Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan bersekutu dengan orang-orang kafir melawan kaum muslimin sebagai salah satu bentuk kekufuran pembatal iman:

Pertama: Allah Taala menjelaskan bahwa barangsiapa melakukan itu maka dia bagian dari mereka yakni termasuk pengikut agama dan keyakinan mereka, hukum mereka berlaku untuknya. Allah berfirman,artinya, “Barangsiapa di antara kamu yang mengangkat mereka sebagai pemimpin maka sesungguhnya orang tersebut termasuk dari golongan mereka.” (Al-Maidah: 51)

Ath-Thabari berkata tentang tafsir ayat ini, “Barangsiapa berwala` kepada mereka dan menolong mereka melawan orang-orang mukmin maka dia termasuk pemeluk agama dan keyakinan mereka, karena tidak ada seseorang yang berwala` kepada seseorang kecuali dia pasti rela kepadanya, kepada agamanya, dan apa yang diyakininya, jika dia telah rela kepadanya dan rela kepada agamanya maka dia memusuhi dan membenci apa yang menyelisihinya, maka hukumnya menjadi hukumnya.”

Al-Qurthubi berkata tentang tafsirnya, “Firman Allah, ‘Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin.’ Yakni mendukung mereka melawan kaum muslimin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka, Allah menjelaskan bahwa hukumnya adalah hukum mereka, ia menghalangi penetapan warisan bagi seorang muslim dari murtad, dan yang mengangkat mereka sebagai pemimpin adalah Ibnu Ubay kemudian hukum ini tetap berlaku sampai Hari Kiamat dalam memutuskan wala`.”

Ibnu Hazm berkata, “Benar jika firman Allah, ‘Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.’ (Al-Maidah: 51) berlaku sesuai dengan zhahirnya, bahwa dia kafir, termasuk kelompok orang-orang kafir. Ini adalah kebenaran yang tidak diperdebatkan oleh dua orang muslim.”

Di samping itu Allah Taala menyebutkan firmanNya setelah ayat ini, “Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Al-Maidah: 51). Di ayat lain Allah berfirman, “Dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (At-Taubah: 23). Maksud dari kezhaliman secara mutlak adalah syirik akbar. Ini menunjukkan bahwa bersekutu dengan orang-orang kafir melawan kaum muslimin adalah keluar dari Islam.

Kedua: Tidak diragukan bahwa bersekutu dengan orang-orang kafir melawan kaum muslimin membatalkan iman dan bertentangan dengannya sama sekali, persekutuan seperti ini berarti kebencian kepada agama Allah, memerangi hamba-hamba Allah yang shalih dan dukungan kepada orang-orang kafir… tidak diragukan bahwa iman tidak mungkin bersatu dengan wala` semacam ini, sebagaimana firman Allah Ta’ala,yang artinya, “Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 80).

Allah menjelaskan bahwa iman kepada Allah, Nabi dan apa yang diturunkan kepada Nabi menuntut meninggalkan berwala kepada mereka, berwala` kepada mereka berarti lenyapnya iman karena tidak adanya tuntutan berarti tidak adanya apa yang menjadi tuntutannya, sebagaimana Allah menetapkan celaan, murka dan kekekalan dalam azab atas orang yang berwala` kepada orang-orang kafir.

Ibnu Taimiyah berkata tentang ayat di atas, “Allah menyebutkan kalimat syarat yang berarti jika syaratnya terwujud maka terwujud pula apa yang menjadi konsekuensinya dengan kata ‘seandainya’ yang menunjukkan lenyapnya konsekuensi syarat jika syaratnya terwujud. Ini menunjukkan bahwa iman tersebut menafikan dan bertentangan dengan pengangkatan mereka sebagai pemimpin, iman dan pengangkatan mereka sebagai pemimpin tidak terkumpul dalam hati, hal tersebut menunjukkan bahwa barangsiapa mengangkat mereka sebagai pemimpin maka dia tidak melakukan iman yang diwajibkan yaitu iman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepadanya.”

Ketiga: Nash al-Qur`an hadir menetapkan bahwa Allah Taala berlepas diri dari orang yang bersekutu dengan orang-orang kafir, Allah Taala berfirman,yang artinya “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” (Ali Imran: 28).

Al-Baidhawi berkata tentang ayat ini, “Dan barangsiapa melakukan itu,” yakni mengangkat mereka menjadi pemimpin, “Niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah,” yakni dari wilayahNya dalam sesuatu yang sah dinamakan wilayah, karena berwala’ kepada dua pihak yang bermusuhan tidak mungkin terjadi.”

Asy-Syaukani berkata tentang tafsir ayat ini, “FirmanNya, ‘Jangan mengambil’ mengandung larangan berwala` kepada orang kafir karena suatu sebab, firmanNya, ‘Dengan meninggalkan orang-orang mukmin’ kalimat ini berposisi sebagai hal yakni meninggalkan orang-orang mukmin kepada orang-orang kafir secara tersendiri atau berpartisipasi dengan mereka, dan makna firmanNya, ‘Niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah’ yakni dari wilayahNya tidak hanya dalam suatu perkara, akan tetapi terlepas dariNya dalam kondisi apapun.”

Keempat: Bersekutu dengan musuh-musuh Allah Taala merupakan kemunafikan dan salah satu sifat orang-orang munafik, salah satu cabang kemunafikan sebagaimana hal tersebut hadir di dalam nash-nash al-Qur`an dalam jumlah yang banyak.

Firman Allah Taala, “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, yaitu orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan adalah kepunyaan Allah.” (An-Nisa`: 138-139)

Firman Allah, “Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, ‘Kami takut akan mendapat bencana’.” (Al-Maidah: 52).

Ibnu Jarir berkata tentang tafsir ayat terakhir ini, “Ini adalah berita tentang beberapa orang munafik yang berwala` kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani padahal mereka hidup di antara orang-orang mukmin, mereka berkata, ‘kami takut terjadi musibah atas orang-orang Islam dari orang-orang Yahudi dan Nasrani atau dari ahli syirik para penyembah berhala atau dari selain mereka atau ia menimpa orang-orang munafik sehingga kami memerlukan mereka. Ucapan ini bisa saja keluar dari Abdullah bin Ubay dan bisa pula dari selainnya hanya satu yang pasti bahwa ia adalah ucapan orang-orang munafik.”

Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab ditanya tentang seseorang yang menampakkan tanda-tanda nifak dari kalangan orang-orang yang mengklaim Islam, apa yang bersangkutan dikatakan sebagai munafik atau tidak. Beliau menjawab, “Barangsiapa menunjukkan tanda-tanda nifak yang terlihat jelas, seperti dia murtad pada saat musuh bergabung memerangi orang-orang mukmin dan dia lari terbirit-birit pada saat musuh berkumpul seperti orang-orang yang berkata, ‘Kalau kami mengetahui peperangan niscaya kami mengikuti kalian.’ Jika orang-orang musyrik menang maka dia berlindung kepada mereka, terkadang dia memuji orang-orang musyrik berwala` kepada mereka dengan meninggalkan orang-orang mukmin dan tanda-tanda lain yang sepertinya yang dinyatakan Allah bahwa ia merupakan tanda-tanda nifak dan sifat-sifat orang munafik, maka boleh menetapkan kata nifak untuknya dan menamakannya munafik.” Wallahu a’lam.

Dari Nawaqidhul Iman al-Qauliyah wal Fi’liyah, Dr Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdul Lathif.