• Segera bertaubat dengan taubat yang se-benarnya dari semua perbuatan dosa.
  • Menjalankan ibadah haji atau umrah dengan harta yang halal.
  • Memelihara lisan dari dusta, ghibah (mem-bicarakan kejelekan orang lain), mengadu domba dan mengejek orang lain.
  • Mengikhlaskan ibadah haji dan umrahnya semata-mata karena wajah Allah dan hari akhir, serta menjauhi riya’ (mengerjakan ibadah untuk dilihat lalu dipuji orang), sum’ah (mengerjakan ibadah agar didengar dan menjadi terkenal, lalu dipuji orang), dan mufakharah (mengerjakan ibadah untuk kebanggaan).
  • Mempelajari tata cara (manasik) haji dan umrah sebelum mengerjakannya, serta bertanya kepada orang yang berilmu mengenai hal-hal yang sulit baginya.
  • Seorang jama’ah haji boleh memilih salah satu jenis ibadah haji yang diinginkannya, Tamattu’, Qiran atau Ifrad. Namun mengerjakan haji Tamattu’ lebih afdhal bagi mereka yang tidak membawa binatang kurban. Adapun yang datang dengan menggiring/membawa binatang kurban dari negerinya, maka yang lebih afdhal baginya adalah mengerjakan haji Qiran.
  • Jika seorang jama’ah haji khawatir tidak mampu menyelesaikan ibadah haji atau umrahnya karena sakit atau takut, maka hendaknya menyebut persyaratan ketika pertama kali berihram, dengan mengucapkan:

    اَللَّهُمَّ مَحِلِّى حَيْثُ حَبَسْتَنِي

    “Ya Allah, tempat tahallulku dimana Engkau menahanku.”

  • Ibadah haji yang dilakukan oleh seorang anak kecil baik laki-laki atau perempuan adalah sah akan tetapi belum menutupi kewajibannya untuk melaksanakan ibadah haji yang menjadi kewajibannya jika telah baligh (dewasa).
  • Seorang yang berada dalam keadaan berihram dibolehkan untuk mandi, mencuci dan menggaruk kepala jika diperlukan.
  • Seorang wanita boleh menutup wajahnya dengan kain kerudungnya, jika khawatir dilihat oleh kaum lelaki.
  • Dibolehkan mencuci dan mengganti kain ihram.
  • Jika seorang yang sedang berihram memakai pakaian berjahit atau menutup kepala-nya atau memakai minyak wangi karena lupa atau karena kejahilan, maka tidak wajib membayar fidyah baginya.
  • Seorang yang mengerjakan haji Tamattu’ atau umrah, menghentikan bacaan talbi-yahnya setelah tiba di Ka’bah dan sebelum memulai thawafnya.
  • Lari-lari kecil pada tiga putaran pertama, dan memakai kain ihram dengan membuka pundak kanan (al-Idhthiba’) tidaklah disyari’atkan, kecuali pada waktu thawaf Qudum saja. Demikian pula perlu dike-tahui bahwa berlari-lari kecil pada waktu thawaf Qudum tersebut hanya berlaku bagi kaum lelaki, dan tidak berlaku bagi wanita.
  • Jika seseorang merasa ragu pada bilangan thawafnya, apakah telah thawaf 3 putaran atau 4, maka ambillah bilangan terkecil yaitu 3, demikian pula pada waktu sa’i.
  • Termasuk kemunkaran, manakala seorang wanita melakukan thawaf dengan berdan-dan dan memakai wangi-wangian, serta tidak menutup sebagian anggota badannya yang merupakan aurat.
  • Apabila seorang wanita datang bulan/ mengalami haidhnya setelah berihram dan sebelum thawaf di Baitullah, maka tidak dibolehkan thawaf baginya hingga selesai masa haidhnya dan setelah mandi.
  • Haidh dan nifas bukan penghalang bagi seorang wanita yang akan berihram dan dia tetap dianjurkan untuk mandi sebelum ihram.
  • Apabila seorang wanita berihram/berniat untuk melaksanakan haji Tamattu’, kemu-dian diperjalanan atau sebelum thawaf Qudum (thawaf umrah) ia kedatangan haidh, maka dia tetap dalam ihramnya dan tidak boleh thawaf hingga ia bersih.
  • Apabila haidhnya berkelanjutan hingga hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) atau hari Wuquf (tanggal 9 Dzulhijjah), maka dia berniat memasukkan hajinya dalam umrah, serta mengerjakan seluruh manasik haji, dengan demikian ibadah haji yang dikerjakannya adalah Qiran, bukan haji Tamattu’.
  • Seseorang yang tinggal di luar miqat, jika akan mengerjakan haji atau umrah, tidak diperkenankan melewati miqat tanpa berihram.
  • Jama’ah haji yang akan umrah atau haji dengan menumpangi pesawat terbang, harus berihram dari atas pesawat jika pesawat telah mendekati atau akan melintasi lokasi yang sejajar dengan miqat. Hal ini bisa dilaksanakan dengan bantuan informasi dari awak pesawat.
  • Bagi mereka yang menggunakan pesawat terbang, dibolehkan mempersiapkan diri dengan mandi dan memakai pakaian ihram dari rumahnya (masalah ini telah dibahas sebelumnya).
  • Bagi yang tinggal didalam miqat, jika akan haji atau umrah, maka ia berihram dari tempat tinggalnya tanpa harus keluar ke miqat.
  • Apa yang sering dilakukan oleh sebagian jama’ah haji, dimana mereka memperba-nyak umrah dari Tan’im atau Ji’ranah setelah haji atau pada hari-hari penantian sebelum datangnya hari Tarwiyah, adalah perbuatan yang tidak berdasar pada dalil syar’i dan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam , serta para Sahabat beliau. Mereka tidak pernah mengerjakan umrah dua kali atau lebih, dalam satu perjalanan ke Makkah.
  • Tidak dibolehkan meninggalkan ‘Arafah sebelum matahari terbenam, dan ketika meninggalkannya menuju ke Muzdalifah hendaknya berjalan atau mengendarai kendaraan dengan penuh ketenangan.
  • Shalat Maghrib dan ‘Isya’ pada hari ‘Arafah dikerjakan di Muzdalifah.
  • Batu-batu kecil untuk melempar jumrah boleh diambil dari mana saja dan tidak harus mengambil dari Muzdalifah sebagaimana dikerjakan oleh sebagian orang awam.
  • Batu untuk melempar jumrah tidak perlu dicuci, karena hal itu tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dan para Sahabat-nya .
  • Dibolehkan bagi kaum lemah dari kalangan para wanita dan anak-anak atau yang seperti mereka, untuk bertolak dari Muzdalifah ke Mina pada pertengahan atau akhir malam.
  • Jika telah tiba di Mina pada hari ‘Idul Adhha (10 Dzulhijjah), ia menghentikan talbiyah dan melempar jumratul ‘Aqabah sebanyak tujuh lemparan secara berurutan.
  • Ketika melempar jumrah, batu tidak disyaratkan harus tetap berada di tempat lemparan, yang disyaratkan adalah mengenai sasaran lemparan yaitu “sumur lemparan”, bukan tiang yang ditancapkan ditengah sumur.” Dengan demikian, apabila seseorang melempar dan mengenai tiang, namun terpental keluar dan tidak masuk kesumur, maka tidak dihitung satu lemparan.
  • Waktu penyembelihan binatang “hadyu”, berlangsung hingga matahari terbenam pada tanggal 13 Dzulhijjah.
  • “Thawaf Ifadhah” yang juga disebut dengan “thawaf Ziyarah” yang dikerjakan pada hari ‘Ied adalah salah satu rukun haji, tidak sempurna ibadah haji kecuali dengan mengerjakannya. Thawaf ini boleh dikerjakan setelah menginap di Mina (setelah hari-hari Tasyriq).
  • Jama’ah haji yang mengerjakan haji Qiran dan haji Ifrad hanya berkewajiban mengerjakan satu sa’i saja.
  • Yang paling afdhal bagi para jama’ah haji adalah mengerjakan amalan-amalan hari ‘Ied (10 Dzulhijjah) menurut urutan dibawah ini:
    • Melempar jumratul ‘Aqabah.
    • Menyembelih binatang hadyu (bagi mereka yang mengerjakan haji Tamattu’ dan haji Qiran,-Pent).
    • Mencukur gundul atau memotong pendek rambut kepala.
    • Melakasanakan thawaf ifadhah.

    Namun, jika di antara amal-amal ini dikerjakan secara tidak berurutan seperti yang disebutkan, maka tidaklah mengapa.

  • Pekerjaan-pekerjaan yang dengan menyelesaikannya, berarti jama’ah haji telah bertahallul secara sempurna:.
    • Melempar jumratul ‘Aqabah
    • Mencukur/menggunting rambut kepala.
    • Mengerjakan thawaf Ifadhah bersama sa’i.

  • Apabila seorang jama’ah haji ingin mempercepat meninggalkan Mina pada tanggal 12 Dzulhijjah, maka ia harus keluar dari Mina sebelum matahari terbenam.
  • Anak kecil yang lemah dan tidak mampu melempar jumrah, boleh diwakili oleh walinya setelah walinya melempar untuk dirinya.
  • Seorang yang tidak mampu melempar jumrah karena sakit, usia lanjut atau karena hamil, boleh mewakilkannya kepada orang lain.
  • Seorang yang melaksanakan haji Tamattu’ atau Qiran dan bukan penduduk Makkah, wajib membayar/menyembelih binatang hadyu berupa seekor kambing atau 1/7 unta atau 1/7 sapi.
  • Apabila tidak mampu mendapatkan seekor kambing atau 1/7 sapi atau unta, maka wajib berpuasa selama tiga hari pada masa haji dan tujuh hari setelah kembali ke kampung halamannya.
  • Lebih afdhal puasa yang tiga hari itu dikerjakan sebelum hari ‘Arafah, sehingga pada hari Wuquf (9 Dzulhijjah) dia berada dalam keadaan tidak berpuasa, namun jika tidak memungkinkan berpuasa sebelum hari ‘Arafah, maka boleh dikerjakan pada hari-hari Tasyriq (11-12-13 Dzulhijjah).
  • Puasa yang tiga hari ini dan tujuh hari sekembalinya ke kampung halaman boleh dikerjakan secara berurutan atau secara terpisah-pisah.
  • Thawaf wada’ wajib bagi setiap jama’ah haji terkecuali wanita yang sedang haidh atau nifas.
  • Dianjurkan menziarahi Masjid Nabawi di kota Madinah baik sebelum haji atau sesudahnya.
  • Mengusap dinding kamar Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam atau menciumnya atau berthawaf mengelilinginya adalah perbuatan Bid’ah yang munkar, tidak pernah dinukil dari para Salafush Shalih. Dan apabila tujuan tha-wafnya untuk mendekatkan diri kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, maka perbuatan tersebut merupakan syirik besar.
  • Tidak dibolehkan bagi siapapun memohon kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam untuk memenuhi hajatnya atau melepaskannya dari kesulitan karena perbuatan tersebut adalah syirik.
  • Kehidupan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dikuburnya adalah kehidupan di alam Barzakh, tidak seperti kehidupannya ketika sebelum wafat, kehidupan dialam Barzakh (alam penantian) adalah sebuah kehidupan yang tidak diketahui hakikatnya kecuali hanya oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala .
  • Apa yang dilakukan oleh sebagian peziarah berupa do’a di kuburan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam sambil mengangkat kedua tangan menghadap kuburan beliau adalah perbuatan Bid’ah.
  • Ziarah ke makam Rasulullah  bukan merupakan suatu kewajiban atau pun persyaratan dalam melaksanakan ibadah haji, sebagaimana anggapan sebagian orang awam.