Dalam hidup seseorang terkadang mengalami musibah atau kecelakaan yang menyebabkan luka atau patah, sehingga ahli medis membungkus luka atau patah tersebut dengan pembalut khusus untuk menjaga dan membantu kesembuhannya. Luka dan patah tersebut bisa terjadi pada anggota-anggota tubuh yang berkaitan dengan thaharah, sementara seorang muslim tetap harus shalat yang menuntutu thaharah, jika pembalut luka tersebut harus dilepas maka hal itu akan sangat menyulitkan, jika dibasuh maka akan membahayakan, lalu apa yang dilakukan?

Inilah yang dimaksud dengan mengusap pembalut luka, jadi yang bersangkutan tetap bersuci; berwudhu atau mandi sesuai dengan kondisinya, anggota tubuh yang terbungkus tidak perlu dibasuh, cukup diusap, caranya dengan membasahi telapak tangan tidak sampai menetes dan mengusapkannya secara merata pada pembalut tersebut.

Syariat mengusap pembalut ini sejalan dengan prinsip kemudahan yang diletakkan oleh Islam, di mana jika ada kesulitan niscaya ada kemudahan, jika kondisi menyempit maka hukumnya meluas.

Firman Allah, “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78).

Firman Allah, “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.” (Al-Baqarah: 185).

Dan masih banyak lagi ayat-ayat senada.
Mengenai mengusap pembalut luka ini terdapat hadits, Ali berkata, “Salah satu pergelangan tanganku patah, maka Rasulullah saw memerintahkanku agar mengusap pembalut.” (HR. Ibnu Majah dan Al-Baihaqi).

Hadits ini dhaif, Imam an-Nawawi di dalam al-Majmu’ 2/324 berkata, “Mereka bersepakat ia dhaif, karena ia dari riwayat Amru bin Khalid al-Wasithi, para huffazh menyepakati bahwa ia dhaif. Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan lainnya berkata, ‘ Pendusta besar.”

Ada pula hadits Jabir -hadits ini juga tidak kuat- yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Baihaqi tentang seorang laki-laki yang mengalami luka di kepalanya, dia mandi lalu mati, Nabi saw bersabda, “Semestinya cukup baginya bertayamum dan membalut kepalanya dengan kain kemudian dia memngusapnya dan membasuh tubuhnya yang lain.” Ibnu Hajar di dalam Bulugh al-Maram berkata, “Terdapat padanya kelemahan.” Hal yang sama dikatakan oleh an-Nawawi di dalam al-Majmu’, penulis Taudhih al-Ahkam berkata, “Diriwayatkan secara sendiri oleh Zubair bin Khuraiq, ad-Daraquthni berkata, ‘Tidak kuat.”

Kedua hadits ini bisa saling menguatkan dengan asumsi tidak bisa, maka dalil-dalil umum dari ayat-ayat al-Qur`an tentang prinsip kemudahan di dalam syariat menetapkan diizinkannya mengusap pembalut luka atau patah.

Ketentuan-ketentuan yang patut diperhatikan

1- Mengusap pembalut dilakukan dalam keadaan hadats besar dan kecil, yakni dalam wudhu dan mandi.
2- Mengusap pembalut tidak berbatas waktu, waktunya sampai sembuh atau pembalut tersebut dilepas.
3- Pembalut tidak harus dipasang pada saat yang bersangkutan suci, dalam keadaan hadats pun ia tetap bisa dipasang.
4- Pembalut dipasang secukupnya tidak melebihi hajat kebutuhan, jika misalnya cukup dua senti maka cukup dua senti tidak lebih, karena pembalut ini termasuk dharurat dan dharurat diambil sekedarnya.
(Izzudin Karimi)