Kelompok ini terkenal dengan caciannya dan makian kepada para sahabat Nabi saw selain ahli bait dan orang-orang yang loyal kepada mereka.

Mencaci dan memaki sahabat Nabi saw merupakan salah satu ciri ahli bidah, ia menunjukkan buruk dan busuknya hati pelakunya, jika mencaci seorang muslim merupakan kefasikan, lalu bagaimana dugaanmu dengan mencaci sahabat Nabi saw yang mulia? Di samping ia bertentangan dengan pujian Allah dan sanjungan Rasulullah saw kepada mereka.

Tidak hanya satu dua ayat al-Qur`an dan hadits Nabi saw yang menetapkan pujian dan sanjungan kepada mereka sehingga perkara ini menjadi perkara yang diketahui secara mendasar dalam agama Islam dan disepakati oleh ahli ilmu, mereka menyepakati bahwa para sahabat adalah udul(orang-orang yang adil) tanpa kecuali, sehingga tidak diperlukan kajian terhadap sirahnya untuk mengungkap apakah dia adil atau fasik, para ulama hadits berkata, jahalah ash-shahabi la tadhur artinya ketidaktahuan tentang sahabat tidak merugikan, dalam arti tidak berpengaruh buruk terhadap riwayatnya.

Inilah beberapa dalil yang menetapkan sanjungan dan pujian kepada sahabat Nabi saw

Firman Allah, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100).

Aneh bin ajaib, setelah Allah meridhai para sahabat, hadir orang-orang yang mengaku menyintai keluarga Rasulullah saw dan meyakini bahwa syarat kecintaan tersebut adalah mencaci orang-orang yang diridhai Allah. Cinta model apa ini?

Perhatikanlah ayat di atas wahai pembaca yang budiman, untuk as-Sabiqun al-Awwalun,Allah tidak meletakkan syarat bi ihsan (dengan baik), karena mereka sudah baik, maka syarat tersebut tidak lagi diperlukan, akan tetapi untuk al-Ladzina ittaba’uhum(orang-orang yang mengikuti mereka), syarat ini dicantumkan karena orang yang mengikuti tidak selevel dengan mereka, ada yang bi ihsan dan ada yang tidak bi ihsan.

Firman Allah, “Bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaanNya dan mereka menolong Allah dan RasulNya, mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) menyintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan, dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 8-10).

Dalam ayat ini Allah menyebutkan tiga kelompok: orang-orang Muhajirin, orang-orang Anshar dan orang-orang yang datang setelah mereka, dua kelompok yang pertama sama-sama disanjung dan dipuji, sementara kelompok ketiga dididik bersopan santun kepada dua kelompok yang pertama, yaitu dengan memohon ampun kepada Allah untuk mereka dan membersihkan hati dari kebencian kepada mereka. Barangsiapa tidak demikian maka dia bukan termasuk golongan mereka, dari sini Imam Malik menetapkan bahwa orang-orang Rafidhah tidak berhak atas harta fai`, alasannya karena mereka tidak termasuk ke dalam kelompok yang ke tiga.

Mencaci dan memaki sahabat bertentangan dengan larangan Nabi saw dalam sabdanya saw berikut,

لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِيْ فَوَ الَّذِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَنَصِيفَهُ .

“Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku berada di tanganNya, kalau seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang di antara mereka tidak juga setengahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Hadits ini di ucapkan oleh Nabi saw kepada Khalid bin al-Walid yang mengucapkan kata-kata tidak patut kepada Abdur Rahman bin Auf ketika keduanya berselisih tentang Bani Judzaimah, dan tidak diragukan bahwa Abdur Rahman lebih afdhal dari pada Khalid karena dia mendahului Khalid dalam masuk Islam, lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak seperti Khalid?

Apabila ada seseorang berinfak emas seperti Uhud, maka nilainya tidak menandingi satu mud atau setengahnya yang diinfakkan oleh sahabat, padahal infaknya sama, pemberinya sama dan yang diberi sama, sama-sama manusia akan tetapi manusia tidaklah sama, para sahabat itu memiliki keutamaan, kelebihan, keikhlasan dan ketaatan yang tidak dimiliki oleh selain mereka, keikhlasan mereka besar, ketaatan mereka kuat, maka mereka mengungguli siapa pun dari selain mereka dalam perkara infak. Larangan dalam hadits di atas menunjukkan pengharaman. Tidak halal bagi siapa pun mencela sahabat secara umum tidak pula mencela satu dari mereka secara khusus.

Akibat dari mencaci para sahabat

Buruknya mencaci para sahabat terlihat dari buruknya akibat yang ada di baliknya, mencaci para sahabat berarti mencongkel pondasi agama dari dasarnya sehingga ia akan roboh.

Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah berkata menjelasakan akibat buruk dari mencaci sahabat, beliau berkata, “Sebenarnya mencaci sahabat tidak sekedar pelecehan terhadap mereka, lebih dari itu ia adalah pelecehan terhadap mereka, terhadap Nabi, terhadap syariat Allah bahkan terhadap dzat Allah.

Kalau ia adalah pelecehan terhadap mereka maka ia jelas.
Kalau ia adalah pelecehan Nabi maka karena sahabat adalah orang-orang kepercayaannya dan penerusnya atas umat dalam menghadapi orang-orang buruk, dari sisi lain ia berarti mendustakan Nabi yang telah menetapkan keutamaan dan keistimewaan mereka.

Kalau ia adalah pelecehan terhadap syariat Allah maka karena merekalah perantara antara kita dengan Rasulullah dalam mengemban syariat, jika keadilan meriwayatkan gugur maka tidak ada lagi kepercayaan dalam syariat yang mereka sampaikan. Kalau ia adalah pelecehan terhadap Allah karena itu berarti Allah mengutus NabiNya dikelilingi oleh manusia-manusia buruk, Allah memilih mereka untuk menyertai Nabi, memikul syariat dan menukilnya kepada umat.
Lihatlah akibat buruk yang begitu besar dari mencaci sahabat.”

Imam azd-Dzahabi dalam al-Kabair hal. 285 menetapkan akibat buruk dari mencaci para sahabat, beliau berkata, “Barangsiapa mencaci atau menyerang mereka maka dia telah keluar dari agama dan menyimpang dari agama kaum muslimin karena menyerang mereka tidak didasari kecuali oleh keyakinan terhadap keburukan-keburukan mereka, kedengkian yang tersembunyi kepada mereka, pengingkaran terhadap pujian yang Allah sebutkan di dalam kitabNya kepada mereka termasuk pujian Rasulullah saw kepada mereka, penjelasan beliau tentang keutamaan, kemuliaan dan kecintaan mereka.” Sampai beliau berkata, “Menyerang sarana berarti menyerang dasar, melecehkan penukil berarti melecehkan apa yang dinukil, ini jelas bagi orang yang merenungkannya, yang selamat dari kemunafikan, kezindikan dan pengingkaran dalam akidahnya.”