Ahli Baiat Ridhwan

Baiat Ridhwan adalah baiat yang diambil oleh Rasulullah saw di Hudaibiyah bulan Dzul Qa’dah tahun enam hijriah manakala beliau mendengar bahwa Usman bin Affan yang beliau utus ke Makkah untuk bernegoisasi dengan orang-orang Makkah dibunuh, maka beliau membaiat para sahabat untuk menuntut darah Usman.

Kisahnya, Nabi pergi ke Makkah hendak umrah, beliau membawa hadyu dan diiringi sahabat-sahabatnya yang berjumlah seribu empat ratus orang, mereka hanya ingin umrah. Ketika mereka tiba di Hudaibiyah sebuah tempat dekat Makkah, sekarang ia berada di jalan menuju Jeddah, sebagian daerahnya masuk ke dalam daerah Haram, orang-orang kafir Quraisy menghalang-halangi Rasulullah dan sahabat-sahabatnya karena mereka merasa sebagai tuan rumah dan pelindung Ka’bah, “Kenapa Allah tidak mengadzab mereka padahal mereka menghalangi orang untuk (mendatangi) Masjidilharam, dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? Orang-orang yang berhak menguasai(nya) hanyalah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Anfal: 34).

Di perang ini Allah menunjukkan kepada NabiNya sebagian tanda-tanda kekuasaanNya yang menjadi indikator bahwa akan lebih baik jika Rasulullah dan para sahabat mengalah karena ia mengandung kebaikan dan kemaslahatan, tanda tersebut adalah berhentinya unta Rasulullah ia menolak untuk berjalan sampai mereka berkata, “Qaswa mogok.” Nabi membelanya, “Demi Allah qaswa’ tidak mogok, itu bukan tabiatnya akan tetapi ia dihentikan oleh yang menghentikan gajah.” Kemudian Nabi bersabda, “Demi dzat yang jiwaku berada di tanganNya, mereka tidak memintaku suatu syarat di mana dengannya mereka mengagungkan batasan-batasan Allah niscaya aku akan berikan kepada mereka.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Terjadilah tawar menawar, Rasulullah mengirim Usman bin Affan karena dia memiliki kerabat di Makkah yang melindunginya. Nabi mengutusnya ke Makkah untuk mengajak mereka masuk Islam dan menyampaikan bahwa Nabi hanya datang untuk umrah dan mengagungkan Ka’bah. Lalu muncul desas-desus bahwa Usman dibunuh. Hal itu membuat kaum muslimin bersedih maka Nabi mengundang para sahabat untuk berbaiat. Nabi membaiat mereka untuk siap berperang melawan penduduk Makkah yang telah membunuh utusan Rasulullah. Karena memang utusan itu tidak boleh dibunuh, maka sahabat membaiat Nabi untuk berperang dan tidak berlari dari kematian.

Allah berfirman tentang para pembaiat itu, “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Fath: 18-19).

Allah mensifati mereka dengan iman, ini adalah rekomendasi dari Allah bahwa sahabat yang membaiat di bawah pohon adalah Mukmin yang diridhai Di antara para pembaiat tersebut adalah Abu Bakar,Umar, Usman dan Ali. Nabi sendiri telah bersabda, “Tidak masuk Neraka seseorang yang membaiat di bawah pohon.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Keridhaan ditetapkan oleh al-Qur’an dan keselamatan dari Neraka ditetapkan oleh Sunnah.

Baiat ini terjadi di bawah pohon seperti yang disebutkan oleh Rasulullah dalam hadits di atas, maka me terkadang disebut dangan Ashab Syajarah dan pohon ini adalah pohon bidara. Ada yang berkata: pohon sejenis pohon pisang. Ini adalah perbedaan yang tidak bermanfaat. Pohon ini memiliki bayangan. Nabi duduk di bawahnya membaiat sahabat-sahabat. Pohon ini ada pada masa Nabi, Abu Bakar dan permulaan Khilafah Umar, ketika Umar dilapori “Orang-orang mendatanginya untuk shalat di sana” maka Umar menebangnya.

Ibnu Hajar di al-Fath 7/448 berkata, “Aku menemukan riwayat ini di Ibnu Saad dengan sanad yang shahih. Akan tetapi di Shahih al-Bukhari dari Ibnu Umar berkata, ‘Kami kembali tahun depan – yakni setelah perdamaian Hudaibiyah – maka tidak ada dua orang dari kami yang sepakat tentang pohon di mana kami membaiat Rasulullah di bawahnya.”

Ini tidak bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dari Ibnu Saad karena dilupakannya pohon tersebut tidak tidak berarti ia tidak ada atau tidak diingat kembali setelahnya.

Adapun penebangan Umar terhadap pohon ini maka ia adalah langkah penjagaan terhadap tauhid, ini adalah jasa baik Umar karena jika pohon tersebut tumbuh sampai sekarang maka tidak menutup kemungkinan disembah selain Allah.

Dari Syarah Aqidah Wasithiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin.