Marah adalah suatu kondisi yang kadang menimpa manusia, bahkan terkadang manusia tidak dapat menghindarinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewasiatkan kepada seorang laki-laki :

لَا تَغْضَبْ

jangan marah ! (HR. al-Bukhari).

Ibnu Hajar rahimahullah bekata, “Al-Khaththabi berkata, ‘Arti sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam “jangan marah”, adalah “jauhi sebab-sebab marah dan jangan melakukan sesuatu yang mengarah kepadanya.” Sementara marah itu sendiri tidaklah terlarang karena ia adalah tabiat yang tidak akan hilang dari diri manusia (al-Fathul Baariy, X/536).

Akan tetapi, hendaknya seorang muslim memperhatikan adab-adab yang berkaitan dengan marah. Sehingga kemarahannya berpahala. Untuk itu kami akan menyebutkan -dengan pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla– beberapa adab terkait dengan masalah ini.

1. Jangan Marah Kecuali Karena Allah ‘Azza wa Jalla

Jika marah dilakukan karena Allah ‘Azza wa Jalla, niscaya hal itu menjadi sesuatu yang disukai dan pelakunya akan mendapatkan pahala. Kemarahaan itu bergolak dalam hati jika hukum Allah ‘Azza wa Jalla diabaikan dan dilanggar atau perbuatan haram meraja lela. Maka dari itu, hendaklah seorang Muslim tidak marah kecuali karena Allah ‘Azza wa Jalla sehingga ia mendapatkan pahala dalam marahnya. Hendaknya pula ia menjauhi kemarahan karena urusan dunia yang tidak mendatangkan pahala. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

مَا انْتَقَمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ قَطُّ حَتَّى تُنْتَهَكَ حُرُمَاتُ اللهِ فَيَنْتَقِمُ لِلهِ

Demi Allah, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah marah karena urusan pribadi yang beliau hadapi kecuali apabila larangan Allah dilanggar, maka beliau a akan marah karena Allah (HR. al-Bukhari).

2. Menahan dan Meredam Amarah Jika Telah Muncul

Seseorang yang menahan dan meredam amarahnya yang telah muncul disukai oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ

Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memberi maaf orang lain, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Qs. Ali Imran : 134)

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Ayat tersebut bukanlah dalil untuk menghindari marah. Akan tetapi, ketika marah itu memuncak, hendaknya ia menahannya dan meredamnya untuk menghindari tindakan keji. Itulah yang dimaksud (Fathul Baari, X/535).

Menahan amarah akan mendatangkan pahala yang besar, sebagaimana yang diterangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا – وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ – دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُوْرِ مَا شَاءَ

Barangsiapa yang dapat menahan amarahnya, sementara ia dapat meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan segenap makhluk. Setelah itu, Allah menyuruhnya memilih bidadari Surga yang dia kehendaki (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

3. Berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla Ketika Marah

Berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla merupakan tindakan yang paling efektif untuk meredakan dan menghilangkan marah karena sebenarnya marah berasal dari api setan. Kebanyakan manusia lalai akan hal itu ketika marah. Seandainya seseorang mau berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tentu hal itu akan lebih baik baginya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا غَضِبَ الرَّجُلُ فَقَالَ : أَعُوْذُ بِاللهِ سَكَنَ غَضَبُهُ

Jika seseorang yang marah mengucapkan : ‘A’uudzu billah (aku berlindung kepada Allah), niscaya akan reda kemarahannya (HR. Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil, V/4777, as-Sahmi dalam Taariikh Jurjaan (hal.252). Dishahihkan al-Albani dalam Shahiihul Jami’ (695))

Dalam hadis yang lain disebutkan,

اسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ أَحَدُهُمَا فَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى انْتَفَخَ وَجْهُهُ وَتَغَيَّرَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ الَّذِي يَجِدُ, لَوْ قَالَ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

Dua orang laki-laki saling mencela di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Salah seorang dari keduanya marah dan memuncak kemarahannya sehingga memerah dan berubahlah wajahnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat yang jika seseorang mengucapkannya, nicaya akan hilang apa yang ia rasakan, yakni apabila ia mengucapkan : ‘A’uudzu billahi minasy syaithaani rajiim’ (aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk).”

Mereka berkata kepada laki-laki itu, “Apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ?” Ia berkata, “Aku bukan orang gila.” Laki-laki itu pun berkata kepada orang yang menyampaikan nasihat kepadanya, “Pergilah ! (HR. al-Bukhari dan Muslim)

 

Coba Anda perhatikan nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , petunjuk dan anjuran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla dari setan ketika marah. Sebab, setanlah yang menyulut kemarahan pada diri manusia. Lihatlah juga kepada buruknya pengaruh marah sehingga membuat laki-laki tadi menolak perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan enggan memohon perlindungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Pergilah”, adalah ucapan orang itu kepada laki-laki yang menyuruhnya untuk berta’awudz, yakni, maksudnya “Uruslah urusanmu sendiri.” Seolah-olah orang itu seorang kafir atau munafik, atau mungkin juga ia telah dikuasai marah yang mengeluarkannya dari sikap wajar sehingga ia menghardik dan menolak nasehat yang ditunjukkan kepadanya untuk menghilangkan marahnya dengan jawaban yang buruk. Disebutkan bahwa orang Arab tersebut berasal dari pedalaman dan ia mengira bahwa tidaklah ada yang berlindung dari setan melainkan orang gila. Orang itu tidak tahu bahwa marah adalah salah satu kejahatan setan sehingga menyebabkannya keluar dari fithrah (kondisi normal). Setan juga membisiki orang yang marah supaya merusak harta dengan merobek baju, memecah tempat air, menyerang orang yang membuatnya marah, dan sebagainya yang menyebabkannya keluar dari sikap yang wajar (Fathul Baari, X/482).

4. Diam

Diam ketika marah merupakan salah satu perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan nasehat,

عَلِّمُوْا وَيَسِّرُوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا وَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ

Ajarilah, permudahlah, dan janganlah menyusahkan. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam (HR. Ahamd dalam al-Musnad, al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrad, dan Ibnu Adi dalam al-Kamil)

5. Mengubah Posisi Ketika Marah 

Mengubah posisi ketika marah juga merupakan petunjuk dan perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلاَّ فَلْيَضْطَجِعْ

Jika salah seorang di antara kalian marah ketika berdiri, maka hendaklah ia duduk. Apabila marahnya tidak hilang juga, maka hendaklah ia berbaring (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Yang demikian ini –wallahu a’lam– kerena berdiri bisa membuat seseorang cepat marah dan bersitegang daripada duduk. Demikian juga orang yang duduk daripada berbaring. Oleh karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan demikian. Maka seharusnya seorang muslim melakukannya jika ia marah karena sesuatu hal.

6. Berwudhu atau Mandi dan semisalnya

Marah adalah api setan yang berakibat mendidihnya darah dan terbakarnya urat saraf. Maka dari itu, wudhu, mandi, atau yang semisalnya, akan memadamkan api tersebut dan akan menghilangkan amarah serta gejolak darah. Disebutkan dalam banyak atsar (riwayat) para salaf tentang hal tersebut dan pengaruhnya. Sudah banyak pula bukti mengenai kebenarannya sehingga hal itu tidak perlu dibantah lagi. Oleh sebab itu, sebaiknya seorang muslim tidak meninggalkan wudhu saat marah sedang memuncak.

7. Memberi Maaf dan Bersabar

Selayaknya orang yang marah memberikan ampunan bagi orang yang membuatnya marah dan memaafkannya, sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla telah memuji para hamba-Nya,

وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ

… dan jika mereka marah mereka memberi maaf (Qs. asy-Syuura : 37)

Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling lembut, santun, dan pemaaf kepada orang yang bersalah. Bahkan, di antara sifat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang tertera dalam taurat, “… dan ia tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, namun ia memaafkan dan memberikan ampunan…”(HR. al-Bukhari)

8. Jangan Membalas Keburukan dengan Keburukan yang Berlebihan

Jika seseorang bersikeras untuk membalas keburukan, maka janganlah ia membalasnya dengan keburukan yang melebihinya, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ ۖ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ

Jika kamu membalas (menghukum), maka balaslah dengan yang semisal (dengan keburukan) yang telah mereka lakukan, tetapi jika kalian sabar, itu lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (Qs. an-Nahl : 126)

Apabila seseorang dijelek-jelekkan, kemudian ingin membalasnya, maka tidak selayaknya ia berlebihan dalam membalasnya. Apabila melakukan yang demikian, niscaya ia termasuk orang zhalim. Adapun memaafkan dan menyalaminya tentu lebih utama.

Demikian pula di sana terdapat banyak jenis kejahatan yang tidak selayaknya bagi seorang Muslim membalas dengan yang semisalnya. Jika seseorang menuduhnya berbuat serong, maka tidak selayaknya ia membalas cacian tersebut. Begitu pula jika seseorang menuduh ibunya berbuat serong, maka tidak selayaknya ia membalas cacian tesebut. Sebab, perbuatan itu diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Apabila setiap muslim melaksanakan adab sebagaimana disebutkan dalam bab ini-saat marah- tentu hal itu lebih baik bagi mereka, serta akan berkuranglah kesalahan dan dosa yang kerap kali muncul akibat emosi. Selain itu, manusia tidak akan terjerumus ke dalam hal yang diharamkan Allah ‘Azza wa Jalla karena marahnya. Lebih dari itu, niscaya marahnya berpahala.

Wallahu A’lam.

(Redaksi)

Sumber :

Banyak mengambil faedah dari “ Mausu’ah al-Aadaab al-Islamiyyah”, karya : Adul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada. (ei, Jilid 2, hal.249-255).