Tiga sahabat karib, sama-sama satu nasib, satu perasaan dan satu penjiwaan, saling menolong, saling membantu bahkan saling mendahulukan kawannya daripada diri sendiri, salah seorang dari mereka kebetulan mempunyai sedikit uang, namun ketika dia hendak menggunakannya, tiba-tiba salah seorang kawannya menulis kepadanya bahwa dia hendak meminjamnya karena desakan kehidupan, maka dia pun mengirimkan uang tersebut kepada kawannya itu, dia rela mengalah demi sang kawan, setelah uang di tangan dan kawan itu hendak menggunakannya, tiba-tiba kawannya yang ketiga menulis kepadanya bahwa dia hendak meminjamnya karena desakan hidup, maka kawan kedua mengirimkan uang itu kepada kawan ketiga tersebut, dia rela mengalah demi kawannya, setelah uang di tangan dan kawan itu hendak menggunakannya, tiba-tiba kawannya yang pertama menulis kepadanya bahwa dia hendak meminjamnya karena desakan hidup, maka kawan ketiga mengirimkan uang itu kepada kawan pertama, betapa terkejutnya kawan pertama, karena uangnya kembali kepadanya secara utuh dengan kantongnya. Benar, ternyata dia adalah pemilik pertama dari uang tersebut.

Al-Waqidi, Muhammad bin Umar al-Waqidi, seorang ahli sejarah yang wafat tahun 207 berkata, “Aku memiliki dua teman, salah seorang dari keduanya adalah Hasyimi, kami seperti satu jiwa, aku ditimpa kesulitan yang berat padahal Id sudah dekat, istriku berkata kepadaku, ‘Kita bisa bersabar menghadapi kesulitan dan kesengsaraan, berbeda dengan anak-anak, hatiku teriris karena kasihan kepada mereka, mereka melihat anak-anak tetangga berhias dan berpakaian bagus di hari raya, sementara anak-anak kita dengan pakaian usang seperti itu, lakukanlah sesuatu sehingga kita bisa membelikan mereka pakaian yang pantas.’

Maka aku menulis kepada kawanku Hasyimi tersebut, aku meminta bantuannya, maka dia mengirimkan kepadaku sebuah kantong bersegel, dia menyatakan bahwa isinya sebanyak seribu dirham, aku belum berbuat apa-apa tiba-tiba kawanku yang lain menulis kepadaku, dia mengadukan kepadaku seperti pengaduanku kepada kawan Hasyimi, maka kantong tersebut aku kirim kepadanya sebagaimana apa adanya dan selanjutnya aku pergi ke masjid, aku bermalam di sana karena aku malu kepada istriku, kemudian aku pulang, ketika aku masuk kepada istriku, dia menganggap baik apa yang aku lakukan sehingga dia tidak menyalahkanku.

Pada saat aku demikian, tiba-tiba temanku Hasyimi datang dengan membawa kantong tersebut seperti sediakala, dia berkata kepadaku, ‘Katakanlah kepadaku dengan jujur, apa yang kamu lakukan terhadap apa yang telah aku kirim kepadamu?” Maka aku menceritakan apa yang terjadi.

Dia berkata, ‘Kamu mengirim surat kepadaku meminta bantuanku, pada saat aku tidak mempunyai selain apa yang aku kirim kepadamu dan selanjutnya aku menulis kepada teman kita meminta bantuan, maka dia mengirimkan kantongku dengan segelnya.’

Al-Waqidi berkata, maka kami memakai seribu dirham secara bersama, kami membaginya menjadi tiga setelah kami menyisihkan seratus dirham untuk istri, berita ini sampai ke telinga al-Makmun, dia memanggilku maka aku menjelaskan beritanya, maka dia memberi kami tujuh ribu dinar, masing-masing dari kami dua ribu dinar dan seribu dinar untuk istri.” (Izzudin Karimi)

Dari Shafahat min Shabr al-Ulama, Abdul Fattah Abu Ghuddah.