Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

 

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

 

“Maka beristiqamahlah kamu, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Huud: 112).

Dalam permulaan ayat ini Allah ‘Azza wa Jalla memperintahkan Rasul-Nya untuk beristiqamah. Maka, tetaplah engkau (Wahai Rasul) istiqamah bersama orang-orang yang bertaubat pada jalan yang benar sebagaimana telah diperintahkan oleh Rabbmu. Janganlah kalian melampaui batas yang Allah berikan atas kalian. Sesungguhnya Rabbmu Maha Melihat semua amal yang kalian kerjakan. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, dan Dia akan memberikan balasan atas semua yang kalian kerjakan. (At-Tafsir al-Muyassar, 4/90).

 

Penafsiran “Istiqamah”

Para salaf –semoga Allah merahmati mereka semuanya-menafsirkan ungkapan tersebut (istiqamah) dengan beberapa penafsiran di mana kesemua penafsiran tersebut benar. Di antara penafsiran yang paling agung adalah istiqamah di atas tauhid dan iman, dan tidak murtad, kembali melakukan kesyirikan. Karena sesungguhnya orang yang mengatakan ‘Rabbku Allah’ kemudian ia beristiqamah di atas hal tersebut, tidak kembali (kepada kesyirikan) dan tidak menjauh (dari keimanan), sungguh ia telah mendapatkan poros istiqamah. Tidaklah istiqamah diperoleh melainkan dengan beristiqamah di atas tauhid (mengesakan Allah) dan iman, menjauhkan diri dari syirik dan dari tindakan melampaui batas, karena hal tersebut merupakan kezhaliman terbesar. Semoga Allah melindung kita darinya. (al-Istiqamah, 1/2).

 

Hati Pondasi Istiqamah

Pondasi istiqamah itu terdapat di dalam hati, maka hati yang istiqamah di atas iman, ia mencitai Allah, takut dan harap kepada-Nya, bertawakkal kepada-Nya, kembali kepada-Nya, rindu kepada-Nya, zuhud di dunia, sangat menginginkan apa yang ada di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, mensyukuri nikmat-Nya, bersabar atas cobaan-Nya, dan ridha terhadap ketetapan-Nya. Karena itu, keistiqamahan hati di atas iman merupakan pokok istiqamah yang Allah perintahkan. Dari pokok istiqamah itulah muncul cabang-cabangnya.

 

Kondisi Hati Harus Selalu Diperiksa

Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya memiliki perhatian yang ekstra terhadap kondisi hatinya, senantiasa memeriksa hal yang menghinggapi dirinya berupa lintasan pikiran, keinginan-keinginan, dan beragam tekad. Ia memandang hal-hal tersebut dengan pandangan yang penuh kewaspadaan; darimanakah hal-hal tersebut mendatanginya? Apakah hal tersebut termasuk perkara yang diperintahkan Allah? Jika demikian maka itu termasuk karunia Allah.

Ataukah hal tersebut termasuk hal yang dilemparkan oleh setan, yang merupakan benih-benih keburukan dan kerusakan  untuk menumbuhkan di dalam hatinya beragam penyakit yang dikehendaki oleh setan untuk membinasakan manusia berupa keinginan untuk menyombongkan diri dan membuat kerusakan di atas muka bumi. Keinginan untuk menyombongkan diri dengan kepemimpinan dan kekuasaan. Sedangkan keinginan untuk menimbulkan kerusakan dengan menuruti dan mengikuti syahwat-syahwat rendahan dan hina, di mana hal-hal itulah yang akan menyesatkan manusia dari jalan istiqamah di dalam kehidupannya di dunia. Kita memohon keselamatan dan afiyat kepada-Nya.

 

Kebahagiaan Akhirat untuk Orang yang Tidak Menginginkan Kesombongan dan Kerusakan

Sedangkan Allah ‘Azza wa Jalla telah menjadikan kehidupan Akhirat untuk orang-orang yang difirmankan-Nya,

 

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِيْنَ لَا يُرِيْدُوْنَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ

 

Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. al-Qashash: 83).

Yakni, Negeri Akhirat itu yang Allah kabarkan tentangnya di dalam kitab-Nya dan dikabarkan oleh Rasul-Nya, yang mengumpulkan semua bentuk kenikmatan, dan segala bentuk yang mengotorinya dan menyusahkan seseorang tersingkir darinya, نَجْعَلُهَا “Kami jadikan”, sebagai tempat menetap yang permanen.

 

لِلَّذِيْنَ لَا يُرِيْدُوْنَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا

 

“untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.”

Yakni, mereka tidak memiliki keinginan sama sekali untuk itu, lalu bagaimana mereka akan berbuat menyombongkan diri di dunia terhadap hamba-hamba Allah dan terhadap kebenaran? (Tidaklah mungkin tentunya, itulah jawabannya).

 

وَلَا فَسَادًا

 

“dan (tidak pula berkeinginan untuk) berbuat kerusakan”, dengan melakukan semua bentuk kemaksiatan apa pun bentuknya.

Bilamana mereka sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menyombongkan diri dan membuat kerusakan di bumi, maka konsekwensi hal tersebut adalah bahwa keinginan mereka hanya diperuntukkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla saja dan yang menjadi target dan tujuan mereka (dalam kehidupan mereka di dunia) adalah Negeri Akhirat, keadaan mereka senantiasa tawadhu‘ (rendah hati) terhadap hamba-hamba Allah ‘Azza wa Jalla, dan tunduk serta patuh terhadap kebenaran dan beramal shaleh. (Taisir al-Karimi ar-Rahman Fii Tafsiiri Kalami al-Mannan, 1/624).

 

Agar Hati Istiqamah

Maka dari itu, kita katakan, agar hati menjadi istiqamah haruslah dibersihkan dari segala keinginan yang rusak dan memenuhinya dengan keinginan-keinginan dan kehendak-kehendak yang penuh dengan keimanan dan lintasan-lintasan pikiran yang selaras dengan syariat Dzat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang menyibukkan pikiran seseorang dengan Akhirat … maka ketika ia berfikir tentang dunia, tentang penciptaan langit dan bumi, ia tahu bahwa tidaklah Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan kesemua ini dengan sia-sia, dan ia pun mensucikan Allah dari hal tersebut,  serta memohon kepada-Nya agar dirinya dilindungi dari siksa Neraka.

 

Berfikir Tentang Kebangkitan

Ia pun berfikir banyak tentang kebangkitannya (setelah kematiannya), berkumpul dan  berdiri dirinya nantinya beserta manusia di hadapan Tuhan semesta alam, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

 

أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوْثُوْنَ . لِيَوْمٍ عَظِيْمٍ . يَوْمَ يَقُوْمُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ

 

“Tidaklah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (Qs.al-Muthaffifin: 4-6).

Di mana matahari kala itu bakal didekatkan jaraknya, sebagaimana sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-,

 

تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُوْنَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيْلٍ

 

Matahari akan didekatkan pada hari Kiamat terhadap semua makhluk hingga berjarak satu mil… (Shahih Muslim, no. 7385).

Sedangkan tak sehelai kain pun yang menempel di tubuh mereka, sebagaimana sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-,

 

“إِنَّكُمْ مَحْشُوْرُوْنَ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا ثُمَّ قَرَأَ “كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيْدُهُ وَعْدًا عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِيْنَ  

 

Sesungguhnya kalian bakal dikumpulkan dalam keadaan tanpa alas kaki, telanjang lagi belum disunat. Kemudian, beliau membaca (firman-Nya yang artinya), Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya. (Qs.al-Anbiya: 104).’” (Shahih al-Bukhari, no. 3349).

 

Berfikir Tentang Penghisaban

Ia pun berfikir banyak tentang penghisaban (perhitungan amal) dan penimbangannya yang akan dilakukan dengan seadil-adilnya, dan akan dibalasi dengan pembalasan yang sempurna, tak sedikitpun dari amal seseorang melainkan akan dibalas-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

 

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِيْنَ

 

Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidaklah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amal itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (Qs. al-Anbiya: 47).

 

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

 

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Qs. az-Zalzalah: 7-8).

 

Berfikir Tentang Shirat

Juga berfikir banyak tentang shirat yang bakal dilalui oleh setiap orang yang merupakan kemestian yang sudah ditetapkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla atas setiap manusia. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

 

وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا 

 

Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi Neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (Qs. Maryam: 71).

Yakni, tidak ada seorang pun di antara kalian, wahai manusia, melainkan mendatangi Neraka dengan melewati shirat yang diletakkan di atas permukaan Jahannam, masing-masing sesuai dengan perbuatannya. Hal itu adalah suatu kemestian, yang telah Allah tetapkan dan putuskan bahwa itu pasti terjadi. (At-Tafsir al-Muyassar, 5/282).

Bagaimana keadaan dirinya kala melewati shirat tersebut? Apakah dirinya bakal selamat kala melewatinya ataukah tidak ? Sungguh ia tidak tahu jawabannya.

Qais bin Abi Hazim –semoga Allah merahmatinya –berkata, “Abdullah bin Rawahah pernah meletakkan kepalanya di atas pangkuan istrinya, lalu ia menangis. Maka, menangislah pula istrinya. Ia pun bertanya (kepada istrinya), ‘Gerangan apa yang menjadikan kamu menangis?’ ‘Aku melihat Anda menangis maka aku pun menangis’ ,jawabnya. Qais pun berkata, ‘(Aku menangis karena) aku ingat firman Allah ‘Azza wa Jalla,

 

وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا

 

‘Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu’, namun aku tidak tahu pasti bakal selamat ataukah tidak?’” (Tafsir al-Quran al-‘Azhim, 5/252).

 

Berfikir Tentang Surga

Juga berfikir tentang Surga dan tentang keadaan penghuninya, kenikmatan yang mereka dapatkan, sebuah kenikmatan yang dijanjikan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk orang-orang yang beriman,

 

وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمٌ

 

“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (Qs. at-Taubat: 72).

Merekalah orang-orang yang bahagia, sebagaimana firman-Nya,

 

وَأَمَّا الَّذِيْنَ سُعِدُوْا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِيْنَ فِيْهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوْذٍ

 

“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam Surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika tuhanmu menghendaki (yang lain) ; sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (Qs. Huud: 108).

 

Berfikir Tentang Neraka

Juga berfikir banyak tentang penghuni Neraka, di mana mereka disiksa dengan beragam siksa yang amat pedih dengan makanan dan minuman mereka, pakain mereka,  dan seluruh kondisi mereka. Merekalah orang-orang yang celaka. Sebagaimana firman-Nya,

 

فَأَمَّا الَّذِيْنَ شَقُوْا فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيْهَا زَفِيْرٌ وَشَهِيْقٌ

 

Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam Neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih).” (Huud: 106).

Pemikiran-pemikiran demikian itulah yang akan membuahkan sikap istiqamahnya hati; karena lintasan-lintasan pemikiran tersebut membuahkan keinginan-keinginan yang menjadikan seorang hamba mencari Surga dan menjauhkan diri dan lari dari Neraka. (al-Istiqamah, 1/5).

 

Pendukung Keistiqamaahan Hati 

1. Keistiqamahan Lisan

Agar hati istiqamah, disamping hal-hal di atas, juga hendaknya didukung dengan keistiqamahan lisan. Karena lisan merupakan pentolan anggota badan setelah hati. Bila lisan istiqamah niscaya hati bakal istiqamah. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda,

 

لَا يَسْتَقِيْمُ إِيْمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيْمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيْمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيْمَ لِسَانُهُ

 

“Tidaklah istiqamah iman seorang hamba sampai istiqamah hatinya, dan tidaklah istiqamah hatinya sampai istiqomah lisannya.” (HR. Ahmad).

Maka dari itu, seorang hamba hendaknya memperhatikan apa yang dikatakannya, hendaknya ia menjauhkan diri dari perkara yang diharamkan Allah ‘Azza wa Jalla berupa dusta, ghibah, adu domba, menghina, berkata-kata keji, menyakiti orang lain dengan lisan, dll. Hendaknya lisannya disibukkan dengan dzikrullah dan bertutur kata yang baik dan benar sebagaimana yang diperintahkan.

 

2. Keistiqamahan Pandangan

Selain didukung dengan keistiqamahan lisan, agar hati istiqamah, juga hendaknya didukung dengan keistiqamahan pandangan mata. Karena, mata merupakan jalan tercepat menuju ke hati dan jalan terpendek menuju kepadanya. Pandangan mata senantiasa akan mewariskan berbolak-baliknya hati dan perubahannya dengan cepat. Maka dari itu, hendaknya seseorang takut dari memandang kepada sesuatu yang diharamkan Allah ‘Azza wa Jalla. Betapa banyak manusia yang kemudian dikuasai oleh setan disebabkan karena pandangan matanya terhadap sesuatu yang diharamkan Allah ‘Azza wa Jalla yang dilakukannya melalui sarana-sarana yang merusak yang dipropagandakan oleh orang-orang yang senang tersebarnya kekejian di tengah-tengah orang-orang yang beriman. (al-Istiqamah, 1/6).

Akhirnya, semoga Allah ‘Azza wa Jalla, Dzat yang membolak balikan hati kita menetapkan dan mengokohkan hati kita untuk tetap istiqamah dalam mentaati-Nya. Amin.

 

(Redaksi)

 

Referensi:

  1. Al-Istiqamah, Dr. Yasir Burhami.
  2. Al-Musnad, Imam Ahmad.
  3. At-Tafsir al-Muyassar, Kumpulan Pakar Tafsir di bawah bimbingan Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh.
  4. Shahih al-Bukhari, Muhammad bin Ismail al-Bukhari.
  5. Shahih Muslim, Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi.
  6. Tafsir al-Quran al-‘Azhim, Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqi.
  7. Taisir al-Karimi ar-Rahman Fii Tafsiiri Kalami al-Mannan, Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.