Ulama

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyintai para ulama umat, beradab di depan dan belakang mereka, membela kehormatan mereka, menyebarkan kebaikan-kebaikan mereka, mengambil ilmu dan keterangan mereka dengan dalil yang shahih, mengambil sikap tengah antara dua kelompok:

Kelompok yang bersikap berlebih-lebihan terhadap mereka, mengkultuskan mereka, sehingga seolah-olah mereka tidak salah dan tidak keliru, akibatnya kelompok ini berani mendahulukan perkataan mereka di atas al-Qur`an dan sunnah, sekalipun perkataan tersebut jelas-jelas salah. Kelompok ini berkata, “Selama dalil tersebut tidak datang dan diucapkan oleh syaikh saya, maka ia bukan dalil.” “Pokoknya kalau guru saya bilang, dijamin benar.” Dan ucapan-ucapan senada. Maka lahirlah sikap taashshub berpijak kepada hawa nafsu, kultus buta yang membawa manusia kepada jurang kesesatan.

Kelompok lain berseberangan dengan kelompok pertama, berlebih-lebih dalam merendahkan derajat mereka, tidak menghargai dan tidak menghormati, berani mengaku sederajat dengan mereka di bidang ilmu dan agama, sehingga mereka memandang tidak perlu membaca dan menelaah keterangan mereka, karena dia berslogan, “Kami laki-laki dan mereka juga laki-laki.” Padahal perbandingan mereka dengan para ulama tidak menyamai alih-alih melebihi perbandingan kuku hitam dengan putihnya.

Sementara Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersikap netral di antara kedua kelompok di atas, pertengahan di antara dua kubu yang berlebih-lebihan, mereka mengambil kata-kata para ulama, menghargai dan menghormati mereka, bahwa mereka adalah para pewaris ilmu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka mereka tidak mencari-cari kesalahan mereka dan menyebarkannya, namun semua itu dengan tetap meyakini bahwa mereka adalah manusia yang terkadang benar dan terkadang salah, bila benar maka kata-katanya diambil, bila salah maka ditinggalkan dan semoga Allah mengampuni pemiliknya, karena tidak ada yang ma’shum kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, setiap orang diambil dan ditinggal perkataannya selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ibnu Asakir berkata, “Ketahuilah wahai saudaraku, semoga Allah membimbing kita semua kepada keridhaanNya dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertakwa kepadanya dengan sebenar-benar takwa, bahwa daging ulama itu beracun, kebiasaan Allah dalam membuka aib orang-orang yang merendahkan mereka diketahui.” (Tabyin Kadzib al-Muftari).

Dari Aqidah al-Muslim, Dr Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani.