Ulama adalah orang yang memahami Agama dengan baik dan mengamalkannya. Allah meninggikan derajat ulama dan membedakannya dengan selainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi, jalan yang mereka tempuh merupakan jalan ke surga.

Ibnul Qayyim berkata, “Sabdanya bahwa ulama adalah pewaris para nabi mengandung keutamaan terbesar bagi para ulama, para nabi adalah makhluk Allah terbaik, maka pewaris para nabi adalah makhluk Allah terbaik setelah mereka, manakala setiap warisan orang yang mati berpindah kepada ahli warisnya karena merekalah yang menggantikan posisinya setelahnya sementara tidak ada penerus para rasul dalam menyampaikan ajaran yang mereka bawa kecuali para ulama maka mereka paling berhak terhadap warisan mereka. Ini membuktikan bahwa para ulama adalah orang-orang terdekat kepada para nabi karena warisan hanya didapat oleh orang yang paling dekat kepada mayit hal ini sebagaimana ia berlaku untuk warisan dinar dan dirham, ia juga berlaku dalam warisan nubuwah dan Allah mengkhususkan rahmatNya kepada siapa yang dikehendaki.”

Lanjut Ibnul Qayyim, “Hadits ini juga mengandung petunjuk dan perintah kepada umat agar menaati, menghormati, mendukung, menghargai dan memuliakan mereka…. Hadits ini juga mengandung peringatan bahwa menyintai mereka termasuk agama dan membenci mereka bertentangan dengan agama sebagaimana hal itu berlaku untuk apa yang mereka warisi. Begitu pula membenci dan memusuhi mereka berarti membenci dan memusuhi Allah sebagaimana hal itu berlaku pada apa yang mereka warisi.”

Menghormati dan memuliakan ulama berarti memuliakan Allah Taala sebagaimana dalam hadits Abu Musa al-Asyari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Di antara bentuk penghormatan kepada Allah adalah memuliakan muslim yang beruban, pembawa al-Qur`an yang tidak berlebih-lebihan padanya dan tidak meremehkannya serta memuliakan sultan yang berlaku adil.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud hadits 4843, dihasankan oleh al-Albani di Shahih at-Targhib wa at-Tarhib 1/44.

Bila menghormati para ulama diperintahkan, maka sebaliknya menghina dan merendahkan mereka dilarang. Al-Ghazali menyatakan bahwa menghina berarti merendahkan, menonjolkan aib dan kekurangan sehingga mengundang bahan tertawaan, bisa dengan menirukan perkataan, perbuatan, isyarat dan tanda.

Menghina ahli ilmu dan orang-orang shalih adalah salah satu sifat orang-orang kafir sekaligus salah satu ciri orang-orang munafik sebagaimana hal itu ditetapkan oleh al-Qur`an, salah satunya adalah firman Allah, “Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 211).

Firman Allah tentang orang-orang munafik, “Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, ‘Kami telah beriman.’ Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.” (Al-Baqarah: 14).

Musuh-musuh Islam dari kalangan orang-orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang munafik zaman ini, para pengekor mereka berusaha memperburuk citra ulama dan meruntuhkan kedudukan mereka dalam jiwa umat.

Tercantum dari protokol tujuh belas milik orang-orang Yahudi, “Kami memiliki perhatian besar untuk meruntuhkan kehormatan orang-orang agama dari selain orang-orang Yahudi di mata manusia, dengan itu kami berhasil merusak risalah mereka yang bisa menjadi batu sandungan yang menghadang jalan kami, pengaruh orang-orang agama hari demi hari semakin melemah di mata manusia.”

Mereka berusaha mati-matian demi hal tersebut, mereka menyusun strategi-strategi besar demi menghalang-halangi dan memadamkan agama ini melalui serangan yang diarahkan kepada para pembawa Islam, dai-dai dan ulama-ulamanya, konspirasi-konspirasi ini telah memetik buahnya yang pahit sebagaimana ia bisa disaksikan pada tubuh umat. Media-media informasi di negeri-negeri muslim dan lainnya menjadi pelopor serangan ganas ini terhadap ulama Islam. Muncul penghinaan terhadap para ulama dan orang-orang shalih melalui berbagai media, orang-orang rendahan dari para pemuja syahwat dan syubhat menantang dengan sombong kedudukan ulama dan orang-orang shalih atas nama kebebasan berpendapat dan berpikir orang-orang shalih yang teguh beragama dilecehkan dibawa payung memerangi fundamentalisme dan kekolotan.

Kemungkaran ini menggunung karena didukung oleh beberapa sebab, di samping sebab yang telah dijelaskan di atas, kami menyebutkan sebab lain di antaranya,

Dominasi kebodohan terhadap agama di kalangan kaum muslimin baik kebodohan terhadap kehormatan muslim, keagungan hak dan kedudukannya atau kebodohan terhadap hukum menghina ahli ilmu dan orang-orang shalih, sebab lain yaitu dipinggirkannya syariat Allah Taala di negeri kaum muslimin… misalnya kalau ada seseorang yang murtad lalu dia dihukum sesuai dengan haknya maka tidak akan ada orang dungu menyombongkan diri di hadapan fatwa-fatwa ulama sebagaimana yang kita hadapi saat ini, orang dengan hati yang berpenyakit tidak akan mengejek kesucian dan keteguhan orang yang beragama baik. Cukuplah Allah sebagai penolong kita dan Dia adalah sebaik-baik penolong.