Iman

Di bidang ini Ahlus Sunnah mengambil jalan tengah di antara Haruriyah (Khawarij) dan Mu’tazilah di satu pihak, Murji’ah dan Jahmiyah di pihak yang lain.

Haruriyah dan Mu’tazilah mengeluarkan pelaku dosa besar dari iman, hanya saja Haruriyah berkata: Dia kafir halal darah dan hartanya. Oleh karena itu mereka memberontak kepada para pemimpin dan mengkafirkan manusia.

Murji’ah dan Jahmiyah berseberangan dengan mereka, katanya: Pelaku dosa besar adalah Mukmin dengan iman yang sempurna, mencuri, berzina, mabok, membunuh, merampok. Kami katakan kepada pelakunya: kamu adalah Mukmin dengan iman yang sempurna sama dengan orang yang menjalankan kewajiban dan yang dianjurkan dan menjauhi larangan-larangan. Kami dan dia adalah sama dalam perkara iman.

Kedua kelompok ini berseberangan dalam memberi nama dan hukum.

Lain lagi Mu’tazilah, mereka berkata: Pelaku dosa besar keluar dari iman tetapi tidak masuk ke dalam kekufuran, dia dalam posisi di antara dua posisi. Kami tidak berani berkata dia kafir kami juga tidak berhak berkata dia Mukmin sementara dia melakukan dosa besar, berzina, mencuri dan minum khamr. Mereka berkata: kamilah yang berbahagia dengan mendapatkan kebenaran.

Sebenarnya kalau mereka berkata: Orang ini tidak sama dengan seorang Mukmin ahli ibadah maka mereka benar. Akan tetapi mereka mengeluarkannya dari iman kemudian menghadirkan satu posisi di antara dua posisi maka ini adalah bid’ah yang tidak berdasar tidak dari kitab Allah dan tidak pula dari Sunnah Rasulullah, semua dalil-dalil menunjukkan bahwa tidak ada satu posisi di antara dua posisi seperti firman Allah, “Dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.” (Saba’: 24).

FirmanNya, “Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (Yunus: 32). FirmanNya, “Dialah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang Mukmin.” (At-Taghabun: 2).

Mana satu posisi di antara dua posisi? Mereka berkata: Dia berada dalam posisi di antara dua posisi sementara dalam hal ancaman mereka menerapkannya, mereka setuju dengan Haruriyah bahwa pelaku dosa besar kekal di Neraka. Adapun di dunia maka mereka berkata: Hukum-hukum Islam berlaku padanya karena inilah dasarnya. Jadi dia di dunia menurut mereka sama dengan Mukmin fasik pelaku kemaksiyatan.

Subhanallah bagaimana kita menshalatkannya? Bagaimana kita berkata: Ya Allah ampunilah dia sementara dia kekal di Neraka. Semestinya mereka berkata tentang hukum-hukum dunia, “Perkaranya tidak dihukumi, tidak dikatakan Muslim juga tidak dikatakan kafir. Kami tidak memberinya hukum Islam dan tidak pula hukum kafir. Apabila dia mati maka kita tidak menshalatkannya, tidak menkafaninya, tidak memandikannya, tidak menguburkannya bersama kaum Muslimin dan tidak menguburkannya bersama orang-orang kafir, jadi kita mencari kuburan di antara dua kuburan.”

Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah maka mereka bersikap tengah di antara kelompok-kelompok ini, mereka berkata: Orang Mukmin pelaku dosa besar kami namakan Mukmin dengan iman yang berkurang atau kami katakan Mukmin dengan imannya dan fasik dengan dosa besarnya. Inilah keadilan, dia tidak diberi nama iman yang mutlak dan tidak diambil darinya mutlak iman.

Akibat dari ini adalah kita tidak boleh membenci orang fasik secara mutlak dan mencintainya secara mutlak akan tetapi kita mencintainya sebatas iman yang dimilikinya dan membencinya sebatas dosa yang dilakukannya.

Dari Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin.