Tanya :

Saya berangkat dari Saudi ke negara saya, ketika sampai di rumah saya sedang tidak puasa sementara keluarga saya sedang puasa, lalu saya memaksa isteri saya untuk berhubungan badan. Bagaimana hukumnya bagi masing-masing kami?

Jawab :

Sebagaimana yang diketahui oleh kaum muslimin, baik golongan awam maupun yang khusus, bahwa seorang yang sedang berpuasa tidak boleh melakukan hubungan suami isteri jika puasanya itu puasa wajib, dan bahwa melakukan hubungan suami isteri itu memba-talkan puasa. Jika hubungan badan itu dilakukan pada siang bulan Ramadhan, sementara puasa saat itu adalah puasa wajib, maka di samping qadha ada kaffarahnya, yaitu memerdekakan seorang hamba sahaya, jika tidak menemukan maka puasa selama dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin. Hal ini berdasarkan riwayat yang disebutkan dalam Ash-shahihain dari hadits Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, ia berkata: Ada seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam , ia berkata: “Aku telah binasa wahai Rasulullah” beliau bertanya, “Apa yang telah membinasakanmu?” Laki-laki itu menjawab, “Aku telah menggauli isteriku pada bulan Ramadhan sementara aku sedang puasa.” Maka Nabi Shalallaahu alaihi wasalam berkata, “Apakah kau dapat menemukan seorang hamba sahaya?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau bisa berpuasa selama dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab, “Tidak.” Lalu beliau bertanya lagi, “Apakah engkau bisa memberi makan enam puluh orang miskin?” Ia menjawab, “Tidak.” Kemudian Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dibawakan kurma kepadanya lalu berkata, “Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya.” Laki-laki itu berkata, “Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku? Demi Allah, tidak ada penduduk sekitar yang lebih fakir dariku.” Maka Nabi Shalallaahu alaihi wasalam tertawa lalu berkata, “Ambillah itu lalu berilah makan keluargamu.”( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1936) dalam kitab Ash-Shaum. Muslim (no. 1111) dalam kitab Ash-Shaum. )

Ketentuan hukum bagi yang perempuan pun sama seperti yang laki-laki jika ia mau melakukan itu (tanpa paksaan) sementara ia sedang berpuasa Ramadhan. Adapun jika ia dipaksa, maka ia tidak terkena ketentuan ini, karena paksaan itu dapat menghilangkan ketetapan hukum, hal ini berdasarkan firman Allah:
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.” (Al-Ahzab: 5), juga berdasarkan firman Allah tentang kekufuran;

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” (An-Nahl: 106).

Jika Allah tidak menganggap kufur pada orang yang dipaksa, maka dalam hal selain kekufuran tentu lebih dari itu.
Berdasarkan itu, seorang laki-laki yang baru tiba dari bepergian (safar), lalu memaksa isterinya untuk melakukan hubungan badan, sementara isterinya itu sedang puasa Ramadhan, maka kami katakan: Tidak ada apa-apa atas isterinya karena ia dipaksa dan tidak dapat melepaskan diri dari itu dan tidak dapat mencegahnya.

Adapun bagi si laki-laki itu, maka para ahli ilmu berbeda penda-pat tentang seorang musafir yang ketika sampai ke rumahnya dalam keadaan tidak berpuasa; pakah ia harus menahan diri (seperti yang sedang puasa) atau tidak? Pendapat yang mengatakan bahwa ia harus menahan diri, jika terjadi kasus semacam itu, maka wajib kaffarah atasnya. Dan menurut pendapat yang mengatakan tidak harus menahan diri -ini pendapat yang kuat menurut saya-, jika terjadi kasus semacam itu, maka tidak ada apa-apa atas dirinya, karena ia dibolehkan tidak berpuasa.

Tentang ucapan saya di tengah jawaban ini (jika ia termasuk yang wajib berpuasa), ini sebagai batasan bila saja orang yang berpuasa itu sebenarnya tidak termasuk yang wajib berpuasa, yaitu seperti halnya seorang musafir yang berpuasa pada siang hari bulan Ramadhan, orang yang semacam ini jika mencampuri isterinya dalam statusnya sebagai musafir maka tidak apa-apa walaupun ia sedang berpuasa, hanya saja ia harus mengqadha hari tersebut. Wallahul Muwaffiq.

( “Fatawa Ash-Shiyam” karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin )