Penting untuk diketahui bahwa antara Khalik dan makhluk bukanlah pinang yang terbelah. Belahan pinang saja, yang masih semateri, tidak bisa menyatu satu sama lain, maka antara Khalik dan makhluk lebih mustahil lagi. Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Maha Hidup dan yang tidak pernah mengantuk serta tidak tidur, bagaimana mungkin bisa disandingkan terlebih menyatu dengan manusia, makhluk yang pasti akan mati dan terkubur.

 

Nabi Yang Bersahaja

Tapi dalam fakta sejarah, ada saja manusia yang menyakini dan tenggelam dalam doktrin ini, seperti al-Hallaj (wafat 309 H), Ibnul Faridh (wafat 632 H), Ibnu Arabi (wafat 638 H). Di negeri ini tidak asing pula nama Syekh Siti Jenar (Lemah Abang) pada masa kerajaan Demak dengan ajarannya manunggaling kawulo gusti. Inilah fitnah syubhat. Padahal secara akal sehat hal itu tidak mungkin. Terlebih dalam kacamata syariat Islam.

Doktrin wahdatul wujud atau manunggaling kawulo gusti, menyatunya Allah dan makhluk, jelas bertentangan dengan akidah Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri, hamba yang paling mulia dan kekasih-Nya, tidak pernah memposisikan dirinya lebih dari hamba dan utusan-Nya. Ini yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ini pula yang beliau perintahkan kepada umatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan sebagaimana kaum Nashrani berlebihlebihan dalam memuji Nabi Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hambaNya. Maka katakanlah (bahwasannya aku adalah), ‘Hamba Allah dan utusanNya.’” (HR. Bukhari no. 3261)

 

Mengenal Penggalan Akhir Surat Asy-Syura’ Ayat 11

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. asy-Syura’: 11)

Syaikh as-Sa’di berkata, “’Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia’, maksudnya tidak ada sesuatu pun dari makhluk-Nya yang menyerupai dan menyamai-Nya. Baik dalam dzat, nama, sifat, dan perbuatan-Nya. Karena nama-nama Allah semuanya baik, sifat-sifat-Nya semuanya sempurna lagi agung, dan perbuatan-perbuatan-Nya menciptakan makhluk-makhluk-Nya yang mulia tanpa membutuhkan sekutu satu pun. Maka tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Karena Dia satu-satunya yang memiliki kesempurnaan dari segala aspek. ‘Dan Dia Yang Maha Mendengar,’ terhadap semua suara, dengan bahasa yang berbeda, atas beragam kebutuhan. ‘Maha Melihat,’ melihat semut hitam yang berjalan, dalam kegelapan malam gulita, di atas bebatuan yang pekat. Dia juga melihat aliran makanan di dalam organ tubuh hewan-hewan mikroba, dan mengalirnya air di dalam ranting-ranting yang sangat lembut.

Ayat ini dan yang semacamnya adalah dalil bagi Ahlus sunnah wal jama’ah dalam menetapkan sifat-sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menafikan (menolak) penyerupaan makhluk dengan-Nya. Di dalamnya juga berisi bantahan atas sekte Musyabihah, yaitu dalam firman-Nya, ‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia,’ dan bantahan atas sekte Mu’athilah, yaitu dalam firman-Nya, ‘Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.’” (Tafsir asSa’di, hal 754).

Sekte Musyabihah adalah kelompok yang menyerupakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat makhluknya.

Sekte Mu’athilah adalah kelompok yang menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan yang paling ekstrem dari kelompok ini, mereka sampai menolak nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 

Tauqifiyah Dalam Asma’ dan Sifat

Adapun Ahlus sunnah wal jama’ah atau ahlul haq, posisi aqidah mereka berada di tengah-tengah dari dua sekte di atas; yaitu tidak menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya, tapi juga tidak menolak sifat-sifat yang telah ditetapkan kepada diri-Nya.

Ahlus sunnah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada diri-Nya di dalam al-Qur’an dan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada-Nya di dalam sunnah-sunnahnya, dimana nama-nama dan sifat-sifat-Nya sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya. Serta menyucikan Dia dari penyerupaan terhadap makhluk-Nya. Tanpa adanya tahrif (merubah makna yang benar), ta’thil (menolak makna yang benar), takyif (menanyakan hakikat), dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk).

Sehingga nama-nama dan sifat-sifat yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an maupun hadits, tidak boleh dinisbatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena ia bersifat tauqifiyah, yaitu bersumberkan atas wahyu; al-Qur’an dan hadits.

Ketika Rasulullah dalam beberapa kesempatan menyebutkan bahwa jiwanya berada dalam genggaman tangan-Nya, bukan berarti tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti tangan manusia, memiliki jari jemari dan organ-organ di dalamnya. Mahasuci Allah Subhanahu wa Ta’ala dari semua ini. Tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah tangan yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, tidak sama dengan tangan manusia. Dan jari jemari tidak bisa dinisbatkan kepada-Nya, karena hal itu tidak ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik di dalam al-Qur’an maupun hadits.

Menyimpulkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki jari jemari karena memiliki tangan, hanyalah kesimpulan akal dan hasil olah logika. Padahal hakikat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak bisa ditembus oleh akal dan logika, sekalipun ia seorang Rasul, manusia pilihan dan utusan-Nya. Karena itu, kita hanya wajib menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak menyerupakan Dia dengan makhluk-Nya.

 

Berguru Kepada Imam Malik

Perkataan Imam Malik dalam masalah ini sangat lugas dan mudah sekali untuk dicerna. Inilah yang harus kita lakukan dalam mengimani dan memahami sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika ada seseorang menemui Imam Malik, lalu bertanya kepadanya seputar istiwa’. Imam Malik berkata:

اَلِاسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ ، وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، وَاْلإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَمَا أَرَاكَ إِلَّا صَاحِبُ سُوْءٍ، فَأَخْرِجُوْهُ عَنِّيْ

“Kalimat istiwa’ (bersemayam) sudah jelas maknanya, visualisasi/hakikatnya tidak kita ketahui, beriman kepadanya wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Tidaklah aku melihatmu melainkan seorang yang buruk. Maka keluarkanlah ia dari hadapanku.”

Ketika orang ini diusir oleh Imam Malik, orang ini berkata kepadanya, “Wahai Imam Malik! Sungguh masalah ini telah aku tanyakan kepada para penduduk Kufah, Bashrah dan Irak. Tapi aku tidak menemukan seorang pun yang jawabannya sesuai jawabanmu.”

Orang ini sepertinya telah menemukan jawaban dari syubhat yang menyelimuti hatinya. Ia telah mencari jawaban atas syubhat itu kepada ulama Bashrah, Kufah dan Irak, namun belum mendapatkan jawaban yang menenangkan hatinya. Ketika Imam Malik menjawabnya dengan jawaban semacam itu, hatinya telah terobati dari syubhatnya selama ini. (Syarh Lum’atul I’tiqad, Khalid bin Abdullah bin Muhammad al-Mushlih, 3/4.).

Maka, semua sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik sifat dzatiyah (yang terkait dengan dzat-Nya), seperti wajah, tangan, mata, dan yang lainnya, maupun sifat fi’liyah (yang terkait dengan perbuatan-Nya), seperti marah, ridha, turun ke langit dunia, dan yang lainnya, semua maknanya sudah jelas, hakikatnya tidak kita ketahui, beriman kepadanya wajib dan bertanya seputarnya adalah bid’ah. Sehingga mustahil adanya manunggaling kawulo gusti, karena Khalik dan makhluk bukanlah pinang yang terbelah! Wallahu A’lam. (Saed As-Saedy, Lc.)