cintanya kepada anaknya tersebut lantas mengikuti jalan yang ditempuhnya; Maka terdapat kemashlahatan besar untuk orang sepertinya demi menjaga kedua orangtuanya agar tidak terjerumus ke dalam kekufuran dan segala akibatnya. Ini semua menunjukkan kenabiannya dan bahwa ia telah diangkat oleh Allah subhanahu wata’ala dengan ke-ma’shuman.

Ke empat, tatkala al-Khidhir ’alaihis salam menjelaskan takwil tindakan-tindakan yang dilakukan Musa ’alaihis salam dan mendudukkan permasalahan yang sebenarnya serta mengupas dengan sejelas-jelasnya, ia berkata setelah itu,”Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. “Yakni, tidaklah aku melakukan itu karena kemauan sendiri, tetapi aku diperintahkan dan diberi wahyu.” (al-Bidayah, Juz.I, hal.328) Pendapat serupa juga didukung oleh al-Hafizh Ibn Hajar rahimahullah dalam bukunya ‘az-Zahr an-Nadhir’ dan pengarang buku tafsir ‘Ruh al-Ma’ani’. Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat ke dua dan merupakan pendapat Jumhur ulama (Ruh al-Ma’ani, Juz.V, hal. 92-93).

Apakah al-Khidhir ’alaihis salam Masih Hidup Hingga Kini?

Perbedaan pendapat mengenai hal ini masih terjadi, akan tetapi dalil-dalil membuktikan, bahwa ia telah wafat. Ini adalah pendapat kebanyakan ahli hadits, sebab tidak ada satu pun nash shahih yang dapat diandalkan. Sedangkan terkait dengan mimpi-mimpi, maka dalam masalah ibadah dan penetapan hukum-hukum tidak dapat dijadikan rujukan! Di antara para ulama yang berpendapat bahwa al-Khidhir ’alaihis salam telah wafat adalah Imam al-Bukhari, Ibrahim al-Harbi, Abu al-Hasan al-Munawi, Ibn al-Jauzi, Ibn Hazm azh-Zhahiri, Muhammad bin Abu al-Fadhl, ‘Ali bin Musa ar-Ridha, al-Qadhi Abu Ya’la, Abu Bakar bin al-‘Arabi, Abu Ya’la al-Farra’, Abu Thahir al-‘Ibadi, Abu Hayyan al-Andalusi dan banyak lagi.

Di antara dalil yang menegaskan telah wafatnya al-Khidhir ’alaihis salam adalah:

A). Andaikata al-Khidhir ’alaihis salam masih hidup, tentu tidak ada jalan baginya untuk menunda-nunda keberimanannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengikutinya, bermujahadah di hadapannya dan menyampaikan risalahnya. Ini adalah perjanjian yang diambil Allah subhanahu wata’ala dari seluruh para Nabi dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya, artinya, “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan bersungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” Allah berfirman, “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu.” Mereka menjawab, “Kami mengakui.” Allah berfirman, “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.” (QS. Ali ‘Imran: 81).

B). Jumhur Muhaqqiqin (ulama peneliti) mengatakan bahwa al-Khidhir ’alaihis salam telah wafat, alasannya karena andaikata masih hidup, tentu ia pasti datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beriman kepadanya, mengikutinya agar menjadi bagian dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak ada jalan baginya selain itu. Sebab Nabi ‘Isa ’alaihis salam kelak bila turun di akhir zaman, akan berhukum dengan syari’at Islam, tidak keluar darinya dan tidak ada pilihan baginya sebab ia merupakan salah satu dari lima para nabi yang dijuluki Ulul ‘Azmi dan penutup para Nabi dari kalangan Bani Israil.

C). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam haditsnya, “Andaikata Nabi Musa masih hidup, tentu tidak ada jalan baginya selain mengikutiku.” Mengomentari hadits ini, para ulama mengatakan, “Seperti diketahui, tidak satu pun terdapat sanad Shahih atau pun Hasan yang menenteramkan hati menyebut kan bahwa ia pernah bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam satu hari atau ikut berperang bersama beliau dalam salah satu peperangannya. Indikasinya, pada hari Badar, saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermunajat memohon pertolongan Allah subhanahu wata’ala seraya berdoa, “Ya Allah bila golongan ini (kaum muslimin) dihancur kan, maka Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi setelah itu.” Dalam golongan itu terdapat para pemuka dan tokoh kaum Muslimin, demikian juga dari kalangan malaikat, termasuk Jibril ’alaihis salam; andaikata al-Khidhir ’alaihis salam masih hidup, tentulah momentum paling mulia dan peperangan paling agung baginya adalah berada di bawah panji tersebut!

D). al-Hafizh Ibn al-Jauzi rahimahullah menyebut kan banyak dalil yang menyatakan al-Khidhir ’alaihis salam telah wafat dan tidak kekal di dunia ini, di antaranya firman-Nya, “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad)” (QS. al-Anbiya’: 34). Dan firman-Nya dalam surat Ali ‘Imran, ayat 81. Mengenai ayat ke dua ini, Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhumengatakan, “Tidaklah Allah subhanahu wata’ala mengutus seorang Nabi melainkan mengambil perjanjian darinya. Jika ada yang diutus kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau masih hidup, pastilah ia akan beriman kepadanya dan membantunya.” Dan tentunya, al-Khidhir ’alaihis salam tidak terkecuali dari perjanjian (Mitsaq) ini.! Ibn al-Jauzi dalam bukunya ‘Ajalatu al-Muntazhar Fi Syarh Halati al-Khidhir mengetengahkan dalil-dalil akal yang membantah klaim al-Khidhir ’alaihis salam masih hidup di dunia ini dari sepuluh sisi. [Hafied M Chofie]

SUMBER: al-Khidhir Wa Atsaruhu, Baina al-Haqiqah Wa al-Khurafah karya Ahmad bin Abdul Aziz al-Hushain.