Syubhat Atau Keragu-Raguan Yang Muncul Sekitar Permasalahan Menentang Penguasa Dan Bantahannya

Syubhat Pertama: Menentang Penguasa adalah Wajib Tanpa Melihat Kondisi Lemah.

Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang syubhat ini, “inilah nash aslinya,” (Ket : Dinukil dari kaset rekaman dengan judul “Fitnatut Takfir” milik syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dengan komentar dari Syekh Muhammad Salih Utsaimin, lihatlah buku Fitnatut Takfir halaman 37) Ada syubhat di kalangan para pemuda yang mempengaruhi akalnya, dan menimbulkan pada mereka permasalahan menentang penguasa. Yaitu bahwasanya para penguasa mereka telah mengganti hukum Allah dan membuat undang-undang baru dari mereka sendiri. Mereka tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah padahal hukum Allah ada, bahkan mereka membuat undang-undang baru dari mereka sendiri, sehingga para pemuda menghukumi penguasa tersebut telah murtad dan kafir. Dengan dasar itu mereka menyatakan bahwasanya para penguasa selama mereka dalam keadaan kafir wajib diperangi dan tidak melihat kepada kondisi lemah, karena kondisi lemah ini telah dihapus dengan ayat saif (pedang). (Ket : yaitu firman Allah Ta’ala, “Apabila bulan-bulan haram itu telah selesai maka bunuhlah orang-orang musyrikin… sampai akhir ayat (at-Taubat: 5) Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa ayat al-Qur’an ini adalah ayat saif, yang mana Dhahak Bin Ziham berkata padanya, “Sesungguhnya ayat ini telah menghapus setiap perjanjian antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan setiap orang dari orang musyrikin juga setiap transaksi serta batas waktu, .(Tafsir Al-Qur’an Ibnu Katsir Juz 2 halaman 336) ). Maka tidak ada alasan lagi untuk mengamalkan kondisi lemah (sebagaimana mereka katakan) yang telah dialami oleh orang Muslim waktu di Mekkah. Kami mengharap penjelasan syubhat ini dan jawaban atasnya?

Beliau (Syaikh Ibnu Utsaimin) menjawab tentang syubhat ini dengan menyatakan, “Kita harus mengetahui terlebih dahulu, apakah pemberian sifat murtad itu cocok atau layak bagi mereka ataukah tidak? Hal ini membutuhkan pengetahuan tentang dalil yang menunjukan bahwa perkataan atau perbuatan ini adalah murtad, kemudian menerapkannya pada orang tertentu, dan apakah pada orang tersebut ada keraguan ataukah tidak.

Yakni, suatu nash terkadang menunjukkan bahwa perbuatan ini adalah kufur, dan perkatan ini adalah kufur, namun di sana ada penghalang yang mencegah untuk menetapkan hukum kafir terhadap orang tertentu, dan penghalang-penghalang tersebut banyak di antaranya, prasangka -ini termasuk kebodohan-, kondisi terkuasai atau dikalahkan oleh perasaan tertentu.

Seorang laki-laki yang berkata kepada keluarganya, “Apabila aku mati, bakarlah aku dan tebarkanlah abunya di lautan. Sesungguhnya apabila Allah berkuasa atas aku, maka niscaya Dia akan mengadzabku dengan adzab yang tidak pernah diberikan kepada seorang pun dari makhluk-Nya.” Secara zhahir akidah orang ini kufur karena meragukan kekuasaan Allah Ta’ala, tetapi Allah Ta’ala ketika mengumpulkannya dan berkata kepadanya, orang tersebut menjawab, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku takut kepada Engkau, atau perkataan serupa lainnya, maka Allah pun mengampuninya.” (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari no 3291 dan oleh Imam Muslim no 2757 dari Abi Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu.) Maka perbuatan ini merupakan takwil dari orang tersebut.

Yang serupa dengan hal tersebut itu adalah orang yang dikuasai oleh perasaan bahagia, kemudian ia menemukan untanya sambil berkata, “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku adalah Tuhan-Mu.” Perkataan ini adalah kufur, tetapi orang yang menyatakan ini tidak kafir karena ia sedang dikuasai perasaan bahagia. Karena ia dikuasai perasaan bahagia maka perkataannya menjadi salah, sebenarnya ia hendak menyatakan, “Ya Allah, Engkaulah Tuhanku dan aku hamba-Mu.” (Ket : Dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 6309 dan oleh Imam Muslim No. 2747 dari Annas Bin Malik y. Ibnul Qayim 5 berkata: dan di dalam hadits terdapat kaidah ilmu, “Sesung-guhnya lafazh yang salah dikeluarkan oleh lisan seseorang karena perasaan bahagia yang sangat atau perasaan marah yang sangat atau yang lainnya, maka ia tidak disiksa dengan sebab perkataannya, “Engkau hambaku dan aku adalah tuhan-Mu.”)

Orang yang dipaksa pada kekufuran, maka ia mengatakan perkataan kufur atau melakukan perbuatan kufur, tetapi ia tidak menjadi kafir karena ada nash al-Qur’an (Ket : Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (ia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (ia tidak berdosa).” (al-Nahl: 106)) karena sebenarnya ia tidak menghendaki dan bukan atas keinginan sendiri.

Dan mereka para penguasa, kita mengetahui bahwa dalam masalah “Syakhshiyah” seperti nikah, warisan, dan yang lainnya, mereka menghukumi dengan apa yang ditunjukkan al-Qur’an sesuai dengan perbedaan madzhab-madzhab. Adapun dalam menghukumi di antara manusia, maka mereka berbeda (dengan apa yang ditunjukkan al-Qur’an).

Mereka memiliki syubhat yang didatangkan atau dibawa oleh sebagian ulama jahat, mereka berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian” (dikeluarkan oleh Imam Muslim no. 2363 dari hadits Aisyah dan Tsabit dari Annas radhiallahu ‘anhu) ini adalah makna umum, maka setiap urusan yang termasuk dalam kategori urusan dunia kita mempunyai kebebasan di dalamnya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.”

Ini adalah syubhat yang tidak diragukan lagi, tetapi apakah bisa dijadikan alasan bagi mereka untuk keluar dari undang-undang Islam dalam melaksanakan hukum Allah, mencegah minuman keras dan yang lainnya?

Walaupun dalam sebagian permasalahan ekonomi mereka memiliki syubhat, maka sesungguhnya ini tidak ada keraguan di dalamnya.

Adapun tentang kesulitan yang dilontarkan, maka dikatakan di dalamnya bahwa jika Allah setelah mewajibkan perang Dia berfirman, “Apabila di antara kalian ada 20 orang yang bersabar, niscaya akan dapat mengalahkan 200 orang dan apabila di antara kalian ada 100 orang niscaya akan dapat mengalahkan 1000 orang dari orang-orang kafir dikarenakan mereka tidak mengerti.” Maka berapakah mereka? Mereka adalah satu berbanding sepuluh.

Kemudian Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sekarang Allah telah meringankan dari kamu sekalian, dan Allah mengetahui bahwa pada kamu sekalian ada kelemahan. Maka apabila di antara kamu sekalian ada 100 orang yang bersabar niscaya akan dapat mengalahkan 200 orang, dan apabila di antara kamu sekalian ada 1000 orang niscaya akan dapat mengalahkan 2000 orang dengan izin Allah, dan Allah bersama orang-orang yang sabar.” (al-Anfal: 65).

Sebagian ulama berkata, “Sesungguhnya itu dalam kondisi lemah dan hukum itu senantiasa berbarengan dengan sebab atau alasannya. Maka setelah Allah mewajibkan atas mereka untuk bersabar dengan keadaan satu berbanding sepuluh, Allah Ta’ala berfirman, “Sekarang Allah telah meringankan atas kamu sekalian dan Allah mengetahui bahwa pada kamu sekalian ada kelemahan.” (al-Anfal: 65).

Kemudian kita mengatakan, “Sesunguhnya kita memiliki nash-nash yang pasti yang menjelaskan dan menerangkan permasalahan-permasalahan ini. Di antaranya firman Allah Ta’ala, “Allah Ta’ala tidak membebani seseorang (dari hamba-Nya) melainkan sesuai dengan kemampuannya”, Maka Allah Ta’ala tidak membebani seseorang dari (hamba-Nya) melainkan sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya, dan Allah Ta’ala berfirman pula, “Maka bertakwalah kamu sekalian kepada Allah Ta’ala sesuai dengan kemampuanmu.” (at-Thaghabun: 16).

Maka apabila kita tetapkan bahwasanya tindakan keluar atau menentang terhadap penguasa sebagaimana yang telah disinggung adalah wajib, sesungguhnya bagi kita tidak wajib, sebab kita tidak mampu menghilangkannya. Maka masalahnya jelas, tetapi hawa nafsulah yang selalu membujuk pemiliknya.

Syubhat Kedua: Hujjah atau dalil dari sebagian orang dalam permasalahan menentang penguasa dengan menggunakan dalil realita sejarah

Syaikh Imam al-Albani telah ditanya tentang syubhat berikut (Ket : kapankah menentang penguasa ini disyari’atkan? Kaset rekaman milik Imam al-Albani no 606.), “Sebagian orang berdalil dengan apa yang terjadi dalam sejarah Islam, sebagaimana kisah Ibnul asy’at dan penentangan para Qurraa’ yang diketuai Said bin Jubair dan orang-orang yang mengikutinya, juga apa yang terjadi pada Aisyah, Zubair dan Thalhah terhadap Ali radhiallahu ‘anhu. Sesungguhnya peristiwa ini dikategorikan penentangan, tetapi apa yang menjadi tujuan mereka tidak terwujud. Walaupun tindakan keluar [penentangan] ini merupakan suatu yang dibolehkan, maka apakah berdalil dengan kisah-kisah yang telah terjadi pada periode pertama ini dibenarkan? Dan apa jawabnya? Karena hal ini sering atau banyak digunakan demi membebaskan atau mengesahkan permasalahan menentang penguasa.”

Imam al-Albani menjawab atas syubhat ini, “Keluar atau menentang penguasa tidak dibolehkan, dan dalil-dalil ini sebenarnya menimpa orang yang berhujjah dengannya dan bukan untuk kemaslahatannya sama sekali. Ada hikmah yang diriwayatkan dari Isa ‘Alaihis Salam, tidak begitu penting bagi kita keshahihan sanadnya tapi yang penting bagi kita adalah keshahihan maknanya, bahwasanya Isa ‘alihis salam pada suatu hari memberikan nasihat kepada para penolongnya dan memberitahukan mereka bahwa ada seorang Nabi yang akan menjadi Nabi terakhir, bahwasanya bersamaan dengan dia akan ada pula nabi-nabi palsu. Mereka bertanya, “Bagaimana kami dapat membedakan Nabi yang sesungguhnya dari Nabi yang palsu?” Maka ia menjawab dengan hikmah yang telah disebutkan, Yaitu dari buahnya kalian akan mengetahuinya.”.

Maka tindakan keluar atau menentang penguasa, baik yang ini ataupun yang itu. Di antaranya adalah keluarnya Aisyah radhiallahu ‘anha, kita Menghukumi tindakan keluar ini dari buahnya, maka apakah buahnya ini ataukah manis?

Tidak diragukan lagi bahwasanya sejarah Islam yang menceritakan kepada kita tentang kisah keluarnya ini dan itu sebenarnya memberitahukan kepada kita bahwa tindakan seperti itu adalah jelek, maka dengan sebab tersebut (tindakan keluar atau menentang penguasa) sudah banyak darah orang Muslim yang ditumpahkan dan disia-siakan dengan tanpa faidah, khususnya yang berkaitan dengan keluarnya Sayidah Aisyah radhiallahu ‘anha. Sayidah Aisyah radhiallahu ‘anha menyesal atas keluarnya ia, dan ia menangis dengan sangat sehingga kerudungnya menjadi basah, dan ia berharap untuk tidak bertindak seperti itu lagi.

Sesungguhnya berhujjah dengan realita sejarah seperti ini:

  • Pertama : Ini adalah merupakan hujjah atas mereka, karena ini tidak mendatangkan faidah.

  • Kedua: Mengapa kita berpegang teguh atau berhujjah dengan keluarnya Said bin Zubair dan tidak mau berhujjah dengan tidak keluarnya para senior dari kalangan sahabat yang hidup pada zamannya seperti Ibnu Umar dan yang lainnya, kemudian diikuti oleh para ulama salafus salih, mereka semuanya tidak keluar atau tidak menentang para penguasa.

      Jadi disana ada dua tindakan keluar atau menentang penguasa:

      • Tindakan keluar dalam bentuk pemikiran, dan ini lebih berbahaya.

      • Tindakan keluar dalam bentuk aksi, dan ini merupakan buah dari yang pertama (pemikiran).

      Maka tindakan keluar seperti ini tidak dibolehkan, dan dalil-dalil yang disebutkan tadi adalah dalil atas mereka dan bukan merupakan dalil bagi mereka.

      Syubhat Ketiga: Penentangan Husain bin Ali radhiallahu ‘anhu

      Syekh Ibnu Jibrin ditanya tentang syubhat ini, nashnya sebagai berikut:

      “Dalam akidah Ahli Sunnah dikatakan, “Kita tidak boleh keluar dari penguasa,” maka bagaimana engkau menafsirkan perkataan ini dengan perbuatan Husain bin Ali radhiallahu ‘anhu ketika ia keluar atau menentang terhadap salah seorang khalifah Umawiyah? (Ket : Majmu Fatawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin al-Akidah Juz 8.)

      Maka beliau menjawab tentang syubhat ini:

      • Pertama: Bahwasanya Husain radhiallahu ‘anhu telah bersalah dengan tindakan keluarnya, dan terjadilah apa yang telah terjadi dari pembunuhan dirinya dan orang-orang yang bersamanya.

      • Kedua: Bahwasanya Husain radhiallahu ‘anhu tidak membai’at Khalifah Yazid bin Muawiyah ketika itu, karena telah tersebar luas atau masyhur bahwasanya Yazid bin Muawiyah orangnya tidak punya malu dan bermaksiat, ia meminum khomr (arak), dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mendorong Husain, Ibnu Zubair dan banyak dari orang-orang Mekkah untuk tidak membai’atnya.

      • Ketiga: Bahwasanya penduduk Irak yang menulis surat kepada Husain dan memintanya untuk datang kepada mereka untuk membai’atnya sebagai Khalifah, mereka tidak membai’at Yazid, maka mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami pasti akan membai’atmu wahai Husain, dan kamu akan menjadi khalifah sebagai pengganti ayahmu. kamu tinggal bersama kami dan kami akan menolong serta memperkuatmu”. Tetapi mereka tidak menepati hal itu, bahkan mereka berpaling darinya ketika datang kepadanya kelompok tentara yang akan membunuhnya.

      Syubhat Keempat: Keluarnya Mahdi al-Muntadzar pada akhir zaman

      Syekh Ibnu Jibrin ditanya tentang syubhat berikut:

      Ketika Mahdi al-Muntadzor keluar pada akhir zaman nanti apakah dikatagorikan menentang atau berpaling dari penguasa pada zaman itu? Padahal menentang penguasa tidak diperbolekan ? (Ket : Majmu Fatawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin al-Akidah juz 2).

      Beliau menjawab, “Tidak demikian. Dikatakan, ‘Mahdi al-Muntadzor akan keluar atau turun pada waktu di mana waktu tersebut tidak ada pemimpin, dan ini telah disepakati, Mahdi al-Muntadzor ketika itu sebagai seorang alim yang diikuti karena ilmunya. Dan para pemimpin sebagai pelaksana sebagaimana pada kebanyakan zaman, maka banyak sekali zaman di mana para pemimpin atau Khalifah berada pada posisi sebagai pelaksana atau penegak bagi hukum-hukum, dan ia memiliki para ulama, masyayikh (syaikh-syaikh) dan yang lainnya yang mana posisinya sebagai petunjuk bagi para pemimpin yang mengarahkannya dan menunjukannya pada dalil, sehingga para pemimpin dengan peranannya melaksanakan perintah dan yang lainnya (dari para ulama), maka boleh jadi Mahdi al-Muntadzor seperti itu, dan disana juga ada para pemimpin yang melaksanakan apa yang dikatakan para ulama, Wallahu A’lam.