Ketiga: Kiblat

Kiblat sebagai syarat sah shalat tidak diperdebatkan oleh para ulama karena dalil dari al-Qur`an dan sunnah yang menganggapnya sebagai syarat sah shalat jelas dan shahih, tidak sah shalat seseorang yang dengan sengaja mengambil arah selain arah kiblat atau membelakangi kiblat.

Firman Allah, “Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai, palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (Al-Baqarah: 144).

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari al-Barra` bin Azib berkata, “Rasulullah saw shalat ke Baitul Maqdis selama enam atau tujuh belas bulan, beliau menyukai dihadapkan ke Ka’bah, maka Allah menurunkan, ‘Sungguh Kami sering melihat mukamu menengadah ke langit.’ Lalu beliau menghadap ke Ka’bah.”

Gugurnya kewajiban menghadap kiblat

A. Shalat sunnah musafir di atas kendaraan. Shalat ini boleh dilakukan oleh musafir dengan menghadap ke arah berjalannya kendaraan yang dikendarainya, ke arah kiblat atau tidak. Keringanan ini hanya untuk shalat sunnah bagi musafir saja. Adapun shalat wajib maka yang bersangkutan harus turun dari kendaraannya dan menghadap ke kiblat.

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah saw shalat di atas kendaraannya ke arah manapun ia berjalan dan ketika beliau hendak shalat fardhu maka beliau turun dan menghadap kiblat.”

B. Dalam keadaan tidak mampu menghadap kiblat karena takut atau lainnya, maka shalat dilakukan dengan menghadap atau tanpa menghadap kiblat baik shalat fardhu maupun shalat sunnah.

Firman Allah, “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (Al-Baqarah: 239).

Yakni dengan menghadap kiblat dan tidak menghadap kiblat, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Dan jika takutnya telah hilang maka shalat yang dilakukan dengan tidak menghadap kiblat tersebut tidak wajib diulang karena ia telah dilakukan sesuai dengan perintah Allah, jadi ia sah.

C. Dalam keadaan tidak mengetahui arah kiblat, dan yang bersangkutan berusaha untuk mengetahuinya lalu dia shalat ke arah yang menurutnya adalah arah kiblat, tetapi setelah shalat dia mengetahui bahwa arah tersebut bukanlah arah kiblat, dalam kondisi ini shalat tersebut sah, yang bersangkutan tidak wajib mengulangnya, karena dia telah melakukan sebatas apa yang dia mampu maka setelah itu bukan lagi menjadi kewajibannya.

Dalam kelanjutan hadits al-Barra` diatas dia berkata, “Ada seorang laki-laki shalat bersama Nabi saw, setelah shalat dia pulang, dia melewati suatu kaum dari Anshar yang sedang shalat Asar dengan menghadap ke Baitul Maqdis.” Dia berkata, “Maka laki-laki ini bersaksi bahwa dia telah shalat bersama Rasulullah saw dan beliau menghadap ke Ka’bah, maka orang-orang Anshar tersebut berputar sehinga mereka menghadap Ka’bah.”

Kita membaca dalam hadits ini bahwa orang-orang Anshar tersebut tidak mengulang shalat mereka dari awal, akan tetapi mereka hanya berbelok ke Arah kiblat di tengah shalat dan shalat mereka, sebelum mereka berbelok, menghadap kiblat yang salah karena mereka tidak mengetahuinya, meskipun begitu mereka tetap meneruskan shalat. Ini menunjukkan bahwa shalat yang dilakukan dengan menghadap ke arah selain arah kiblat karena tidak tahu atau karena salah tidak perlu diulang.

Keempat: Menutup aurat

Menutup aurat termasuk syarat sah shalat, tidak sah shalat dengan aurat terbuka karena tidak terpenuhinya salah satu syaratnya.

Firman Allah, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al-A’raf: 31).

Memakai pakaian berarti menutup aurat. Ibnu Sa’di berkata, “Yakni tutuplah auratmu pada saat shalat seluruhnya, yang fardhu dan yang sunnah, karena menutupnya adalah perhiasan bagi badan sebagaimana membukanya membuat badan nampak buruk dan jelek.”

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ.

Dari Aisyah bahwa Nabi saw bersabda, “Allah tidak menerima shalat wanita dewasa kecuali kerudung.” (HR. Abu Dawud).

Batasan menutup aurat adalah jika orang yang shalat menutupnya dengan sesuatu yang tidak menampakkan warna kulit, jika dia menutup dengan sesuatu yang demikian maka shalatnya tidak sah karena dianggap belum menutup aurat.

Kelima: Niat

Dasar niat sebagai syarat sah shalat adalah sabda Nabi saw,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ – وَفِي رِوَايَةٍ : بِالنِّيَّاتِ – وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى .

“Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat –dalam sebuah riwayat, dengan niat-niat- dan sesungguhnya masing-masing orang mendapatkan apa yang diniatkannya.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya).

Salah satu fungsi niat adalah sebagai pembeda antara satu shalat dengan lainnya, karena sebagian shalat memiliki kesamaan dalam pelaksanaannya dengan shalat yang lain, jadi diperlukan niat sebagai pembeda antara zhuhur dengan asar misalnya.

Niat sebagai syarat sah shalat cukup ada di dalam hati, tidak perlu dilafazhkan, karena melafazhkannya tidak memiliki dasar dari Rasulullah saw.

Aisyah berkata, “Rasulullah saw memulai shalat dengan takbir.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Nabi saw mengajarkan shalat kepada orang yang shalat dengan buruk, beliau bersabda kepadanya, “Jika kamu berdiri shalat maka bertakbirlah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Jika sebelum takbir ada lafazh niat tertentu, maka Aisyah akan menyampaikannya kepada kita dan Nabi saw pasti akan mengajarkannya kepada laki-laki tersebut. Wallahu a’lam.

(Rujukan Fiqh as-Sunnah Sayyid Sabiq, al-Uddah Bahauddin Abdur Rahman al-Maqdisi)