Masalah ini termasuk salah satu masalah ilmu yang amat besar, diperdebatkan oleh para ulama dahulu dan sekarang. Imam Ahmad ibnu Hanbal mengatakan: “Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, suatu kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam. Diancam hukuman mati jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.”
Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Asy-Syafi’i mengatakan: “Orang yang meninggalkan shalat adalah fasik dan tidak kafir”. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai ancaman hukumannya, menurut Imam Malik dan Asy-Syafi’i: “Diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah: “Diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”. [Hadd, ialah macam hukuman dalam Islam yang ketentuannya telah diatur langsung oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun ta’zir, ialah macam hukuman yang tidak diatur langsung atau belum diatur dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, tetapi diserahkan kepada Waliyyul amr dengan mengikuti kaidah-kaidah tertentu.(Penerjemah)]
Apabila masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan kepada Kitab Allah subhanahu wata’aala dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena Allah subhanahu wata’aala telah berfirman:
وَمَا اختلفتم فِيهِ مِن شَىْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى الله
“Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah.” (Asy-Syura: 10)
Dan berfirman:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى الله والرسول إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بالله واليوم الأخر ذلك خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59).
Oleh karena masing-masing pihak yang berselisih pendapat, ucapannya tidak dapat dijadikan hujjah terhadap pihak lain, sebab masing-masing pihak menganggap bahwa dialah yang benar, sementara tidak ada salah satu dari kedua belah pihak yang pendapatnya lebih patut untuk diterima, maka dalam masalah tersebut wajib kembali kepada juri penentu di antara keduanya, yaitu Kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kalau kita kembalikan perbedaan pendapat ini kepada Al-Qur’an dan Sunnah, akan kita dapatkan bahwa Al-Qur’an maupun Sunnah keduanya menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kufur akbar yang menyebabkan keluar dari Islam.

PERTAMA: DALIL DARI AL-QUR’AN

  • Firman Allah subhanahu wata’aala dalam surat At-Taubah:
    فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصلاة وَءَاتَوُاْ الزكواة فإخوانكم فِي الدين
    “Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama…” (At-Taubah: 11)

  • Dan firmannya dalam surat Maryam:
    فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُواْ الصلاة واتبعوا الشهوات فَسَوْفَ يَلْقَونَ غَيّاً . إِلاَّ مَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صالحا فأولئك يَدْخُلُونَ الجنة وَلاَ يُظْلَمُونَ شَيْئاً.
    “Lalu datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dirugikan sedikitpun.” (Maryam: 59-60)
    Relevansi ayat kedua, yaitu yang terdapat dalam surat Maryam, bahwa Allah berfirman tentang orang-orang yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya: “Kecuali orang yang bertaubat, beriman ..…”. Ini menunjukkan bahwa mereka tatkala menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya adalah tidak beriman.
    Dan relevansi ayat pertama, yaitu yang terdapat dalam surat At-Taubah, bahwa kita dan orang-orang musyrik telah menentukan tiga syarat:

    • Hendaklah mereka bertaubat dari syirik,
    • Hendaklah mereka mendirikan shalat, dan
    • Hendaklah mereka menunaikan zakat.

    Jika mereka bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan shalat dan tidak pula menunaikan zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama dengan kita.
    Begitu pula, jika mereka mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan zakat maka mereka pun bukan saudara seagama dengan kita.
    Persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang atau tidak ada, melainkan jika seseorang keluar secara keseluruhan dari agama; tidak dinyatakan hilang atau tidak ada karena kefasikan dan kekafiran yang sederhana tingkatannya.

Cobalah Anda perhatikan firman Allah subhanahu wata’aala dalam ayat qishash karena membunuh:
فَمَنْ عُفِىَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَىْءٌ فاتباع بالمعروف وَ أَدَاءٌ إِلَيْهِ بإحسان
“Maka barangsiapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik (pula).” (Al-Baqarah: 178)
Dalam ayat ini, Allah menjadikan orang yang membunuh dengan sengaja sebagai saudara orang yang dibunuh, padahal pidana membunuh dengan sengaja termasuk dosa besar yang sangat berat ancaman hukumannya, karena Allah subhanahu wata’aala berfirman:
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمّداً فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ الله عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya.” (An-Nisa’: 93)
Kemudian, cobalah Anda perhatikan firman Allah subhanahu wata’aala tentang dua golongan dari kaum Mu’minin yang berperang:
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ المؤمنين اقتتلوا فَأَصْلِحُواْ بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا على الأخرى فقاتلوا التى تَبْغِى حتى تَفِىءَ إلى أَمْرِ الله فَإِن فَآءَتْ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَهُمَا بالعدل وَأَقْسِطُواْ إِنَّ الله يُحِبُّ المقسطين . إِنَّمَا المؤمنون إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukminin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mu’minin adalah saudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu…”(Al-Hujurat: 9-10)
Di sini Allah menetapkan persaudaraan antara pihak pendamai dan kedua pihak yang berperang, padahal memerangi orang mu’min termasuk kekafiran, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan periwayat lain dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ.
“Menghina seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran.”
Namun kekafiran ini tidak menyebabkan keluar dari Islam, sebab andaikata menyebabkan keluar dari Islam maka tidak akan dinyatakan masih sebagai saudara seiman. Sedangkan ayat suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua belah pihak, sekalipun perang, mereka masih saudara seiman.
Dengan demikian nyatalah bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, sebab jika merupakan suatu kefasikan saja atau kekafiran sederhana tingkatannya (yang tidak menyebabkan keluar dari Islam, maka persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang karenanya, sebagaimana tidak dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang mu’min.

  • Jika ada pertanyaan: Apakah Anda berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan zakat pun kafir, sebagaimana pengertian yang ditunjuk oleh ayat tersebut?
  • Jawab: Orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir, menurut pendapat sebagian ulama, dan inilah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah.
    Akan tetapi, pendapat yang kuat menurut kami bahwa ia tidak kafir, namun diancam hukuman yang berat sebagaimana disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Sunnah, contohnya: disebutkan dalam hadits yang dituturkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyebutkan ancaman hukuman bagi orang yang tidak mau membayar zakat, disebutkan di bagian akhir hadits:
    ثُمَّ يَرَى سَبِيْلَهُ، إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَا إِلَى النَّارِ.
    “… Kemudian ia akan melihat jalannya, menuju ke surga atau ke neraka.”
    Hadits ini diriwayatkan secara lengkap oleh Muslim dalam bab “Dosa orang yang tidak mau membayar zakat”.
    Ini adalah dalil yang menunjukan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat tidaklah kafir, sebab andaikata menjadi kafir tidak ada jalan baginya menuju ke surga.
    Dengan demikian manthuq (yang tersurat) dari hadits ini lebih didahulukan daripada mafhum (yang tersirat) dari ayat dalam surat At-Taubah tadi, karena sebagaimana yang dijelaskan dalam ilmu Ushul Fiqh bahwa manthuq lebih didahulukan daripada mahfum.

KEDUA: DALIL DARI SUNNAH

  • Diriwayatkan dari Jabir ibnu Abdullah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ.
    Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (Hadits riwayat Muslim, dalam Kitab Al-Iman).

  • Diriwayatkan dari Buraidah ibnu Al-Hushaib radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
    اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.
    “Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat; barangsiapa yang meninggalkannya maka benar-benar ia telah kafir.” (Hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah).
    Yang dimaksud dengan kekafiran di sini ialah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara orang-orang mu’min dan orang-orang kafir, dan diketahui secara jelas bahwa aturan kafir bukanlah aturan Islam; Karena itu, barangsiapa yang tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia termasuk golongan orang kafir.

  • Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    سَتَكُوْنُ أُمَرَاءُ، فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ، فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ. قَالُوْا: أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: لاَ مَا صَلُّوْا.
    “Akan ada pemimpin-pemimpin dan di antara kamu ada yang mengetahui dan menolak kemungkaran-kemungkaran yang dilakukannya. Barangsiapa yang mengetahui bebaslah ia; akan tetapi barangsiapa yang rela dan mengikuti, (tidak akan bebas dan tidak akan selamat). Para sahabat bertanya: ‘Bolehkah kita memerangi mereka?’ Jawab beliau: ‘Tidak, selama mereka mengerjakan shalat’.”

  • Diriwayatkan pula dalam Shahih Muslim, dari ‘Auf ibnu Malik radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    خِيَارُكُمْ أَئِمَّتُكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ، وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تَبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ، وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ قَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ.
    “Pemimpinmu yang terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan mereka pun menyukaimu serta mereka mendo’akanmu dan kamu pun mendoakan mereka; sedangkan pemimpinmu yang paling jahat ialah mereka yang kamu benci dan mereka pun membencimu serta kamu melaknati mereka dan mereka pun melaknatimu. “Beliau ditanya: Ya Rasulullah, bolehkah kita memusuhi mereka dengan pedang?” Jawab Beliau: “Tidak, selama mereka mendirikan shalat di lingkunganmu”.

Kedua hadits terakhir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin dengan mengangkat senjata bila mereka tidak mendirikan shalat; dan tidak boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin, kecuali jika mereka melakukan kekafiran yang nyata dimana ada bukti bagi kita dari Allah subhanahu wata’aala, berdasarkan hadits yang dituturkan oleh Ubadah ibnu Ash-Shamith radhiyallahu ‘anhu:
دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ، فَبَايَعْنَاهُ، فَكَانَ فِيْمَا أُخِذَ عَلَيْنَا، أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِيْ مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ. قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajak kami, dan kami pun membai’at beliau. Di antara bai’at yang diminta kepada kami ialah ‘hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan ataupun kemudahan, dan mendahulukan di atas kepentingan diri kami; dan janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan (kepemimpinan) ini’. Sabda beliau “Kecuali, jika kamu melihat kekafiran yang terang-terangan ada buktinya bagi kita dari Allah.”
Atas dasar ini, maka perbuatan mereka meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai alasan untuk menentang dan memerangi mereka dengan pedang adalah kekafiran yang terang-terangan yang ada bukti bagi kita dari Allah.

*****

Tidak ada satu nash pun dalam Al-Qur’an atau Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak kafir, atau dia adalah mukmin. Kalaupun ada, hanyalah nash-nash yang menunjukkan keutamaan tauhid, syahadat “La Ilaha Illallah wa Anna Muhammad Rasulullah”, dan pahala yang diperoleh karenanya. Namun nash-nash tersebut muqayyad (dibatasi) oleh ikatan-ikatan yang terdapat dalam nash itu sendiri yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau disebutkan dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu difahami menurut dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sebab dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat bersifat khusus, sedangkan dalil yang khusus lebih didahulukan daripada dalil yang umum.

Jika ada pertanyaan: Apakah nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat tidak boleh diperlakukan pada orang yang meninggalkannya karena mengingkari hukum kewajibannya?
Jawab: Hal itu tidak boleh, karena akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya:

  • Pertama: Menghapuskan atribut yang telah ditetapkan oleh Allah dan dijadikan sebagai dasar hukum.
    Allah telah menetapkan hukum “kafir” atas dasar meninggalkan shalat, bukan atas dasar mengingkari hukum wajibnya. Dan menetapkan “Persaudaraan seagama” atas dasar mendirikan shalat, bukan atas dasar mengakui hukum wajibnya. Allah tidak berfirman: “Jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidak bersabda: “Batas pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah mengingkari shalat”, atau “Perjanjian antara kita dan mereka ialah pengakuan terhadap kewajiban shalat; barangsiapa yang mengingkari kewajibannya maka dia telah kafir”.
    Seandainya pengertian ini yang dimaksud oleh Allah subhanahu wata’aala dan Rasul-Nya, maka tidak menerima pengertian yang demikian ini berarti menyalahi penjelasan yang dibawa al-Qur’an al-Karim. Allah subhanahu wata’aala berfirman:
    وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الكتاب تِبْيَانًا لّكُلّ شَىْء
    “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu…” (An-Nahl: 89)
    وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذكر لِتُبَيّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزّلَ إِلَيْهِم
    “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka….” (An-Nahl: 44)
  • Kedua: Menjadikan atribut yang tidak ditetapkan oleh Allah sebagai landasan hukum.
    Mengingkari kewajiban shalat lima waktu tentu menyebabkan kekafiran bagi pelakunya, tidak diterima alasan karena tidak mengetahuinya, baik dia mengerjakan shalat atau tidak mengerjakannya.
    Kalau ada seseorang yang mengerjakan shalat lima waktu dengan melengkapi segala syarat, rukun, hal-hal yang wajib dan sunnah, namun dia mengingkari bahwa shalat adalah wajib, tanpa ada suatu alasan apapun baginya dalam hal ini, maka orang itu kafir sekalipun dia tidak meninggalkan shalat.

Dengan demikian jelaslah bahwa tidak benar, jika nash-nash tersebut dikenakan pada orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya. Yang benar ialah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Abi Hatim dalam kitab Sunan, dari ‘Ubadah ibnu Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah berwasiat kepada kita:
لاَ تُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئًا، وَلاَ تَتْرُكُوا الصَّلاَةَ عَمْدًا، فَمَنْ تَرَكَهَا عَمْدًا مُتَعَمِّدًا فَقَدْ خَرَجَ مِنَ الْمِلَّةِ.
“Jangan kamu berbuat syirik kepada Allah sedikit pun, dan janganlah kamu sengaja meninggalkan shalat. Barangsiapa yang benar-benar dengan sengaja meninggalkan shalat maka ia telah keluar dari Islam.”
Demikian pula jika hadits ini kita kenakan pada yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, maka penyebutan kata “shalat” secara khusus dalam nash-nash tersebut, tidak ada gunanya sama sekali. Hukum ini bersifat umum, termasuk zakat, puasa dan haji. Barangsiapa yang meninggalkan salah satu kewajiban tersebut karena mengingkari kewajiban adalah kafir, jika tanpa alasan karena tidak mengetahuinya.
Karena orang yang meninggalkan shalat adalah kafir menurut dalil sam’i atsari (Al-Qur’an dan Sunnah), maka menurut dalil ‘aqli nazhari (logika) pun juga demikian.
Bagaimana seorang dikatakan mempunyai iman, sementara dia meninggalkan shalat yang merupakan sendi agama, dan pahala yang dijanjikan bagi orang yang mengerjakannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman agar segera melaksanakan dan mengerjakannya, serta ancaman terhadap orang yang meninggalkannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk tidak meninggalkan dan melalaikannya. Dengan demikian, apabila seorang meninggalkan shalat, berarti tidak ada lagi iman yang tersisa pada dirinya..

    Jika ada pertanyaan: Apakah kekafiran bagi orang yang meninggalkan shalat tidak dapat diartikan sebagai kufur ni’mat, bukan kufur millah (kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam), atau diartikan sebagai kekafiran yang tingkatannya di bawah kufur akbar, seperti halnya kekafiran yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
    اِثْنَتَانِ بِالنَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ: اَلطَّعْنُ فِي النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ.
    “Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi mereka, yaitu: mencela keturunan dan meratapi orang mati.”
    Dan sabda beliau:
    سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ.
    “Menghina seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran.” Serta sabda beliau lainnya.
    Jawab: Pengertian seperti ini dengan mengacu kepada contoh tersebut tidak benar, karena beberapa alasan:

    • Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara kekafiran dan keimanan, antara orang-orang mu’min dan orang-orang kafir.
      Dan batas ialah sesuatu yang membedakan apa yang dibatasi serta memisahkannya dari yang lain, sehingga kedua hal yang dibatasi berlainan dan tidak bercampur antara yang satu dengan yang lain.

    • Kedua: Shalat adalah salah satu rukun Islam, maka penyebutan kafir terhadap orang yang meninggalkannya berarti kafir yang keluar dari Islam, karena dia telah menghancurkan salah satu sendi Islam; berbeda halnya dengan penyebutan kafir terhadap orang yang mengerjakan salah satu macam perbuatan kekafiran.
    • Ketiga: Di sana ada nash-nash lain yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam.
      Oleh karena itu, kekafiran ini harus difahami sesuai dengan arti yang dikandungnya, sehingga nash-nash itu akan sinkron dan harmonis, tidak saling bertentangan.
    • Keempat: Penggunaan kata kufr berbeda-beda.
      Tentang meninggalkan shalat, beliau bersabda:
      بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ ..
      “(Batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran…”
      Di sini digunakan artikel “al-” dalam bentuk ma’rifah (definite) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kufr ini ialah kekafiran yang sebenarnya, berbeda dengan penggunaan kata “kufr” secara nakirah (indefinite) atau “kafar” sebagai kata kerja, atau bahwa dia telah melakukan suatu kekafiran dalam perbuatan ini, bukan kekafiran mutlak yang menyebabkan keluar dari Islam.
      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab “Iqtidha’ Ash-Shirath Al–Mustaqim”, cetakan As-Sunnah Al-Muhammadiyah, hal. 70 ketika menjelaskan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
      اِثْنَتَانِ بِالنَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ ..
      “Ada dua perkara terdapat pada orang-orang, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi mereka..”
      Beliau mengatakan: “Sabda Nabi, ‘keduanya merupakan kekafiran’, artinya kedua sifat ini adalah suatu kekafiran yang masih terdapat pada manusia. Jadi, kedua sifat ini adalah suatu kekafiran, karena sebelum itu keduanya termasuk perbuatan-perbuatan kafir, tetapi masih terdapat pada manusia. Namun tidak berarti bahwa setiap orang yang terdapat pada dirinya salah satu cabang kekafiran langsung menjadi kafir secara mutlak, kecuali jika pada dirinya terdapat hakekat kekafiran. Begitu pula, tidak setiap orang yang terdapat dalam dirinya salah satu cabang keimanan langsung menjadi mukmin, kecuali dia menegakkan pokok iman yang sebenarnya. Penggunaan kata “al-kufr” dalam bentuk ma’rifah (dengan artikel al-) sebagaimana disebut dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ;
      لَيْسَ بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ أَوِ الشِّرْكِ إِلاَّ تَرْكُ الصَّلاَةِ.
      “Tidak ada (batas pemisah) antara seseorang dengan kekafiran, atau kemusyrikan, kecuali meninggalkan shalat.”
      Berbeda dengan kata “kufr” dalam bentuk nakirah (tanpa artikel al-) yang digunakan dalam kalimat positif.”

    *****

    Apabila telah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, keluar dari Islam, berdasarkan dalil-dalil ini. Maka yang benar adalah pendapat yang dianut oleh Imam Ahmad ibnu Hanbal, yang juga merupakan salah satu pendapat Imam Asy-Syafi’i sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang firman Allah subhanahu wata’aala :
    فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُواْ الصلاة واتبعوا الشهوات
    “Lalu datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya ….” (Maryam: 59)
    Disebutkan pula oleh Ibnu Al-Qayyim dalam “Kitab Ash-Shalah” bahwa pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang ada dalam madzhab Imam Asy-Syafi’i. Ath-Thahaqi pun menukil demikian dari Imam Asy-Syafi’i sendiri.
    Dan pendapat inilah yang dianut oleh mayoritas sahabat. Bahkan banyak ulama yang menyebutkan bahwa pendapat ini merupakan ijma’ (konsensus) para sahabat.
    Abdullah ibn Syaqiq mengatakan; “Para sahabat Nabi berpendapat bahwa tidak ada satupun amal yang bila ditinggalkan menyebabkan kafir, selain shalat.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan Al-Hakim menyatakan shahih menurut persyaratan Al-Bukhari dan Muslim).
    Ishaq ibn Rahawaih, seorang imam terkenal, mengatakan: Telah dinyatakan dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan demikianlah pendapat yang dianut oleh para ahli ilmu semenjak dari zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai sekarang ini bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu alasan sehingga lewat waktunya adalah kafir.”
    Disebutkan Ibnu Hazm, bahwa pendapat tersebut telah dianut oleh Umar, Abdurrahman ibn ‘Auf, Mu’adz ibn Jabal, Abu Hurairah dan para sahabat lainnya. Katanya: “Dan sepengetahuan kami tidak ada seorang pun di antara kalangan sahabat yang menyalahi pendapat mereka itu.” Keterangan Ibnu Hazm ini telah dinukil oleh Al-Mundziri dalam kitab “At-Targhib wa At-Tarhib”, dan ditambahkan dari para sahabat adalah: Abdullah ibnu Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, Jabir ibnu Abdullah, Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhum. Ia berkata lebih lanjut; “Dan di antara para ulama’ yang bukan dari sahabat adalah: Ahmad ibnu Hanbal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abdullah ibnu Al-Mubarak, An-Nakha’i, Al-Hakam ibnu Utaibah, Ayub As-Sikhtiyani, Abu Dawud Ath-Thayalisi Abu Bakar ibnu Abi Syaibah, Zuhair ibnu Harb dan lain-lainnya.”
    Jika ada pertanyaan: Apakah jawaban atas dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak kafir?
    Jawab: Tidak disebutkan dalam dalil-dalil ini bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak kafir, atau mu’min, atau tidak masuk neraka, atau masuk surga, dan semisalnya.
    Siapa pun yang memperhatikan dalil-dalil itu dengan seksama, akan menemukan bahwa dalil-dalil itu tidak keluar dari lima bagian dan kesemuanya tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.

    • BAGIAN PERTAMA : Hadits-hadits dha’if dan tidak jelas, orang yang menyebutkannya berusaha untuk dapat dijadikan sebagai dasar pegangan, namun tidak membawa hasil sama sekali.

    • BAGIAN KEDUA: Pada dasarnya, tidak ada dalil yang menjadi pijakan pendapat yang mereka anut dalam masalah ini.
      Seperti dalil yang digunakan oleh sebagian orang, yaitu firman Allah subhanahu wata’aala :
      إِنَّ الله لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذلك لِمَن يَشَاءُ
      Firman Allah (dalam surah An-Nisa: 48):(مَادُوْنَ ذَلِكَ)
      Artinya: “dosa yang lebih kecil daripada syirik”, bukan “dosa yang selain syirik’, berdasarkan dalil bahwa orang yang mendustakan apa yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya adalah kafir dengan kekafiran yang tidak diampuni, sedangkan dosa orang yang meninggalkan shalat tidak termasuk syirik.
      Andaikata kita menerima firman Allah: (ما دون ذلك)
      Artinya: “dosa yang selain syirik”, niscaya ini pun termasuk dalam bab Al-Amm Al-Makhshush (dalil umum yang bersifat khusus) dengan adanya nash-nash lain yang menunjukkan adanya kekafiran yang disebabkan oleh dosa selain syirik, dan kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam termasuk dosa yang tidak diampuni, sekalipun tidak termasuk syirik.

    • BAGIAN KETIGA: Dalil umum yang bersifat khusus, dengan hadits-hadits yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.
      Contoh: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang dituturkan oleh Mu’adz ibnu Jabal radhiyallahu ‘anhu :
      مَا مِنْ عَبْدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ.
      “Barangsiapa yang bersaksi bahwa ‘tiada sesembahan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya’, niscaya Allah mengharamkannya dari api neraka.”
      Inilah salah satu lafazhnya, dan diriwayatkan pula dengan lafazh seperti ini dari Abu Hurairah, ‘Ubadah ibnu Ash-Shamit dan ‘Atban ibnu Malik radhiyallahu ‘anhum.

    • BAGIAN KEEMPAT: Dalil umum yang muqayyad (dibatasi) oleh suatu ikatan yang tidak mungkin baginya meninggalkan shalat.
      Contohnya: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang dituturkan oleh Itban ibnu Malik radhiyallahu ‘anhu:
      فَإِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِيْ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ.
      “Sesungguhnya Allah mengharamkan terhadap neraka orang yang mengatakan: “Tiada sesembahan yang haq selain Allah’, dengan ikhlas semata-mata mengharapkan perjumpaan dengan Allah.” (Hadits riwayat Al-Bukhari).
      Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang dituturkan oleh Muadz radhiyallahu ‘anhu :
      مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ.
      “Barangsiapa yang bersaksi ‘Tiada Sesembahan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah’ secara jujur dari lubuk hatinya, niscaya Allah mengaharamkannya dari api neraka.” (Hadits riwayat Al-Bukhari).
      Dengan dibatasinya pertanyaan dua kalimat syahadat oleh keikhlasan niat dan kejujuran hati, menunjukkan bahwa shalat tidak mungkin akan diitinggalkan. Karena siapa pun yang jujur dan ikhlas dalam pernyataannya, niscaya kejujuran dan keikhlasannya akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat; dan tentu saja, karena shalat adalah sendi Islam serta media komunikasi antara hamba dan Tuhan.
      Maka apabila ia benar-benar mengharapkan perjumpaan dengan Allah, tentu akan berbuat apa pun yang dapat menghantarkan ke tujuannya itu dan menjauhi apa yang menjadi penghalangnya.
      Demikian pula orang yang bersaksi: “La Ilaha Illallah wa Anna Muhammad Rasulullah” secara jujur dari lubuk hatinya, tentu kejujuran itu akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat dengan ikhlas semata-mata karena Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena hal itu termasuk syarat-syarat syahadat yang benar.

    • BAGIAN KELIMA: Dalil yang disebutkan secara muqayyad (dibatasi) oleh suatu kondisi yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat.
      Contohnya: Hadits riwayat Ibnu Majah, dari Hudzaifah ibnu Al-Yaman, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
      (يَدْرُسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ) – الحديث، وفيه: (وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيْرُ وَالْعَجُوْزُ يَقُوْلُوْنَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهَ الْكَلِمَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ فَنَحْنُ نَقُوْلُهَا).
      “Akan hilang Islam ini sebagaimana akan hilang ornamen yang terdapat pada pakaian… .Dan tinggallah beberapa kelompok manusia, yaitu kaum lelaki dan wanita yang tua renta, mereka berkata: “Kami mendapatkan orang tua kami hanya menganut kalimat “La Ilaha Illallah” ini, maka kami pun menyatakan (seperti mereka)’.”
      Shilah berkata kepada Hudzaifah: “Tidak berguna bagi mereka kalimat “La Ilaha Illallah” bila mereka tidak tahu apa itu shalat, apa itu puasa, apa itu haji, apa itu zakat”. Maka Hudzaifah memalingkan mukanya dengan menjawab: “Wahai Shilah, kalimat itu akan menyelamatkan mereka dari api neraka”. Berulangkali dia katakan seperti itu kepada Shilah dan ketiga kalinya dia mengatakan sambil menatapnya.
      Orang-orang yang selamat dari neraka dengan kalimat syahadat saja, mereka dimaafkan untuk tidak melaksanakan syari’at Islam, karena mereka sudah tidak mengenalnya, sehingga apa yang mereka kerjakan hanyalah apa yang mereka dapatkan saja. Kondisi mereka adalah serupa dengan kondisi orang yang meninggal dunia sebelum diperintahkannya syari’at, atau sebelum mereka mendapat kesempatan untuk mengerjakan syari’at, atau orang yang masuk Islam di negara kafir tetapi sebelum sempat mengenal syari’at ia meninggal dunia.

    Kesimpulannya, bahwa dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa tidak kafir orang yang tidak shalat atau meninggalkannya, tidak dapat mematahkan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Karena dalil-dalil yang mereka pergunakan dha’if dan tidak jelas, atau sama sekali tidak membuktikan kebenaran pendapat mereka, atau dibatasi oleh suatu ikatan yang demikian tidak mungkin shalat ditinggalkan, atau dibatasi oleh suatu kondisi yang menjadi alasan untuk meninggalkan shalat, atau dalil umum yang bersifat khusus dengan adanya nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.

    Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, berdasarkan dalil yang kuat yang tidak dapat disanggah dan disangkal lagi. Untuk itu, harus dikenakan kepadanya konsekuensi hukum karena kekafiran dan riddah (keluar dari Islam), sesuai dengan prinsip “Hukum itu dinyatakan ada atau tidak ada mengikuti illat (alasan)-nya”.