Imam itu menerima dan tunduk

Iman yang shahih menuntut ketaatan dan kepatuhan, penerimaan dan ketundukan. Bila iman seseorang benar, maka imannya ini akan membawanya kepada sikap tunduk dan patuh, taat dan menerima, bukan berpaling dan menolak.

Allah berfirman “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan RasulNya agar Rasul menetapkan hukum di antara mereka adalah ucapan, ‘Kami mendengar dan menaati.’ Dan mereka adalah orang-orang yang beruntung.” ( An-Nur: 51).

Muhammad bin Nashr al-Marwazi tentang makna iman, “Iman kepada Allah adalah kamu mentauhidkanNya, membenarkanNya dengan hati dan lisan, kamu tunduk kepadaNya dan kepada perintahNya dengan menyiapkan keinginan kuat untuk menjalankan perintahNya, menjauhi penolakan, kesombongan dan penentangan, jika kamu melakukan itu berarti kamu menjalankan apa yang Dia cintai dan menjauhi apa yang Dia murkai.”

Lanjut Muhammad bin Nashr, “Imanmu kepada Muhammad saw adalah pengakuanmu kepadanya, pembenaranmu kepadanya dan ketundukanmu kepada apa yang dia bawa, jika kamu mengikuti apa yang dia bawa maka kamu harus menunaikan kewajiban-kewajiban, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, berhenti pada perkara-perkara syubhat dan bersegera dalam kebaikan.”

Ibnu Taimiyah berkata, “Mustahil seseorang beriman dengan iman yang kokoh di dalam hatinya bahwa Allah mewajibkan shalat, zakat, puasa dan haji atasnya lalu seumur hidupnya dia tidak bersujud kepada Allah sekali saja, tidak puasa Ramadhan, tidak berzakat karena Allah, tidak berhaji ke Baitullah. Ini tidak mungkin, ini tidak terjadi kecuali dengan kemunafikan dan kezindikan di dalam hati bukan dengan iman yang shahih, oleh karena itu Allah menyifati orang-orang kafir dengan penolakan terhadap sujud seperti firman Allah Taala, ‘Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.’ (Al-Qalam: 42-43).”

Jika iman berarti ketundukan, respon positif dan penerimaan terhadap agama Allah maka berpaling bertentangan dan menafikan hal itu. Oleh karena itu berpaling total dari agama tidak sejalan dengan iman.

Hukum berpaling

Berpaling menafikan dan bertentangan dengan iman. Allah Taala berfirman, “Dan mereka berkata, ‘Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya).’ Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.” (An-Nur: 47).

Berpaling dari agama Allah Taala dan syariatNya adalah hakikat nifak, firman Allah, “Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul,’ niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya agar tidak mendekatiimu.” (An-Nisa`: 61).

Ibnul Qayyim berkata tentang ayat ini, “Allah menganggap berpaling dari apa yang dibawa oleh rasul dan menoleh kepada selainnya adalah hakikat nifak sebagaimana hakikat iman adalah menjadikannya sebagai hakim, dan menerima hukumnya tanpa kesempitan di dalam dada serta berserah diri kepada ketetapannya dengan ridha, suka rela dan cinta. Ini adalah hakikat iman sedangkan berpaling itu adalah hakikat nifak.”

Di samping itu orang-orang mukmin adalah orang-orang yang tunduk dan patuh, orang-orang yang menjawab dan berserah diri. Adapun berpaling dari agama Allah Taala maka ia termasuk sifat orang-orang kafir dan ciri orang-orang munafik sebagaimana hal tersebut hadir terperinci di banyak ayat al-Qur`an.

Firman Allah Taala, “Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bahagian yaitu al-Kitab (Taurat), mereka diseru kepada Kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum diantara mereka. Kemudian sebagian dari mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi (kebenaran).” (Ali Imran: 23).

Firman Allah Taala, “Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.” (Al-Ahqaf: 3). Wallahu a’lam.