Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan barangsiapa menta’ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (An-Nisa’: 69).

Pendahuluan

Nilai suatu ilmu ditentukan oleh kandungan ilmu tersebut. Semakin besar nilai manfaatnya semakin penting untuk dipelajari. Ilmu yang paling penting adalah ilmu yang mengenalkan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , Sang Pencipta. Sehingga orang yang tidak kenal Allah Subhanahu wa Ta’ala disebut kafir. Adakah yang lebih bodoh daripada orang yang tidak mengenal yang menciptakannya?

Allah menciptakan manusia dengan seindah-indahnya dan selengkap-lengkapnya dibanding dengan makhluk/ciptaan lainnya. Kemudian Allah bimbing mereka dengan mengutus para RasulNya (Menurut hadits yang disampaikan Abu Dzar bahwa jumlah para Nabi sebanyak 124.000 semuanya menyerukan kepada Tauhid (diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam At-Tarikhul Kabir 5/447 dan Ahmad dalam Al-Musnad 5/178-179). Sementara dari jalan sahabat Abu Umamah disebutkan bahwa jumlah para Rasul 313 (diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al-Maurid 2085 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir 8/139) agar mereka berjalan sesuai dengan kehendak Sang Pencipta melalui wahyu yang dibawa oleh Sang Rasul.

Orang yang menerima disebut mu’min, orang yang menolaknya disebut kafir serta orang yang ragu-ragu disebut munafik yang merupakan bagian dari kekafiran.

Begitu pentingnya aqidah ini sehingga Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wasalam, penutup para Nabi dan Rasul membimbing ummatnya selama 13 tahun ketika berada di Mekkah dengan menekankan masalah aqidah ini. Karena aqidah adalah landasan semua tindakan. Dia dalam tubuh manusia ibarat kepalanya. Maka apabila suatu ummat sudah rusak, bagian yang harus direhabilitasi adalah aqidah lebih dahulu. Di sinilah pentingnya aqidah ini. Apalagi ini menyangkut kebahagiaan dan keberhasilan dunia dan akhirat. Dialah kunci menuju Surga.

Aqidah secara bahasa berarti sesuatu yang mengikat. Secara definisi aqidah adalah suatu keyakinan yang mengikat hati manusia dari segala keraguan. Aqidah menurut istilah syara’ (agama) yaitu keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, para Rasul, Hari Akhirat, dan keimanan kepada takdir Allah yang baik maupun buruk. Ini disebut Rukun Iman.

Syariat Islam terdiri dua pangkal utama. Pertama: Aqidah yaitu keyakinan pada rukun iman itu, letaknya di hati dan tidak ada kaitannya dengan cara-cara perbuatan (ibadah). Bagian ini disebut pokok atau asas. Kedua: Perbuatan yaitu cara-cara amal atau ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan seluruh bentuk ibadah . Bagian ini disebut cabang. Nilai perbuatan ini baik buruknya, diterima atau tidaknya bergantung yang pertama, yaitu aqidah. Sehingga syarat diterimanya ibadah itu ada dua, pertama : Ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu berdasarkan aqidah Islamiyah yang benar. Kedua : Mengerjakan ibadahnya sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Ini disebut amal shalih. Ibadah yang memenuhi satu syarat saja, umpamanya ikhlas saja, tetapi tidak mengikuti petunjuk Rasulullah n maka tertolak. Sebaliknya mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saja tapi tidak ikhlas, karena ingin dipuji manusia, umpamanya, maka amal tersebut juga tertolak. Inilah makna yang terkandung dalam firman Allah yang artinya: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutu-kan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi: 110).

Perkembangan Aqidah

Pada masa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri karena masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham, kalaupun terjadi langsung diterangkan oleh beliau.

Namun, pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman -pemahaman baru seperti kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena melakukan tahkim lewat utusan masing-masing yaitu Abu Musa Al-Asy’ari dan Amru bin Ash. Timbul pula kelompok Syiah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan timbul pula kelompok dari Irak yang menolak takdir dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhani yang dibantah oleh Ibnu Umar karena menyimpang dari kebenaran. (Riwayat ini dibawakan oleh Imam Muslim, lihat Syarh Shahih Muslim oleh Imam Nawawi, jilid 1 hal. 126) Para ulama menulis bantahan-bantahan dalam karya mereka. Terkadang aqidah juga digunakan dengan istilah Tauhid, Ushuluddin (pokok-pokok agama), As-Sunnah (jalan yang dicontohkan Nabi Muhammad), Al-Fiqhul Akbar (fiqih terbesar), Ahlus Sunnah wal Jamaah (mereka yang menetapi sunnah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan berjamaah) atau terkadang menggunakan istilah Ahlul Hadits atau Salaf yaitu mereka yang berpegang atas jalan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dari generasi pertama sampai generasi ketiga yang mendapat pujian dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Ringkasnya : Aqidah Islamiyah yang shahih bisa disebut Tauhid, fiqih akbar, dan Ushuluddin. Sedangkan manhaj (methode) dan contohnya adalah Ahlul Hadits, Ahlul Sunnah dan Salaf.

Bahaya Penyimpangan Aqidah

Penyimpangan aqidah yang terjadi pada seseorang berakibat fatal dalam seluruh kehidupannya, bukan saja di dunia tetapi berlanjut sebagai kesengsaraan yang tidak berkesudahan di akhirat kelak. Dia akan berjalan tanpa arah yang jelas, penuh dengan keraguan dan menjadi pribadi yang sakit personaliti. Biasanya penyimpangan itu disebabkan oleh sejumlah faktor di antaranya :

  • Tidak menguasai pemahaman aqidah yang benar karena kurangnya pengertian dan perhatian. Akibatnya berpaling dan tidak jarang menyalahi bahkan menentang aqidah yang benar.
  • Fanatik kepada peninggalan adat dan keturunan. Karena itu dia menolak aqidah yang benar. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang ummat terdahulu yang keberatan menerima aqidah yang dibawa oleh para Nabi yang artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah : 170).
  • Taklid buta kepada perkataan tokoh-tokoh yang dihormati tanpa melalui seleksi yang tepat sesuai dengan argumen Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga apabila tokoh panutannya sesat, maka ia ikut tersesat.
  • Berlebihan (ekstrim) dalam mencintai dan menyanjung orang shalih yang sudah meninggal dunia, sehingga menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau dapat berbuat seperti perbuatan Tuhan. Hal itu terjadi karena anggapan bahwa mereka merupakah penengah (wasithah) antara dia dengan Allah. Kuburan-kuburan mereka dijadikan tempat meminta, bernadzar dan berbagai ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah. Demikian itu pernah dilakukan oleh kaum Nabi Nuh alaihi salam ketika mereka mengagungkan kuburan para shalihin. Lihat Surah Nuh 23 tentang perkataan kaum Nuh, yang artinya: “Dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr.”
  • Lengah dan acuh tak acuh dalam mengkaji ajaran Islam disebabkan silau terhadap peradaban Barat yang materialistik itu. Tak jarang mengagung-kan para pemikir dan ilmuwan Barat serta hasil teknologi yang telah dicapainya sekaligus menerima tingkah laku dan kebudayaan mereka.
  • Pendidikan di dalam rumah tangga, banyak yang tidak berdasar ajaran Islam, sehingga anak tumbuh tidak mengenal aqidah Islam. Padahal Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam telah memperingatkan, yang artinya: “Setiap anak terlahirkan berdasarkan fithrahnya, maka kedua orang tuanya yang meyahudikannya, menashranikannya, atau memajusikannya” (HR. Al-Bukhari). Apabila anak terlepas dari bimbingan orang tua, maka anak akan dipengaruhi oleh program televisi yang menyimpang, lingkungannya, dan lain sebagainya.
  • Peranan pendidikan resmi tidak memberikan porsi yang cukup dalam pembinaan keagamaan seseorang. Bayangkan, apa yang bisa diperoleh dari dua jam pelajaran dalam, seminggu pada pelajaran agama. Itupun dengan informasi yang kering. Ditambah lagi mass media baik cetak maupun elektronik banyak tidak mendidik ke arah aqidah, bahkan mendistorsinya secara besar-besaran.

Tidak ada jalan lain untuk menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang disebut di atas kecuali dengan mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah yang shahih agar hidup kita dapat berjalan sesuai kehendak Sang Khaliq demi kebahagiaan dunia dan akhirat kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surah An-Nisa’ 69 yang artinya: “Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa’: 69).

Dan firmanNya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97).

Faedah Mempelajari Aqidah Islamiyah

Karena Aqidah Islamiyah bersumber dari Allah yang mutlak, maka kesempurnaannya tidak diragukan lagi. Berbeda dengan filsafat yang merupakan karya manusia, tentu banyak kelemahannya. Faedah yang akan diperoleh orang yang menguasai Aqidah Islamiyah adalah:

  • Membebaskan dirinya dari ubudiyah/ penghambaan kepada selain Allah, baik bentuknya menghamba kepada kekuasaan, harta, pimpinan maupun lainnya.
  • Membentuk pribadi yang seimbang yaitu selalu taat kepada Allah, baik dalam keadaan suka maupun duka.
  • Dia merasa aman dari berbagai macam rasa takut dan cemas. Takut kepada kurang rizki, terhadap jiwa, harta, keluarga, jin dan seluruh manusia termasuk takut mati. Sehingga dia penuh tawakkal kepad Allah.
  • Aqidah memberikan kekuatan kepada jiwa, sekokoh gunung. Dia hanya berharap kepada Allah dan ridha terhadap segala ketentuan Allah.
  • Aqidah Islamiyah adalah asas ukhuwah (persaudaraan) ukhuwah dan persamaan. Tidak berbeda antara miskin dan kaya, antara pejabat dan rakyat jelata, antara kulit putih dan hitam dan antara Arab dan bukan, kecuali takwanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

(Farid Achmad Okbah).