Akal merupakan makhluk ciptaan Allah subhanahu wata’ala sedangkan wahyu adalah Kalam Rabb semesta alam, yang tidak dapat tersentuh oleh tangan batil, baik dari depan mau pun dari belakang.

Di antara kebenaran yang sudah diterima apa adanya (aksiomatik) dan tidak diperdebatkan lagi di kalangan ulama as-Salaf ash-Shalih adalah selarasnya antara akal dan naql (nash). Pertentangan antara akal dan nash hanya terjadi dan dibuat oleh orang-orang yang memiliki akal yang sakit, yang dilanda oleh hawa nafsu dan dipermain kan oleh berbagai bid’ah.!

Sebagian orang ada yang menghina kan akal lantaran dia memang tidak berakal. Akal adalah tempat bergantungnya taklif (pembebanan syari’at). Akal adalah permata berharga yang dengannya Allah subhanahu wata’alaƒnmembedakan manusia dengan seluruh makhluk lainnya. Beberapa ayat dalam Kitabullah mengarahkan perhatian para hamba agar memberdayakan akal dalam hal yang memang menjadi tabiat asalnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Tidakkah kamu berfikir.” (QS.al-Baqarah:44). Kalimat seperti ini disinggung dalam al-Qur’an sebanyak 13 kali, seperti firman-Nya, artinya, “Apakah kamu tidak memperhatikan” (QS.al-Qashash:72), “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an,”(QS.an-Nisa’:82) dan seterusnya.

Sikap Berlebihan Terhadap Akal

Akan tetapi ada segolongan orang yang berlebihan dalam memperlakukan akal dengan menyanjungnya hingga sampai ke tingkatan yang lebih tinggi dari syari’at. Golongan seperti ini telah membenturkan wahyu Allah subhanahu wata’ala yang suci dengan akal yang serba terbatas, yang selalu digerogoti oleh hawa nafsu, ilusi, kegilaan, penyakit, kedunguan dan lainnya.

Di samping itu, kondisi terbaik akal adalah manakala ia dapat memberikan putusan melalui indera dan semisalnya. Sedangkan wahyu, merupakan sumber yang ma’shum, tidak tersentuh oleh tangan batil, baik dari depan mau pun dari belakang.

Contoh Keterbatasan Akal

Untuk mengetahui betapa akal manusia memiliki keterbatasan sekali pun pemiliknya adalah orang-orang pilihan sehingga kita yakin bahwa misi akal adalah tunduk dan patuh terhadap syari’at, bukan menentang dan menolaknya, berikut sebuah contoh: seperti terdapat dalam kitab ash-Shahih berkenaan dengan Ghazwah Hudaibiyyah, disebutkan bahwa Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ،anhu pernah mendebat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkenaan dengan perjanjian Hudaibiyyah. Ketika itu, ia berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran sementara mereka berada di atas kebatilan.? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Benar.” Lalu Umar melanjutkan, “Bukankah korban terbunuh di pihak kita akan masuk surga sedangkan korban mereka masuk neraka.?” Beliau menjawab, “Benar.” Ia berkata lagi, “Kalau begitu, untuk apa kita memberikan kehinaan bagi agama kita?! Apakah kita harus pulang dengan tanpa mendapatkan putusan dari Allah subhanahu wata’ala antara kita dan mereka.?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Wahai Ibn al-Khaththab! Sesungguhnya aku adalah Rasulullah. Allah sama sekali tidak akan pernah menyia-nyiakanku.” Setelah itu, pergilah Umar radhiyallahu ‘anhu menemui Abu Bakar radhiyallahu ،anhu seraya mengatakan kepadanya seperti apa yang dikatakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Sesungguhnya beliau adalah Rasulullah. Allah subhanahu wata’ala sama sekali tidak akan pernah menyia-nyiakannya.!” Maka turunlah surat al-Fath, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacakannya ke hadapan Umar hingga akhir surat. Lantas berkatalah Umar, “Wahai Rasulullah, Apakah itu artinya Fath (Penaklukan).?” Beliau menjawab, “Ya.” (HR.al-Bukhari)

Ghazwah (peperangan) ini merupa kan pelajaran berharga bagi para shahabat, sekaligus mengingatkan mereka dan generasi setelah mereka kelak agar tidak berpegang kepada pendapat yang bersumber dari akal semata. Oleh karena itu, Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Wahai manusia! Waspadailah pendapat kamu atas agama ini. Sungguh aku telah melihat diriku menolak perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pendapatku dalam rangka berijtihad. Demi Allah, aku tidak pernah mendapatkan kebenaran. Ketika itu adalah hari di mana terjadi perang Abu Jandal.” (al-Mu’jam al-Kabir, I:26)

Kerusakan Alam Akibat Mendahulukan Akal Atas Wahyu

Al-‘Allamah, Ibn al-Qayyim rahimahullah berkata, “Setiap orang yang memiliki sedikit lentera pada akalnya pastilah mengetahui bahwa kerusakan dan kehancuran yang terjadi di alam ini semata bersumber dari sikap mendahu lukan pendapat atas wahyu dan hawa nafsu atas akal. Bilamana kedua akar perusak ini menguasai hati, maka ia akan memastikan kebinasaan nya. Bila berjangkit pada umat, maka pasti urusan mereka akan rusak sejadi-jadinya; betapa sering kalimat La Ilaha Illallah dinafikan kebenarannya karena pendapat-pendapat ini, betapa sering pula dengannya ditetapkan kebatilan, petunjuk dimatikan, kesesatan dihidupkan! Betapa sering pula, karenanya benteng iman dirobohkan, agama syaithan disemarakkan.! Kebanyakan para penghuni neraka Jahim adalah para pemilik pendapat-pendapat ini, yang tidak memiliki pendengaran atau pun akal. Bahkan mereka lebih buruk dari keledai. Mereka itulah yang kelak di hari Kiamat berkata, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya, ،Dan mereka berkata, ،Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.’ (QS. al-Mulk:10)” (I’lam al-Muwaqqi’in, I:68)

Bila ingin mengetahui seberapa besar ukuran akal, mari renungkan kejadian dan kisah dalam surat al-Kahf. Di sana, kita dapati bahwa penilaian akal murni terhadap tindakan al-Khidhir ‘alaihissalam melubangi kapal adalah buruk semata, membunuh bocah yang bermain bersama teman-teman seusianya adalah buruk semata, membangun tembok untuk orang-orang yang mencelanya sejadi-jadinya adalah buruk semata. Inilah putusan akal manusia. Maka tatkala, datang berita dari wahyu, keburukan yang menurut praduga itu ternyata berbalik menjadi kebaikan dan kelaikan.

Ibn Abi Hatim mengeluarkan dari jalur Muhammad bin Ka’b al-Qurazhi, ia berkata, “Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, -Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan kepada mereka kisah ini hingga selesai- “Semoga Allah merahmati Musa. Kami ingin andaikata ia (Musa) mau bersabar hingga dapat menyelesaikan kisah mereka berdua kepada kita.” (Ad-Durr al-Mantsur, V: 428). Ibn Abi Syaibah, Abu Daud, at-Tirmdizi, an-Nasa’i dan al-Hakim (beliau menshahihkannya), serta Ibn Mardawaih mengeluarkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Semoga rahmat Allah dilimpahkan kepada kita dan Musa ‘alaihissalam -beliau memulai dengan dirinya-. Andaikata ia mau bersabar, pastilah telah menceritakan kepada kita mengenai kabarnya itu akan tetapi ia malah mengatakan (sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala melalui lisan Musa ‘alaihissalam), artinya, ،(Musa berkata), ‘Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperboleh kan aku menyertai mu.،¨ (QS. al-Kahfi: 76).

Mengenai kisah ini, Ibn al-Atsir rahimahullah menghimpun sejumlah riwayat dari para ulama mengenai kisah al-Khidhir ‘alaihissalam bersama Musa ‘alaihissalam. (Jami’ al-Ushul, II: 220-230)

Benar, akal amatlah terbatas akan tetapi bila ia ditugaskan kepada bidang yang sesuai dengan kemampuan (tugas) dan tujuan ia diciptakan, maka pastilah ia menjadi sesuatu yang paling berharga yang dimiliki manusia. Dan bila ia melampaui batasan-batasan yang telah digariskan oleh Allah subhanahu wata’ala, maka ia bisa menjadi azab bagi pemiliknya dan bencana yang dapat menyeret kepada keburukan dan malapetaka. Orang yang bahagia adalah orang yang tunduk kepada wahyu Rabbnya dan tidak bersikap terhadap Penciptanya dengan sikap orang yang mencari kesalahan atau ingin menghukumi. Sebab itu adalah ciri orang-orang kafir dan para pembangkang, Na’udzu billahi min dzalik. [Abu Hafshoh]

SUMBER: Masa’il Hammah Fi Tauhid al-‘Ibadah karya Muhammad bin Sa’id bin Salim al-Qahthani)