Tidak diragukan bahwa Allah membolehkan seorang laki-laki muslim menikah dengan wanita ahli kitab, “Dan dihalalkan mangawini wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.” (Al-Maidah: 5).

Persoalan yang muncul adalah siapa yang dimaksud dengan ahli kitab di mana wanita-wanita mereka boleh dinikahi? Penulis telah memaparkan sebelumnya bahwa para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, perbedaan mereka dipaparkan oleh Imam Ibnu Taimiyah dan beliau menguatkan pendapat jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan ahli kitab adalah orang-orang yang memeluk agama ahli kitab setelah ayat ini turun. Lalu Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan segi-segi yang menguatkan pendapat ini, penulis telah menyebutkan empat segi di antaranya. Adapun segi-segi yang belum disebutkan maka ia sebagai berikut.

Kelima, dikatakan, orang-orang yang kafir kepada al-Qur`an dari kalangan ahli kitab adalah orang-orang kafir walaupun nenek moyang mereka adalah orang-orang beriman, azab mereka di akhirat tidak lebih ringan daripada orang kafir yang bapaknya bukan ahli kitab, bahkan keberadaan nasab yang mulia lebih memperberat nilai kekufuran daripada meringankan, orang yang bapaknya muslim dan orang tersebut murtad, kekufurannya lebih berat daripada kekufuran orang muslim kemudian dia murtad.

Keenam, menggantungkan kemuliaan dalam agama hanya kepada nasab merupakan salah satu hukum jahiliyah yang dipijak oleh orang-orang Rafidhah dan orang-orang yang seperti mereka dari kalangan orang-orang jahil karena Allah swt berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.” (Al-Hujurat: 13).

Nabi saw bersabda, “Tidak ada keunggulan bagi orang Arab atas orang ajam, tidak pula bagi orang ajam atas orang Arab, tidak pula bagi orang hitam atas orang putih, tidak pula bagi orang putih atas orang hitam kecuali dengan takwa. Manusia dari Adam dan Adam dari tanah.” (HR. Ahmad).

Oleh karena itu di dalam kitab Allah tidak terdapat satu ayat pun yang memuji seseorang karena nasabnya dan tidak pula mencela seseorang karena nasabnya, akan tetapi ia memuji karena iman dan takwa dan mencela kekufuran, kefasikan dan kemaksiyatan.

Diriwayatkan secara shahih di ash-Shahih bahwa Nabi saw bersabda, “Empat perkara termasuk perkara jahiliyah pada umatku di mana mereka tidak meninggalkannya: membanggakan keturunan, mencela nasab, niyahah dan meminta hujan dengan bintang-bintang.” (HR. Muslim dari Abu Malik)

Nabi saw menganggap membanggakan nasab termasuk perkara jahiliyah. Jika seorang muslim tidak memiliki keistimewaan atas muslim yang lain hanya karena moyangnya memiliki kedudukan mulia maka bagaimana orang kafir dari ahli kitab bisa memiliki keistimewaan atas kafir lain juga dari ahli kitab hanya karena nenek moyangnya dulu adalah orang-orang beriman?

Ketujuh, dikatakan, ketika para sahabat Rasulullah saw membuka Syam, Irak, Mesir, Khurasan dan lain-lain, mereka makan sembelihan penduduknya, mereka tidak membedakan antara satu golongan dengan golongan yang lain, tidak diketahui dari seorang sahabat pun pembedaan di antara mereka dengan nasab.

Kedelapan, dikatakan, pendapat tersebut berakibat tidak halalnya sembelihan mayoritas ahli kitab karena kita tidak mengetahui nasab kebanyakan dari mereka, kita tidak mengetahui sebelum hari-hari Islam bahwa nenek moyangnya adalah Yahudi atau Nasrani sebelum nasakh dan penggantian dan sudah dimaklumi bahwa kehalalan sembelihan mereka dan wanita-wanita mereka telah ditetapkan oleh al-Qur`an, sunnah dan ijma’. Jika pendapat tersebut mengakibatkan dihapusnya sesuatu yang ditetapkan oleh al-Qur`an, sunnah dan ijma’ maka diketahui bahwa pendapat tersebut batil.

Kesembilan, dikatakan, kaum muslimin di seluruh kota senantiasa dan masih makan sembelihan mereka, barangsiapa mengingkari itu maka dia telah mengingkari ijma’ kaum muslimin.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa yang dimaksud dengan ahli kitab di mana sembelihannya dan wanitanya dihalalkan adalah ahli kitab secara umum, mencakup mereka yang beragama ahli kitab sesudah agama mereka dihapus dengan diutusnya Nabi saw.

Selanjutnya kita akan membicarakan masalah pernikahan seorang muslim dengan wanita ahli kitab.

Sebelum seorang muslim memutuskan masuk ke dalam lahan ini maka hendaknya dia mengetahui pertimbangan-pertimbangan berikut.

Pertama, bahwa seorang muslim adalah pemimpin keluarga, dia bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya.

Kedua, bahwa seorang muslim wajib menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka.

Ketiga, bahwa seorang muslim wajib berwala` kepada sesama muslim dan berbara` dari semua orang kafir.

Keempat, bahwa seorang muslim wajib menegakkan hukum syariat di dalam rumah tangganya.

Kelima, bahwa maksud dari rumah tangga adalah terwujudnya ketenangan, kasih sayang dan ketenteraman.

Dengan dasar lima pertimbangan ini maka dalam masalah menikah dengan wanita ahli kitab, seorang muslim harus memperhatikan beberapa perkara berikut.

Pertama, hendaknya wanita ahli kitab tersebut termasuk wanita-waita yang baik-baik yang meyakini diharamkannya perzinahan, dan dia membencinya dalam kondisi apapun. Perkara ini penting, sebab ayat al-Maidah menetapkan kriteria, al-muhshanah, yang berarti wanita suci, baik, menjaga kehormatannya dari najis perbuatan keji, sebab jika tidak maka dia bisa merusak nasab suami yang muslim

Kedua, hendaknya tidak termasuk wanita harbi (yang memerangi Islam) seperti Israel atau negara-negara lainnya yang memusuhi Islam dan kaum muslimin, tidak menyimpan permusuhan dan kebencian kepada Islam dan kaum muslimin. Hal ini berpijak kepada akidah al-wala` wa al-bara` yang merupakan salah satu pondasi akidah Islam.

Ketiga, hendaknya menerima hukum Islam dalam membangun keluarga muslim, berpegang kepada hijab syar’i, mandi junub, haid dan nifas, demi menjaga hak dan kehormatan suami yang muslim, menolak makan babi dan minum khamar, karena ia termasuk perkara yang secara nyata diharamkan, di samping itu bagaimana dia melakukan itu di depan suaminya yang muslim atau anak-anaknya yang muslim.

Keempat, hendaknya tidak mendiktekan sedikit pun dari keyakinannya kepada anak-anaknya, tidak pula adat-adat agamanya yang bertentangan dengan Islam, dia tidak boleh membawa anaknya kepada agamanya, agama anaknya harus mengikuti agama bapaknya yang muslim, hal ini demi menyelamatkannya dari api neraka.

Ini, dan perkara-perkara di atas diletakkan bukan untuk menolak atau melarang atau membatasi sesuatu yang dibolehkan oleh Allah, akan tetapi ia diletakkan semata-mata demi melindungi keluarga muslim, di samping ia juga berpijak kepada prinsip-prinsip syariat yang lurus.