Ada seorang awam yang hidupnya hanya untuk mencari kenikmatan duniawi dan uang dan sama sekali mengabaikan kehidupan akhirat. Dia bekerja sebagai petugas penjualan karcis di salah satu stasiun milik perusahaan transportasi.

Suatu ketika, datang seorang pemuda aktifis dakwah membeli karcis, setelah memberikan karcisnya, tukang karcis itu berkata kepadanya,

”Ongkosnya.?”
Secara bercanda, si pemuda itu menjawab, “Nanti saja, perhitungannya pada Hari Perhitungan.!”
Lalu pemuda itu membayar ongkosnya.

Peristiwa itupun berlalu sekian bulan. Pada suatu hari, saat si pemuda aktifis itu shalat di salah satu masjid, tiba-tiba tukang karcis yang sudah dalam penampilan berbeda; berjenggot tebal dan tampak dari wajahnya tanda-tanda orang bertaqwa dan shalih menyongsongnya sambil mencium jidatnya seraya berkata,
“Masih ingatkah kamu denganku.?”
Si pemuda itu dengan nada minta ma’af menjawab, “Sungguh, saya tidak ingat lagi.”

Si tukang karcis itu berkata lagi kepadanya,
“Aku adalah si penjual karcis yang sempat tidak ingin memberikan karcis padamu gara-gara ucapanmu, ‘Nanti saja, perhitungannya pada Hari Perhitungan’ itu. Sungguh, ucapanmu itu begitu membekas dan membuat jiwaku tersentak sehingga aku banyak berfikir tentang hari yang demikian agung itu. Itulah yang kemudian menggiringku mendapatkan hidayah. Sudah ke berapa tempat aku mencarimu hingga akhirnya aku menjumpaimu di sini.”

Akhirnya, pemuda itu mengucapkan selamat atas hidayah yang telah diraihnya dan keduanya kemudian menjadi dua bersaudara di jalan Allah.

(SUMBER: Qashash Wa Mawâqif Dzât ‘Ibar karya ‘Adil bin Muhammad ‘Al ‘Abdul ‘Aliy, h.9 sebagai yang dinukilnya dari buku Ta`ammulât Ba’da Shalâh al-Fajr karya ‘Abdul Hamîd al-Bilâliy, h.134)